Pendidikan Islam di Tengah Gesekan Pendidikan Sekuler
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI UII Yogyakarta
PADA mulanya kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa tidak memisahkan antara gereja (church) dan negara (state). Pada masa itu antara gereja dan negara masih terintegrasi. Namun sejak Abad Pertengahan, di Barat mulai terjadi proses pemisahan antara agama dan negara.
Dominasi gereja yang terlalu ketat terhadap urusan keduniawian dirasa kurang pas oleh masyarakat Barat. Oleh karena itu masyarakat Barat mulai melepaskan diri dari dominasi gereja. Sejak itulah sekularisme muncul yang dalam perkembangannya menjadi pandangan hidup masyarakat Barat. Sekularisme dipahami sebagai ideologi dan pandangan hidup yang memisahkan urusan duniawi dari urusan keagamaan. Sekularisme bersaudara kembar atau berpautan dengan westernisme (paham Barat). Barat adalah sekuler, sekuler adalah Barat.
Pendidikan Barat berwatak sekuler. Murid-murid di sekolah tidak boleh berdoa di ruang kelas karena agama dipandang sebagai urusan pribadi yang tidak boleh masuk ke ruang publik. Sains dan teknologi terlepas dari nilai-nilai agama. Kemajuan di bidang teknologi kedokteran dan kebidanan digunakan untuk melakukan aborsi yang memang dilegalkan di Barat. Sperma laki-laki dapat diawetkan, disimpan di bank sperma, dan dapat dibeli oleh yang membutuhkan untuk mendapatkan keturunan.
Dengan menggunakan kemajuan sains dan teknologi yang canggih, sperma dan ovum dari pasangan tertentu (bisa pula bukan dari pasangan yang bersangkutan) bisa dibuahi dan dititipkan kepada rahim wanita lain yang disewa (sewa rahim). Nilai praktis dan pragmatis sains dan teknologi lebih dikedepankan dan tidak lagi dipandang dari etika dan nilai-nilai agama.
Haruskah Melakukan Pembaratan?
Adalah benar tesis yang menyatakan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Kemajuan Barat (Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat) membuktikan tesis ini. Tapi apakah untuk menjadi bangsa yang maju, suatu bangsa harus mencontoh dan menjadi Barat dalam arti menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat?
Menurut saya, untuk bisa menjadi bangsa yang maju, suatu bangsa tidak harus mencontoh Barat, tidak harus menjadi Barat (melaksanakan westernisasi/pembaratan), dan tidak harus menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat. Buktinya di era keemasan peradaban Islam (7–13 M), bangsa Arab-muslim jauh mendahului bangsa-bangsa Barat dalam mencapai kemajuan di bidang sains, kebudayaan, dan peradaban. Bangsa-bangsa Barat pada abad 7–13 M masih amat terpuruk dan belum melek ilmu pengetahuan.
Dari abad 7 M hingga 13 M sama sekali belum dikenal istilah westernisme-westernisasi dan sekularisme-sekularisasi. Seperti diutarakan di awal tulisan ini, istilah westernisme-westernisasi dan sekularisme-sekularisasi baru muncul pada Abad Pertengahan dan mencapai klimaksnya pada awal abad ke-20 M. Poin yang hendak ditekankan di sini adalah pendidikan yang dibangun, dikelola, dan dikembangkan oleh bangsa-bangsa muslim-Arab pada abad-abad itu berbasis agama (Islam).
Fakta sejarah ini secara terang-benderang menjelaskan bahwa tanpa menjadi Barat (tanpa melaksanakan westernisasi/pembaratan) dan tanpa melaksanakan sekularisme-sekularisasi, pendidikan yang dilaksanakan dengan kurikulum, sistem, dan program yang baik dapat menciptakan kemajuan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa.
Contoh konkretnya adalah Universitas Cordova di Spanyol pada masa Daulah Umayyah. Banyak mahasiswa baik muslim maupun kristiani berbondong-bondong belajar secara serius di Universitas Cordova untuk mempelajari, mendalami, dan menimba ilmu-ilmu keislaman dengan segala disiplin, jenis, dan cabangnya.
Universitas Cordoba memiliki daya tarik tersendiri karena menawarkan program studi keilmuan yang memikat minat para mahasiswa Barat yang pada masa itu memang haus akan ilmu pengetahuan. Apalagi pada masa itu Universitas Cordova merupakan universitas kelas dunia yang sangat amat terkenal di Eropa, reputasi akademik dan program studinya sudah mengungguli Universitas Al-Azhar (Kairo) dan Nizamiyah (Baghdad).
