Impor dan Utang Luar Negeri

Jum'at, 19 Januari 2018 - 09:32 WIB
Impor dan Utang Luar...
Impor dan Utang Luar Negeri
A A A
Maulana MS Aji
Kepala Seksi Statistik Distribusi BPS Kabupaten Aceh Tamiang

KEADAAN ekspor Indonesia pada 2017 meningkat 16,22% jika dibandingkan dengan 2016. Peningkatan tersebut disokong peningkatan ekspor industri pengolahan hasil minyak yang naik hampir 88% jika dibandingkan dengan 2016.

Seakan tidak mau kalah, aktivitas impor barang pun naik sekitar 15,66%. Peningkatan kedua aktivitas ekonomi tersebut menunjukkan menggeliatnya kegiatan ekonomi di bumi Nusantara. Patut disyukuri, selama 2017 selisih nilai ekspor-impor Indonesia bernilai positif, yaitu USD11,84 miliar. Dengan kata lain aktivitas perdagangan luar negeri Indonesia masih berstatus untung.

Pada hakikatnya ekspor dan impor adalah kegiatan interaksi dua negara yang saling membutuhkan, layaknya penjual dan pembeli. Semakin maju suatu negara, biasanya angka ekspor barang akan lebih tinggi daripada nilai barang yang masuk/ impor. Negara yang sudah digdaya kemungkinannya tidak membutuhkan barang impor dari luar negeri. Sebaliknya negara yang masih berkembang dan bahkan mendekati miskin akan sangat bergantung terhadap impor untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah di manakah posisi Indonesia saat ini? Mengapa pada saat pemerintah akan melakukan aktivitas impor barang selalu menjadi berita yang viral di media? Tercatat sejak rencana impor garam, impor gula, impor daging sapi, dan yang paling anyar adalah rencana impor beras medium sebanyak 500.000 ton, selalu terjadi kehebohan seakan-akan aktivitas impor sejajar dengan kasus megakorupsi.

Semua orang pasti sepakat bahwa posisi negara kita saat ini adalah bukan negara digdaya sekaligus bukan negara miskin, artinya aktivitas menjual hasil alam ke luar negeri dan membeli barang dari luar negeri adalah hal biasa. Namun menjadi tidak biasa jika barang yang kita beli adalah barang yang kita sendiri juga memproduksinya. Jika diibaratkan, penjual nasi rames membeli nasi goreng untuk bekal makan malam. Mungkin perumpamaan itulah yang cocok untuk menggambarkan kondisi polemik impor beras akhir-akhir ini.

Tidak ada salahnya memang seorang penjual nasi rames membeli nasi goreng, mungkin sang penjual bosan dengan barang dagangannya sehingga membutuhkan sensasi lain. Sama dengan Indonesia, meskipun Bulog pada Desember 2017 lalu mengklaim stok beras mencapai 1,1 juta ton dan diproyeksi bisa mencukupi sampai April 2018, sah-sah saja jika Indonesia kemudian masih melakukan impor beras.

Jika kita amati lebih lanjut, memang beras yang akan diimpor adalah beras medium, artinya ini untuk memenuhi kebutuhan kalangan tertentu yang memiliki selera lain. Mengutip sedikit pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang diutarakan pada saat debat capres-cawapres pada 2014, pada saat itu panelis menanyakan masalah impor beras, apakah akan tetap dilakukan jika terpilih? Jawaban JK saat itu jelas, impor beras tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan beberapa kalangan yang memang hanya mengonsumsi beras impor kualitas tertentu. Kurang lebih itulah pernyataan JK pada saat debat capres-cawapres 2014.

Poin ini sedikit menjelaskan bahwa pasangan Jokowi-JK sejak debat capres-cawapres memang tidak menjanjikan jika terpilih kelak akan menghentikan impor beras. Meskipun demikian, ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hati, yakni jika memang benar impor beras medium bertujuan memenuhi kebutuhan beberapa kalangan, apakah jumlahnya harus sebesar 500.000 ton? Jika dibandingkan dengan produksi gabah kering giling (GKG) di Tanah Air pada 2016 (79 juta ton) atau setara 49 juta ton beras, beras yang diimpor tersebut hampir 1% dari total produksi nasional pada 2016.

Memang belum ada kajian yang meneliti apakah kuota impor 1% dari total produksi nasional dapat mengganggu keseimbangan harga beras nasional yang bakal berdampak buruk bagi petani mengingat Februari dan Maret nanti akan memasuki masa panen raya. Semoga saja impor beras medium tidak berdampak buruk bagi para petani yang akan segera memanen sawahnya.

Kekhawatiran tentang aktivitas impor komoditas pangan sebetulnya tidak hanya sebatas ketakutan terancamnya anak bangsa yang mayoritas mengusahakan tanaman pangan. Ingat, berdasarkan data hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan BPS setiap semesternya, tersaji data bahwa 29,69% penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian.

Kekhawatiran lain perihal impor adalah membengkaknya utang negara. Berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang berasal dari Bank Indonesia, utang Indonesia sampai dengan Oktober 2017 sudah mencapai USD341 miliar atau setara Rp4.610 triliun (kurs Rp13.500). Jumlah utang ini akan terus bertambah seiring makin hobinya negara Indonesia melakukan aktivitas impor segala macam komoditas.

Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa impor tidak memiliki hubungan dengan utang negara, tetapi menurut saya itu berhubungan erat. Kronologinya sederhana, aktivitas impor membutuhkan dolar sebagai alat transaksi, tidak mungkin kita membeli barang impor dengan mata uang rupiah. Dengan begitu, semakin banyak negara melakukan impor, semakin banyak dolar yang dibutuhkan.

Pada akhirnya jika cadangan devisa/stok dolar yang dimiliki Indonesia menipis, pemerintah maupun swasta akan melakukan utang luar negeri demi mendapatkan amunisi dolar sebagai modal untuk berbelanja lagi. Sebagai tambahan informasi, dari Rp4.610 triliun utang negara, sekitar separuhnya adalah utang dari pihak swasta.

Simpulan dari tulisan ini adalah apa pun ceritanya, kebijakan impor yang tidak tepat bisa menyebabkan kegaduhan baik berasal dari masyarakat maupun kesehatan fiskal negara. Negara yang kuat adalah negara yang mampu memenuhi kebutuhan penduduknya sendiri tanpa melakukan impor dan tidak memiliki utang kepada negara lain. Semoga ke depannya Indonesia bisa terbebas dari utang.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6713 seconds (0.1#10.140)