Populisme Trump Diuji
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
SETAHUN berlalu sejak Donald Trump dilantik sebagai presiden Amerika Serikat dan semalam Trump memberikan pidato kenegaraan di hadapan anggota Kongres (House of Representatives dan Senate). Dalam tradisi AS, pidato tahunan seorang presiden di hadapan Kongres adalah momen di mana arah kebijakan negara dan target legislasi diungkap.
Sesuai Konstitusi AS, kesempatan itu biasanya digunakan untuk mendorong anggota Kongres dalam mengambil langkah yang perlu dan cepat demi mendukung agenda pemerintah. Presiden akan didampingi wakil presiden, ketua House of Representative, dan disaksikan oleh segenap anggota Kongres, para hakim Mahkamah Agung, para kepala staf pemerintahan, dan wakil anggota kabinet.
Yang menarik adalah nama atau sebutan pidato tahunan itu, yakni “state of the union” – yang dalam arti harfiah dapat diartikan “status kesatuan negara”. Karena nama pidato tersebut, sejumlah anggota Kongres sudah mengumumkan diri tidak akan hadir di acara tersebut. Antara lain: Earl Blumenauer (Partai Demokrat dari Oregon), Pramila Jayapal (Partai Demokrat dari Washington), John Lewis (Partai Demokrat dari Georgia), Jan Schakowsky (Partai Demokrat dari Illinois), Maxine Waters (Partai Demokrat dari California), dan Frederica Wilson (Partai Demokrat dari Florida).
Alasan ketidakhadiran mereka adalah seputar sikap Presiden yang dipandang memperburuk suasana terpecah-belah dalam masyarakat, mengucapkan komentar-komentar yang tidak pantas, bahkan dianggap mempertajam perbedaan antarkelompok, memelihara sikap rasisme dan ngawur (erratic) dalam mengambil keputusan. Namun yang anti pada Partai Demokrat juga nyinyir pada sikap para anggota Kongres di atas; mereka menuding para wakil rakyat tersebut abai pada kebutuhan masyarakat dan sekadar anti-Trump tanpa memberi solusi.
Saya tidak hendak membahas tindak-tanduk Presiden Trump karena ini bagian dari strateginya menggalang dukungan politik. Ia tidak tertarik dengan ide kompromi karena ia memang bergantung pada para pemilih fanatiknya di garis politik paling kanan.
Cara-caranya mendulang dukungan tidaklah berbeda dengan cara-cara populisme pada umumnya. Namun ujian bagi Trump kali ini, khususnya dalam berhadapan dengan Kongres, berpotensi mempersulit jalan bagi dirinya sendiri dalam memenuhi janji-janji kampanyenya.
Karena deadline tulisan ini adalah persis sebelum pidato dimulai, saya hanya dapat membayangkan bahwa Trump cenderung menegaskan kembali prinsip-prinsip yang diyakininya sebagai solusi dari suatu masalah besar yang dianggapnya sedang merundung AS, yakni: AS yang tidak sehebat dulu, AS yang kebanjiran imigran, yang mandek dalam hal pembangunan infrastruktur, yang membiayai program-program internasional tanpa menerima imbalan yang setimpal, dan seterusnya.
Menurut info yang beredar, Trump akan mendorong lagi agenda kebijakan imigrasi, reformasi pajak dan perdagangan, serta agenda pengembangan infrastruktur di AS. Dan karena desain acara tersebut adalah bahwa setelah Presiden berpidato akan dilanjutkan dengan komentar dari satu orang wakil rakyat dari Partai yang berbeda, maka Joe Kennedy dari Partai Demokrat yang ditunjuk untuk tugas tersebut pastilah akan merespons dengan kritis.
Joe Kennedy, anggota House yang masih muda dari Negara Bagian Massachusetts yang sudah menjabat tiga periode ditunggu-tunggu responsnya karena ia pernah mengkritik taktik partai Republikan dan cara Presiden Trump menghadapi demonstrasi di Charlottesville. Joe yang masih kerabat mantan Presiden John F Kennedy ini diharapkan memberi angin segar.