Tentang Universitas Cordova ini Philip K Hitti menyatakan: “Under him (al-Hakam II) the University of Cordova rose to a place of preeminence among the educational institutions of the world. It preceded both al-Azhar and Nizamiyah of Baghdad and attracted students, Christians and Muslim, not only from Spain but also from other parts of Europe.”(Di bawah pemerintahan Al-Hakam II [961–976 M], Universitas Cordova meningkat menjadi suatu pusat yang terbaik di antara lembaga-lembaga pendidikan di dunia. Ia mengungguli baik Universitas Al-Azhar maupun Nizamiyah di Baghdad dan menarik para mahasiswa, baik kristiani maupun muslim, tidak saja dari Spanyol tetapi juga dari berbagai penjuru Eropa).
Tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi para sarjana Barat juga menjadikan Universitas Cordova sebagai model ideal pendidikan tinggi mereka dengan cara mengadopsi sistem pendidikan tinggi, tradisi akademik, dan budaya ilmiah yang berkembang di Universitas Cordova dan menggunakan buku-buku filsafat dan kedokteran muslim sebagai bahan bacaan standar di universitas-universitas Barat.
Dengan cara demikian, Barat mulai bangkit dan secara bertahap mulai memasuki masa Renaisans. Masa Renaisans inilah yang menjadi mata rantai munculnya masa Aufklarung dan Enlightment di Barat sehingga Barat menjadi modern dan canggih seperti kita saksikan dewasa ini.
Pendidikan Indonesia dan Islam
Poin penting yang hendak ditekankan dengan mencuplik fragmen sejarah di atas adalah suatu bangsa (tentunya termasuk bangsa Indonesia) tidak harus mencontoh Barat, tidak harus menjadi Barat, dan tidak harus menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat untuk menjadi bangsa yang maju dan canggih.
Tentu, kita tidak harus anti-Barat. Kita mengambil hal-hal positif dan baik dari Barat (juga dari Timur) untuk memperbaiki sistem pendidikan kita (termasuk program dan kurikulumnya) dan untuk memperkaya ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban kita. Hal-hal yang tidak cocok dengan agama dan pandangan hidup bangsa (Pancasila) sudah selayaknya tidak kita contoh dan tidak kita ambil.
Tepat sekali desain dan tujuan pendidikan Indonesia yang telah dirumuskan dalam sistem pendidikan nasional (UU SPN) yang menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam Islam, pendidikan dan ilmu pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari agama. Islam menolak sekularisme dan menolak sekularisasi pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Dalam perspektif Islam, pendidikan sekuler bersifat berat sebelah, hanya menekankan pengembangan intelek (akal), tetapi tidak memberikan perhatian yang semestinya pada pengembangan spiritual.
Sistem pendidikan seperti ini sudah pasti terasa timpang dan pincang karena tidak menempatkan manusia sebagai makhluk utuh yang punya unsur spiritual-moral dan akal-kecerdasan. Hasilnya hanya menciptakan orang-orang pandai, cerdas, terampil, dan cakap, tetapi spiritualitas-iman mereka kering kerontang dan gersang.
Guru Besar Pascasarjana FIAI UII Yogyakarta
PADA mulanya kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa tidak memisahkan antara gereja (church) dan negara (state). Pada masa itu antara gereja dan negara masih terintegrasi. Namun sejak Abad Pertengahan, di Barat mulai terjadi proses pemisahan antara agama dan negara.
Dominasi gereja yang terlalu ketat terhadap urusan keduniawian dirasa kurang pas oleh masyarakat Barat. Oleh karena itu masyarakat Barat mulai melepaskan diri dari dominasi gereja. Sejak itulah sekularisme muncul yang dalam perkembangannya menjadi pandangan hidup masyarakat Barat. Sekularisme dipahami sebagai ideologi dan pandangan hidup yang memisahkan urusan duniawi dari urusan keagamaan. Sekularisme bersaudara kembar atau berpautan dengan westernisme (paham Barat). Barat adalah sekuler, sekuler adalah Barat.
Pendidikan Barat berwatak sekuler. Murid-murid di sekolah tidak boleh berdoa di ruang kelas karena agama dipandang sebagai urusan pribadi yang tidak boleh masuk ke ruang publik. Sains dan teknologi terlepas dari nilai-nilai agama. Kemajuan di bidang teknologi kedokteran dan kebidanan digunakan untuk melakukan aborsi yang memang dilegalkan di Barat. Sperma laki-laki dapat diawetkan, disimpan di bank sperma, dan dapat dibeli oleh yang membutuhkan untuk mendapatkan keturunan.
