Memidanakan LGBT
A
A
A
M Nasir Djamil
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Komisi III DPR RI
ISU mengenai legalitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali mendapat perhatian publik setelah Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyebut ada lima fraksi di DPR yang mendukung penyimpangan orientasi seksual LGBT.
Sayangnya pernyataan itu dinilai hanya mencari sensasi semata karena tidak menyebut fraksi mana saja. Juga ketidakcermatan menyebut soal rancangan undang-undang (RUU) yang sedang dibahas.
Sejatinya tidak ada pembahasan RUU yang secara khusus membahas larangan LGBT karena persoalan boleh tidaknya LGBT berkaitan erat dengan legalitas pernikahan. Di beberapa negara seperti Australia dan Amerika, perkawinan sejenis memang telah dilegalkan.
Karena itu, jika hendak berbicara mengenai larangan LGBT secara khusus seharusnya berbicara mengenai perubahan UU Perkawinan atau pembentukan RUU tentang larangan LGBT itu sendiri. Dalam Prolegnas tahun 2017 maupun 2018, dua UU tersebut tidak masuk. Berkaitan dengan perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan aturan main yang tegas bahwa pernikahan itu dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya (pasal 2 ayat (1).
Artinya, tidak dapat negara memberikan pengakuan terhadap pernikahan yang melanggar agama. Ini jelas sejalan dengan prinsip negara Indonesia sebagai negara berketuhanan yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks ini pula, tidak ada satu pun agama di Indonesia yang membolehkan pernikahan sejenis.
Dengan demikian, aspek UU Perkawinan keberadaan pernikahan sejenis ini jelas tidak diakui. Namun demikian, UU Perkawinan pun tidak memberikan ancaman hukuman, khususnya hukum pidana, jika ternyata ada yang melakukan pernikahan sejenis. Ini menjadi persoalan tersendiri.
RKUHP dan LGBT "Ribut-ribut" tentang LGBT yang ada di DPR saat ini tidak lain karena sedang dibahasnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai upaya untuk mengganti KUHP Warisan Belanda.
Persoalan LGBT sendiri muncul dalam bagian mengenai "Percabulan" Pasal 495 yang menyebutkan: (1) "Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun" dan (2) "Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ nonkelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.
Sekilas tidak ada yang salah dengan pasal tersebut, namun menjadi pertanyaan, mengapa hanya diancamkan bagi perbuatan yang korbannya belum berumur tahun? Apakah yang dilakukan terhadap orang dewasa (di atas 18 tahun) menjadi boleh? Pertanyaan inilah yang sedari awal pembahasan RKUHP di DPR saya tanyakan kepada pemerintah sebagai penyusun RKUHP.
Prof Muladi selaku tim perumus menyebutkan alasan orang dewasa tidak dipidanakan adalah karena kejahatan cabul terhadap sesama jenis di dunia internasional hanya diancamkan untuk yang dilakukan terhadap anak atau child abuse, sementara untuk orang dewasa tidak.
Karena itu, draf Pasal 495 itu sama persis dengan Pasal 292 KUHP Warisan Belanda. Hal inilah sepertinya salah satu titik krusial persoalan LGBT. Dengan hanya memberikan ancaman pidana terhadap tindakan LGBT sesuai kategori child abuse tersebut, maka secara esensial orang dewasa diperbolehkan melakukan LGBT.
Dalam pembahasan di Tim Perumus RKUHP Komisi III DPR pada 15 Januari 2018, telah terjadi perkembangan signifikan di mana fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah merumuskan agar pasal pemidanaan bagi LGBT tersebut tidak hanya berlaku dalam kategori child abuse saja, tetapi juga tanpa batas usia.
Selain itu, muncul juga upaya pemberatan khususnya jika apabila menyebabkan luka terhadap anak atau menggunakan kekerasan, dilakukan di muka umum, memublikasikan, dan mengandung unsur pornografi. Ketentuan ini rencananya akan difinalisasi dalam rapat kerja Komisi III bersama pemerintah. Sebenarnya masih ada yang kurang, khususnya pemidanaan bagi tindakan pernikahan sejenis baik pelakunya maupun pihak-pihak yang mendukungnya.
Ketentuan tersebut seharusnya perlu dimasukkan juga sebagai penegas bahwa UU Perkawinan kita menolak pernikahan sejenis dan bagi yang melanggarnya diancamkan pidana dalam KUHP. Upaya pemidanaan perbuatan LGBT tersebut adalah langkah maju bagi bangsa Indonesia, sekaligus penegasan ke dunia internasional bahwa kita memiliki kedaulatan hukum di mana kita tidak tunduk, apalagi mau diatur-atur oleh asing.