Tak lain dan tak bukan karena 2018 ini adalah tahun pemilu juga di AS. Pada 6 November 2018 akan diselenggarakan pemilu sela (mid-term election) di mana separuh kursi dari anggota Senat (33 kursi) dan seluruh kursi House of Representatives (435 kursi) harus diisi ulang. Dalam pemilu-pemilu sela yang sebelumnya, biasanya partai presiden diuji basis politiknya dan hampir selalu kehilangan kursi.
Dalam situasi di mana posisi presiden adalah mengedepankan program-program yang secara jelas-jelas berseberangan dengan posisi partai lain, bahkan menolak kompromi atau memberi konsensi dalam kebijakan di isu lain maka bila ternyata komposisi Kongres berubah, dapat dibayangkan urusan politik dalam negeri di AS akan semakin pelik, riuh, bahkan berpotensi macet (terus).
Partai Demokrat yang dikritik dalam pemilu lalu karena dianggap gagal melakukan regenerasi pemimpin, kali ini harus bisa menyodorkan calon-calon yang menjanjikan, yang membangun optimisme. Joe Kennedy berarti termasuk salah satu jago mereka.
Sementara Partai Republikan, jika tidak mau kehilangan banyak suara, juga perlu “berjarak” dengan kebijakan Presiden. Hal ini khususnya diperlukan karena sampai saat ini Trump terindikasi kehilangan popularitas, bahkan di antara para pendukung fanatiknya, terutama dari kalangan perempuan. Dalam survei-survei yang beredar, makin tinggi posisi orang-orang yang “strongly disapprove” (sangat menolak) kinerja Trump.
Situasi government shutdown alias penghentian layanan publik pada 20–22 Januari 2018 menunjukkan bahwa posisi para anggota legislatif saat ini adalah untuk berseberangan dengan rencana-rencana pemerintah.
Memang isu yang paling heboh adalah terkait dilanjutkan atau tidaknya program Deferred Action for Childhood Arrivals, yakni program yang mengatur izin bagi individu yang masuk ke AS sebagai anak di bawah umur, apakah akan dianggap ilegal untuk tinggal di AS atau layak menerima penangguhan dalam jangka waktu dua tahun sehingga terhindar dari deportasi dan bisa bekerja di AS. Namun, sebenarnya itu hanya refleksi dari betapa tajamnya perbedaan pendapat antara Presiden dan Kongres.
Obama juga pernah mengalami government shutdown karena program Obamacare-nya ditentang oleh Faksi Republikan yang digerakkan oleh Ted Cruz yang juga pimpinan dari Tea Party, organisasi garis kanan konservatif yang menolak intervensi negara dalam pelayanan publik. Tetapi waktu itu memang partai Demokrat menjadi minoritas di Kongres. Trump kali ini justru mengalami government shutdown kala Kongres dikuasai Republikan, baik di Senate maupun House of Representatives.
Dalam kondisi seperti ini, AS dapat terkunci dalam situasi kurang kondusif di dalam negeri. Kalau tidak hati-hati, Trump akan mengalami kondisi lame-duck terlalu dini, alias tidak punya pengaruh, tidak bisa berbuat apa-apa yang berarti meskipun masa jabatan masih di tangan.
Dalam periode keduanya memimpin AS, Obama pascapemilu sela 2014 sempat mengalami kondisi ini di mana segala usulan legislasi yang diajukannya macet. Urusan luar negeri pun tidak bisa banyak bergerak.
Urusan menggolkan Obamacare menjadi agenda besar Presiden Obama saat itu. Urusan luar negeri yang cukup bisa dianggap suatu terobosan adalah penanganan Iran dan Kuba di mana AS melakukan hal yang tidak biasa dalam bentuk mencabut embargo ekonomi dan membuka jalur diplomasi. Namun untuk hubungan dengan negara-negara lain, justru tidak ada pencapaian berarti.
Di Asia yang dikembangkan adalah Trans Pacific Partnership (yang ditolak oleh Trump) dan rangkaian dialog serta kerja sama di bidang politik, keamanan, maritim, dan pendidikan. Dengan Indonesia ditandatangani Kemitraan Strategis yang Komprehensif antara Presiden Obama dan Presiden Joko Widodo, meningkatkan status kelengkapan kerangka kerja sama ke level yang lebih tinggi daripada yang sebelumnya disepakati Presiden Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi hanya sebatas itu saja; realisasi dari kerangka kebijakan tersebut juga relatif terbatas karena waktu implementasi yang efektif justru baru setelah Obama turun jabatan.
