Bank Sibuk Kumpul DPK
A
A
A
Kalangan perbankan disentil Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pihak perbankan diingatkan agar tidak asyik sendiri mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) atau tabungan dari masyarakat, namun mengabaikan penyaluran kredit secara merata kepada seluruh masyarakat.
Laporan yang sampai ke telinga Presiden bahwa situasi dan kondisi industri keuangan dalam keadaan sehat, baik perbankan, asuransi, maupun pasar modal. Seharusnya industri keuangan berkontribusi signifikan dalam memajukan pertumbuhan perekonomian secara berkualitas.
Sayang sekali potensi besar yang terdapat pada industri keuangan tak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sehubungan itu, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beserta pemerintah harus menyiapkan banyak inovasi. Ada dua inovasi yang disodorkan Presiden, ialah bagaimana menyiapkan bank khusus mikro yang melayani masyarakat bawah dan membentuk bank wakaf mikro. Dengan demikian, diharapkan kegiatan perbankan tidak hanya tertuju pada pengumpulan DPK lalu disalurkan sebagai kredit kepada masyarakat tertentu.
Gayung bersambut, Ketua Dewan Komisaris OJK Wimboh Santoso segera menerbitkan sejumlah kebijakan strategis untuk mendorong industri keuangan agar mengambil peran yang signifikan dalam mendorong ekonomi nasional. Untuk berkontribusi maksimal dalam pembiayaan infrastruktur dan sektor prioritas, OJK melirik untuk mendorong pemanfaatan instrumen pembiayaan lebih bervariasi, meliputi perpetual bonds atau obligasi bunga abadi, yakni obligasi yang memiliki tingkat bunga dan pembayaran secara berkala tanpa batas waktu.
Green bonds sebagai efek bersifat utang di mana hasil penerbitannya digunakan membiayai kegiatan berwawasan lingkungan. Dan, obligasi daerah serta penerbitan ketentuan pengelolaan dana tabungan perumahan rakyat (Tapera) dengan skema kontrak investasi kolektif.
Selain itu, pihak OJK sedang menyiapkan pengembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Klaster, yakni penerima akan mendapat pendampingan dan pemasaran produk oleh perusahaan inti, baik badan usaha milik negara (BUMN), Badan usaha milik desa (BUMDes) berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness agar aspek perlindungan nasabah dapat terpenuhi.
Bagaimana sebenarnya kinerja industri keuangan belakangan ini, sampai Presiden Jokowi menyentil perbankan yang cuma asyik mengumpulkan DPK? Berdasarkan publikasi terbaru OJK terungkap bahwa permodalan lembaga jasa keuangan relatif kuat.
Sebagai bukti, rasio kecukupan modal (RKM) perbankan sekitar 23,36%, bandingkan rata-rata RKM perbankan di kawasan Asia Tenggara sekitar 18%. Dengan RKM yang aman, industri perbankan berpotensi menyalurkan kredit hingga Rp640 triliun. Adapun tingkat risiko kredit terkendali dengan rasio kredit bermasalah sekitar 2,59% secara gross atau 1,11% secara net. Angka rasio kredit bermasalah berada dalam kecenderungan menurun.
Lalu, kinerja pasar modal pun cukup meyakinkan dibuktikan dengan penghimpunan dana mencapai sebesar Rp 264 triliun, melampaui target yang dipatok sebesar Rp 217 triliun. Begitupula industri keuangan nonbank yang menunjukkan kinerja positif dengan risiko terkendali. Hal itu terlihat dari pertumbuhan aset industri asuransi sekitar 20,2% tahun lalu atau melewati pertumbuhan tahun sebelumnya yang tercatat sekitar 18,2%, dan didukung tingkat permodalan tersedia dalam membayar.
Laporan yang sampai ke telinga Presiden bahwa situasi dan kondisi industri keuangan dalam keadaan sehat, baik perbankan, asuransi, maupun pasar modal. Seharusnya industri keuangan berkontribusi signifikan dalam memajukan pertumbuhan perekonomian secara berkualitas.
Sayang sekali potensi besar yang terdapat pada industri keuangan tak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sehubungan itu, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beserta pemerintah harus menyiapkan banyak inovasi. Ada dua inovasi yang disodorkan Presiden, ialah bagaimana menyiapkan bank khusus mikro yang melayani masyarakat bawah dan membentuk bank wakaf mikro. Dengan demikian, diharapkan kegiatan perbankan tidak hanya tertuju pada pengumpulan DPK lalu disalurkan sebagai kredit kepada masyarakat tertentu.
Gayung bersambut, Ketua Dewan Komisaris OJK Wimboh Santoso segera menerbitkan sejumlah kebijakan strategis untuk mendorong industri keuangan agar mengambil peran yang signifikan dalam mendorong ekonomi nasional. Untuk berkontribusi maksimal dalam pembiayaan infrastruktur dan sektor prioritas, OJK melirik untuk mendorong pemanfaatan instrumen pembiayaan lebih bervariasi, meliputi perpetual bonds atau obligasi bunga abadi, yakni obligasi yang memiliki tingkat bunga dan pembayaran secara berkala tanpa batas waktu.
Green bonds sebagai efek bersifat utang di mana hasil penerbitannya digunakan membiayai kegiatan berwawasan lingkungan. Dan, obligasi daerah serta penerbitan ketentuan pengelolaan dana tabungan perumahan rakyat (Tapera) dengan skema kontrak investasi kolektif.
Selain itu, pihak OJK sedang menyiapkan pengembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Klaster, yakni penerima akan mendapat pendampingan dan pemasaran produk oleh perusahaan inti, baik badan usaha milik negara (BUMN), Badan usaha milik desa (BUMDes) berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness agar aspek perlindungan nasabah dapat terpenuhi.
Bagaimana sebenarnya kinerja industri keuangan belakangan ini, sampai Presiden Jokowi menyentil perbankan yang cuma asyik mengumpulkan DPK? Berdasarkan publikasi terbaru OJK terungkap bahwa permodalan lembaga jasa keuangan relatif kuat.
Sebagai bukti, rasio kecukupan modal (RKM) perbankan sekitar 23,36%, bandingkan rata-rata RKM perbankan di kawasan Asia Tenggara sekitar 18%. Dengan RKM yang aman, industri perbankan berpotensi menyalurkan kredit hingga Rp640 triliun. Adapun tingkat risiko kredit terkendali dengan rasio kredit bermasalah sekitar 2,59% secara gross atau 1,11% secara net. Angka rasio kredit bermasalah berada dalam kecenderungan menurun.
Lalu, kinerja pasar modal pun cukup meyakinkan dibuktikan dengan penghimpunan dana mencapai sebesar Rp 264 triliun, melampaui target yang dipatok sebesar Rp 217 triliun. Begitupula industri keuangan nonbank yang menunjukkan kinerja positif dengan risiko terkendali. Hal itu terlihat dari pertumbuhan aset industri asuransi sekitar 20,2% tahun lalu atau melewati pertumbuhan tahun sebelumnya yang tercatat sekitar 18,2%, dan didukung tingkat permodalan tersedia dalam membayar.
(nag)