Bagi Indonesia, mengkriminalisasi LGBT untuk seluruh usia adalah bentuk nyata penerapan nilai-nilai Pancasila yang berketuhanan. Jika ini diabaikan dan LGBT tidak dikriminalisasi, bukankah sebuah pelanggaran terhadap Pancasila? Bukankah pula Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016, walaupun menolak mengkriminalisasi LGBT melalui putusan pengadilan, namun dalam pertimbangan hakimnya menyebutkan bukan berarti mereka setuju terhadap LGBT, melainkan seharusnya DPR-lah yang memiliki kewenangan apakah akan memidanakan LGBT atau tidak.
Dengan demikian, ini adalah tindakan konstitusional. Apalagi dalam Naskah Akademik RKUHP disebutkan pendapat Prof Oemar Senoadji bahwa sekitar kejahatan terhadap kesusilaan seharusnyalah unsur-unsur agama memegang peranannya. Lalu, apakah dengan adanya kriminalisasi terhadap LGBT terhadap semua usia akan menyelesaikan masalah?
Tentunya tidak, karena KUHP hanyalah satu undang-undang yang mengatur soal ancaman pidana terhadap berbagai macam perbuatan yang dilarang. Karena itu, di sinilah urgensi pembentukan UU Larangan LGBT yang mengatur secara komprehensif penanganan LGBT. Walau bagaimanapun, LGBT adalah sebuah penyakit menular yang oleh sebagian orang dinilai menjijikkan.
Karena itu, penyelesaian melalui jalur penjara tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Justru tesis orang-orang yang menolak memidanakan LGBT dengan alasan overkriminalisasi dan kemungkinan semakin sesaknya lembaga pemasyarakatan (LP) akan menjadi kenyataan. Karena itu, gagasan membentuk UU Larangan LGBT menemui urgensinya dengan menitiktekankan upaya penyembuhan melalui media medis dan psikologis terhadap pelaku LGBT.
Ancaman pidana hanyalah jalan terakhir (ultimum remedium), khususnya bagi pelaku yang melakukan tindakan dengan kekerasan, apalagi untuk kepentingan bisnis (perdagangan), pornografi dan penyebarluasan (penularan). Sementara itu, kelompok orang yang terindikasi LGBT namun tidak melakukan tindakan cabul, seharusnya diobati.
Di sinilah perlunya UU Larangan LGBT tersebut, sehingga pemerintah pun diberikan kewajiban untuk menyediakan sarana-prasarana untuk menanggulangi dan lebih khusus mencegah serta mengobatinya. Dengan demikian, over kapasitas LP akan terhindari dan kita juga memberikan jalan terbaik bagi yang terjangkit penyakit tersebut agar dapat disembuhkan. Semoga ikhtiar ini mendapatkan dukungan dan dapat direalisasikan segera!
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Komisi III DPR RI
ISU mengenai legalitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali mendapat perhatian publik setelah Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyebut ada lima fraksi di DPR yang mendukung penyimpangan orientasi seksual LGBT.
Sayangnya pernyataan itu dinilai hanya mencari sensasi semata karena tidak menyebut fraksi mana saja. Juga ketidakcermatan menyebut soal rancangan undang-undang (RUU) yang sedang dibahas.
Sejatinya tidak ada pembahasan RUU yang secara khusus membahas larangan LGBT karena persoalan boleh tidaknya LGBT berkaitan erat dengan legalitas pernikahan. Di beberapa negara seperti Australia dan Amerika, perkawinan sejenis memang telah dilegalkan.
Karena itu, jika hendak berbicara mengenai larangan LGBT secara khusus seharusnya berbicara mengenai perubahan UU Perkawinan atau pembentukan RUU tentang larangan LGBT itu sendiri. Dalam Prolegnas tahun 2017 maupun 2018, dua UU tersebut tidak masuk. Berkaitan dengan perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan aturan main yang tegas bahwa pernikahan itu dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya (pasal 2 ayat (1).
Artinya, tidak dapat negara memberikan pengakuan terhadap pernikahan yang melanggar agama. Ini jelas sejalan dengan prinsip negara Indonesia sebagai negara berketuhanan yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks ini pula, tidak ada satu pun agama di Indonesia yang membolehkan pernikahan sejenis.
Dengan demikian, aspek UU Perkawinan keberadaan pernikahan sejenis ini jelas tidak diakui. Namun demikian, UU Perkawinan pun tidak memberikan ancaman hukuman, khususnya hukum pidana, jika ternyata ada yang melakukan pernikahan sejenis. Ini menjadi persoalan tersendiri.
RKUHP dan LGBT "Ribut-ribut" tentang LGBT yang ada di DPR saat ini tidak lain karena sedang dibahasnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai upaya untuk mengganti KUHP Warisan Belanda.
Persoalan LGBT sendiri muncul dalam bagian mengenai "Percabulan" Pasal 495 yang menyebutkan: (1) "Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun" dan (2) "Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ nonkelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.
Sekilas tidak ada yang salah dengan pasal tersebut, namun menjadi pertanyaan, mengapa hanya diancamkan bagi perbuatan yang korbannya belum berumur tahun? Apakah yang dilakukan terhadap orang dewasa (di atas 18 tahun) menjadi boleh? Pertanyaan inilah yang sedari awal pembahasan RKUHP di DPR saya tanyakan kepada pemerintah sebagai penyusun RKUHP.