Artinya bila dalam pidato state of the union tersebut Presiden Trump memberikan sinyal-sinyal untuk terus tidak berkompromi sama sekali dengan Partai Demokrat dalam menggolkan janji kampanyenya, Partai Demokrat pun akan sama kerasnya merespons sesuai jalur kebijakan partainya saja. Bisa jadi kita menyaksikan lebih jarangnya ada dialog soal isi kebijakan itu sendiri dan lebih banyak urusan saling sinis saja.
Partai Republikan pun kemungkinan akan sulit berjarak dengan Presiden Trump, salah satunya karena partai itu belum punya tokoh alternatif. Konflik politik yang berkembang akibat tudingan konspirasi Presiden Trump dengan Rusia juga menciptakan kecenderungan partai untuk defensif semata agar “selamat” ketika menghadapi gempuran FBI, Kementerian Kehakiman dan tentunya Partai Demokrat.
Urusan luar negeri AS berarti patut diantisipasi betul-betul akan terpusat pada hal-hal yang langsung berkaitan dengan janji kampanye Trump, seperti: menghadapi negara-negara “pengirim” imigran yang notabene adalah negara-negara tetangga AS, China dalam konteks perang dagang, insentif dan hukuman bagi investor di AS, saling ancam dengan Korea Utara, memotong program bantuan luar negeri dan mempertahankan posisi Trump dalam Israel-Palestina.
Itu pun kalau dibayangkan kerumitan ketika harus mengirim pasukan atau mengeluarkan dana, maka sulit dibayangkan Trump akan bisa lebih dari retorika. Bahkan untuk isu pemotongan bantuan luar negeri, menteri luar negeri AS sudah mengindikasikan bahwa yang penting ada sinergi lebih baik antara Kementerian Luar Negeri AS dan USAID; artinya ide Trump untuk menyatukan Kementerian Luar Negeri AS dengan USAID telah diabaikan oleh anggota kabinetnya sendiri. Inilah ujian bagi pilihan langkah Trump.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
SETAHUN berlalu sejak Donald Trump dilantik sebagai presiden Amerika Serikat dan semalam Trump memberikan pidato kenegaraan di hadapan anggota Kongres (House of Representatives dan Senate). Dalam tradisi AS, pidato tahunan seorang presiden di hadapan Kongres adalah momen di mana arah kebijakan negara dan target legislasi diungkap.
Sesuai Konstitusi AS, kesempatan itu biasanya digunakan untuk mendorong anggota Kongres dalam mengambil langkah yang perlu dan cepat demi mendukung agenda pemerintah. Presiden akan didampingi wakil presiden, ketua House of Representative, dan disaksikan oleh segenap anggota Kongres, para hakim Mahkamah Agung, para kepala staf pemerintahan, dan wakil anggota kabinet.
Yang menarik adalah nama atau sebutan pidato tahunan itu, yakni “state of the union” – yang dalam arti harfiah dapat diartikan “status kesatuan negara”. Karena nama pidato tersebut, sejumlah anggota Kongres sudah mengumumkan diri tidak akan hadir di acara tersebut. Antara lain: Earl Blumenauer (Partai Demokrat dari Oregon), Pramila Jayapal (Partai Demokrat dari Washington), John Lewis (Partai Demokrat dari Georgia), Jan Schakowsky (Partai Demokrat dari Illinois), Maxine Waters (Partai Demokrat dari California), dan Frederica Wilson (Partai Demokrat dari Florida).
Alasan ketidakhadiran mereka adalah seputar sikap Presiden yang dipandang memperburuk suasana terpecah-belah dalam masyarakat, mengucapkan komentar-komentar yang tidak pantas, bahkan dianggap mempertajam perbedaan antarkelompok, memelihara sikap rasisme dan ngawur (erratic) dalam mengambil keputusan. Namun yang anti pada Partai Demokrat juga nyinyir pada sikap para anggota Kongres di atas; mereka menuding para wakil rakyat tersebut abai pada kebutuhan masyarakat dan sekadar anti-Trump tanpa memberi solusi.
Saya tidak hendak membahas tindak-tanduk Presiden Trump karena ini bagian dari strateginya menggalang dukungan politik. Ia tidak tertarik dengan ide kompromi karena ia memang bergantung pada para pemilih fanatiknya di garis politik paling kanan.
Cara-caranya mendulang dukungan tidaklah berbeda dengan cara-cara populisme pada umumnya. Namun ujian bagi Trump kali ini, khususnya dalam berhadapan dengan Kongres, berpotensi mempersulit jalan bagi dirinya sendiri dalam memenuhi janji-janji kampanyenya.
Karena deadline tulisan ini adalah persis sebelum pidato dimulai, saya hanya dapat membayangkan bahwa Trump cenderung menegaskan kembali prinsip-prinsip yang diyakininya sebagai solusi dari suatu masalah besar yang dianggapnya sedang merundung AS, yakni: AS yang tidak sehebat dulu, AS yang kebanjiran imigran, yang mandek dalam hal pembangunan infrastruktur, yang membiayai program-program internasional tanpa menerima imbalan yang setimpal, dan seterusnya.
Menurut info yang beredar, Trump akan mendorong lagi agenda kebijakan imigrasi, reformasi pajak dan perdagangan, serta agenda pengembangan infrastruktur di AS. Dan karena desain acara tersebut adalah bahwa setelah Presiden berpidato akan dilanjutkan dengan komentar dari satu orang wakil rakyat dari Partai yang berbeda, maka Joe Kennedy dari Partai Demokrat yang ditunjuk untuk tugas tersebut pastilah akan merespons dengan kritis.
Joe Kennedy, anggota House yang masih muda dari Negara Bagian Massachusetts yang sudah menjabat tiga periode ditunggu-tunggu responsnya karena ia pernah mengkritik taktik partai Republikan dan cara Presiden Trump menghadapi demonstrasi di Charlottesville. Joe yang masih kerabat mantan Presiden John F Kennedy ini diharapkan memberi angin segar.
Tak lain dan tak bukan karena 2018 ini adalah tahun pemilu juga di AS. Pada 6 November 2018 akan diselenggarakan pemilu sela (mid-term election) di mana separuh kursi dari anggota Senat (33 kursi) dan seluruh kursi House of Representatives (435 kursi) harus diisi ulang. Dalam pemilu-pemilu sela yang sebelumnya, biasanya partai presiden diuji basis politiknya dan hampir selalu kehilangan kursi.
Dalam situasi di mana posisi presiden adalah mengedepankan program-program yang secara jelas-jelas berseberangan dengan posisi partai lain, bahkan menolak kompromi atau memberi konsensi dalam kebijakan di isu lain maka bila ternyata komposisi Kongres berubah, dapat dibayangkan urusan politik dalam negeri di AS akan semakin pelik, riuh, bahkan berpotensi macet (terus).
Partai Demokrat yang dikritik dalam pemilu lalu karena dianggap gagal melakukan regenerasi pemimpin, kali ini harus bisa menyodorkan calon-calon yang menjanjikan, yang membangun optimisme. Joe Kennedy berarti termasuk salah satu jago mereka.
Sementara Partai Republikan, jika tidak mau kehilangan banyak suara, juga perlu “berjarak” dengan kebijakan Presiden. Hal ini khususnya diperlukan karena sampai saat ini Trump terindikasi kehilangan popularitas, bahkan di antara para pendukung fanatiknya, terutama dari kalangan perempuan. Dalam survei-survei yang beredar, makin tinggi posisi orang-orang yang “strongly disapprove” (sangat menolak) kinerja Trump.
Situasi government shutdown alias penghentian layanan publik pada 20–22 Januari 2018 menunjukkan bahwa posisi para anggota legislatif saat ini adalah untuk berseberangan dengan rencana-rencana pemerintah.
Memang isu yang paling heboh adalah terkait dilanjutkan atau tidaknya program Deferred Action for Childhood Arrivals, yakni program yang mengatur izin bagi individu yang masuk ke AS sebagai anak di bawah umur, apakah akan dianggap ilegal untuk tinggal di AS atau layak menerima penangguhan dalam jangka waktu dua tahun sehingga terhindar dari deportasi dan bisa bekerja di AS. Namun, sebenarnya itu hanya refleksi dari betapa tajamnya perbedaan pendapat antara Presiden dan Kongres.