Prof Muladi selaku tim perumus menyebutkan alasan orang dewasa tidak dipidanakan adalah karena kejahatan cabul terhadap sesama jenis di dunia internasional hanya diancamkan untuk yang dilakukan terhadap anak atau child abuse, sementara untuk orang dewasa tidak.
Karena itu, draf Pasal 495 itu sama persis dengan Pasal 292 KUHP Warisan Belanda. Hal inilah sepertinya salah satu titik krusial persoalan LGBT. Dengan hanya memberikan ancaman pidana terhadap tindakan LGBT sesuai kategori child abuse tersebut, maka secara esensial orang dewasa diperbolehkan melakukan LGBT.
Dalam pembahasan di Tim Perumus RKUHP Komisi III DPR pada 15 Januari 2018, telah terjadi perkembangan signifikan di mana fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah merumuskan agar pasal pemidanaan bagi LGBT tersebut tidak hanya berlaku dalam kategori child abuse saja, tetapi juga tanpa batas usia.
Selain itu, muncul juga upaya pemberatan khususnya jika apabila menyebabkan luka terhadap anak atau menggunakan kekerasan, dilakukan di muka umum, memublikasikan, dan mengandung unsur pornografi. Ketentuan ini rencananya akan difinalisasi dalam rapat kerja Komisi III bersama pemerintah. Sebenarnya masih ada yang kurang, khususnya pemidanaan bagi tindakan pernikahan sejenis baik pelakunya maupun pihak-pihak yang mendukungnya.
Ketentuan tersebut seharusnya perlu dimasukkan juga sebagai penegas bahwa UU Perkawinan kita menolak pernikahan sejenis dan bagi yang melanggarnya diancamkan pidana dalam KUHP. Upaya pemidanaan perbuatan LGBT tersebut adalah langkah maju bagi bangsa Indonesia, sekaligus penegasan ke dunia internasional bahwa kita memiliki kedaulatan hukum di mana kita tidak tunduk, apalagi mau diatur-atur oleh asing.
Bagi Indonesia, mengkriminalisasi LGBT untuk seluruh usia adalah bentuk nyata penerapan nilai-nilai Pancasila yang berketuhanan. Jika ini diabaikan dan LGBT tidak dikriminalisasi, bukankah sebuah pelanggaran terhadap Pancasila? Bukankah pula Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016, walaupun menolak mengkriminalisasi LGBT melalui putusan pengadilan, namun dalam pertimbangan hakimnya menyebutkan bukan berarti mereka setuju terhadap LGBT, melainkan seharusnya DPR-lah yang memiliki kewenangan apakah akan memidanakan LGBT atau tidak.
Dengan demikian, ini adalah tindakan konstitusional. Apalagi dalam Naskah Akademik RKUHP disebutkan pendapat Prof Oemar Senoadji bahwa sekitar kejahatan terhadap kesusilaan seharusnyalah unsur-unsur agama memegang peranannya. Lalu, apakah dengan adanya kriminalisasi terhadap LGBT terhadap semua usia akan menyelesaikan masalah?
Tentunya tidak, karena KUHP hanyalah satu undang-undang yang mengatur soal ancaman pidana terhadap berbagai macam perbuatan yang dilarang. Karena itu, di sinilah urgensi pembentukan UU Larangan LGBT yang mengatur secara komprehensif penanganan LGBT. Walau bagaimanapun, LGBT adalah sebuah penyakit menular yang oleh sebagian orang dinilai menjijikkan.
Karena itu, penyelesaian melalui jalur penjara tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Justru tesis orang-orang yang menolak memidanakan LGBT dengan alasan overkriminalisasi dan kemungkinan semakin sesaknya lembaga pemasyarakatan (LP) akan menjadi kenyataan. Karena itu, gagasan membentuk UU Larangan LGBT menemui urgensinya dengan menitiktekankan upaya penyembuhan melalui media medis dan psikologis terhadap pelaku LGBT.
Ancaman pidana hanyalah jalan terakhir (ultimum remedium), khususnya bagi pelaku yang melakukan tindakan dengan kekerasan, apalagi untuk kepentingan bisnis (perdagangan), pornografi dan penyebarluasan (penularan). Sementara itu, kelompok orang yang terindikasi LGBT namun tidak melakukan tindakan cabul, seharusnya diobati.
Di sinilah perlunya UU Larangan LGBT tersebut, sehingga pemerintah pun diberikan kewajiban untuk menyediakan sarana-prasarana untuk menanggulangi dan lebih khusus mencegah serta mengobatinya. Dengan demikian, over kapasitas LP akan terhindari dan kita juga memberikan jalan terbaik bagi yang terjangkit penyakit tersebut agar dapat disembuhkan. Semoga ikhtiar ini mendapatkan dukungan dan dapat direalisasikan segera!
(maf)