Obama juga pernah mengalami government shutdown karena program Obamacare-nya ditentang oleh Faksi Republikan yang digerakkan oleh Ted Cruz yang juga pimpinan dari Tea Party, organisasi garis kanan konservatif yang menolak intervensi negara dalam pelayanan publik. Tetapi waktu itu memang partai Demokrat menjadi minoritas di Kongres. Trump kali ini justru mengalami government shutdown kala Kongres dikuasai Republikan, baik di Senate maupun House of Representatives.
Dalam kondisi seperti ini, AS dapat terkunci dalam situasi kurang kondusif di dalam negeri. Kalau tidak hati-hati, Trump akan mengalami kondisi lame-duck terlalu dini, alias tidak punya pengaruh, tidak bisa berbuat apa-apa yang berarti meskipun masa jabatan masih di tangan.
Dalam periode keduanya memimpin AS, Obama pascapemilu sela 2014 sempat mengalami kondisi ini di mana segala usulan legislasi yang diajukannya macet. Urusan luar negeri pun tidak bisa banyak bergerak.
Urusan menggolkan Obamacare menjadi agenda besar Presiden Obama saat itu. Urusan luar negeri yang cukup bisa dianggap suatu terobosan adalah penanganan Iran dan Kuba di mana AS melakukan hal yang tidak biasa dalam bentuk mencabut embargo ekonomi dan membuka jalur diplomasi. Namun untuk hubungan dengan negara-negara lain, justru tidak ada pencapaian berarti.
Di Asia yang dikembangkan adalah Trans Pacific Partnership (yang ditolak oleh Trump) dan rangkaian dialog serta kerja sama di bidang politik, keamanan, maritim, dan pendidikan. Dengan Indonesia ditandatangani Kemitraan Strategis yang Komprehensif antara Presiden Obama dan Presiden Joko Widodo, meningkatkan status kelengkapan kerangka kerja sama ke level yang lebih tinggi daripada yang sebelumnya disepakati Presiden Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi hanya sebatas itu saja; realisasi dari kerangka kebijakan tersebut juga relatif terbatas karena waktu implementasi yang efektif justru baru setelah Obama turun jabatan.
Artinya bila dalam pidato state of the union tersebut Presiden Trump memberikan sinyal-sinyal untuk terus tidak berkompromi sama sekali dengan Partai Demokrat dalam menggolkan janji kampanyenya, Partai Demokrat pun akan sama kerasnya merespons sesuai jalur kebijakan partainya saja. Bisa jadi kita menyaksikan lebih jarangnya ada dialog soal isi kebijakan itu sendiri dan lebih banyak urusan saling sinis saja.
Partai Republikan pun kemungkinan akan sulit berjarak dengan Presiden Trump, salah satunya karena partai itu belum punya tokoh alternatif. Konflik politik yang berkembang akibat tudingan konspirasi Presiden Trump dengan Rusia juga menciptakan kecenderungan partai untuk defensif semata agar “selamat” ketika menghadapi gempuran FBI, Kementerian Kehakiman dan tentunya Partai Demokrat.
Urusan luar negeri AS berarti patut diantisipasi betul-betul akan terpusat pada hal-hal yang langsung berkaitan dengan janji kampanye Trump, seperti: menghadapi negara-negara “pengirim” imigran yang notabene adalah negara-negara tetangga AS, China dalam konteks perang dagang, insentif dan hukuman bagi investor di AS, saling ancam dengan Korea Utara, memotong program bantuan luar negeri dan mempertahankan posisi Trump dalam Israel-Palestina.
Itu pun kalau dibayangkan kerumitan ketika harus mengirim pasukan atau mengeluarkan dana, maka sulit dibayangkan Trump akan bisa lebih dari retorika. Bahkan untuk isu pemotongan bantuan luar negeri, menteri luar negeri AS sudah mengindikasikan bahwa yang penting ada sinergi lebih baik antara Kementerian Luar Negeri AS dan USAID; artinya ide Trump untuk menyatukan Kementerian Luar Negeri AS dengan USAID telah diabaikan oleh anggota kabinetnya sendiri. Inilah ujian bagi pilihan langkah Trump.
(poe)