Dengan menggunakan kemajuan sains dan teknologi yang canggih, sperma dan ovum dari pasangan tertentu (bisa pula bukan dari pasangan yang bersangkutan) bisa dibuahi dan dititipkan kepada rahim wanita lain yang disewa (sewa rahim). Nilai praktis dan pragmatis sains dan teknologi lebih dikedepankan dan tidak lagi dipandang dari etika dan nilai-nilai agama.
Haruskah Melakukan Pembaratan?
Adalah benar tesis yang menyatakan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Kemajuan Barat (Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat) membuktikan tesis ini. Tapi apakah untuk menjadi bangsa yang maju, suatu bangsa harus mencontoh dan menjadi Barat dalam arti menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat?
Menurut saya, untuk bisa menjadi bangsa yang maju, suatu bangsa tidak harus mencontoh Barat, tidak harus menjadi Barat (melaksanakan westernisasi/pembaratan), dan tidak harus menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat. Buktinya di era keemasan peradaban Islam (7–13 M), bangsa Arab-muslim jauh mendahului bangsa-bangsa Barat dalam mencapai kemajuan di bidang sains, kebudayaan, dan peradaban. Bangsa-bangsa Barat pada abad 7–13 M masih amat terpuruk dan belum melek ilmu pengetahuan.
Dari abad 7 M hingga 13 M sama sekali belum dikenal istilah westernisme-westernisasi dan sekularisme-sekularisasi. Seperti diutarakan di awal tulisan ini, istilah westernisme-westernisasi dan sekularisme-sekularisasi baru muncul pada Abad Pertengahan dan mencapai klimaksnya pada awal abad ke-20 M. Poin yang hendak ditekankan di sini adalah pendidikan yang dibangun, dikelola, dan dikembangkan oleh bangsa-bangsa muslim-Arab pada abad-abad itu berbasis agama (Islam).
Fakta sejarah ini secara terang-benderang menjelaskan bahwa tanpa menjadi Barat (tanpa melaksanakan westernisasi/pembaratan) dan tanpa melaksanakan sekularisme-sekularisasi, pendidikan yang dilaksanakan dengan kurikulum, sistem, dan program yang baik dapat menciptakan kemajuan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa.
Contoh konkretnya adalah Universitas Cordova di Spanyol pada masa Daulah Umayyah. Banyak mahasiswa baik muslim maupun kristiani berbondong-bondong belajar secara serius di Universitas Cordova untuk mempelajari, mendalami, dan menimba ilmu-ilmu keislaman dengan segala disiplin, jenis, dan cabangnya.
Universitas Cordoba memiliki daya tarik tersendiri karena menawarkan program studi keilmuan yang memikat minat para mahasiswa Barat yang pada masa itu memang haus akan ilmu pengetahuan. Apalagi pada masa itu Universitas Cordova merupakan universitas kelas dunia yang sangat amat terkenal di Eropa, reputasi akademik dan program studinya sudah mengungguli Universitas Al-Azhar (Kairo) dan Nizamiyah (Baghdad).
Tentang Universitas Cordova ini Philip K Hitti menyatakan: “Under him (al-Hakam II) the University of Cordova rose to a place of preeminence among the educational institutions of the world. It preceded both al-Azhar and Nizamiyah of Baghdad and attracted students, Christians and Muslim, not only from Spain but also from other parts of Europe.”(Di bawah pemerintahan Al-Hakam II [961–976 M], Universitas Cordova meningkat menjadi suatu pusat yang terbaik di antara lembaga-lembaga pendidikan di dunia. Ia mengungguli baik Universitas Al-Azhar maupun Nizamiyah di Baghdad dan menarik para mahasiswa, baik kristiani maupun muslim, tidak saja dari Spanyol tetapi juga dari berbagai penjuru Eropa).
Tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi para sarjana Barat juga menjadikan Universitas Cordova sebagai model ideal pendidikan tinggi mereka dengan cara mengadopsi sistem pendidikan tinggi, tradisi akademik, dan budaya ilmiah yang berkembang di Universitas Cordova dan menggunakan buku-buku filsafat dan kedokteran muslim sebagai bahan bacaan standar di universitas-universitas Barat.
Dengan cara demikian, Barat mulai bangkit dan secara bertahap mulai memasuki masa Renaisans. Masa Renaisans inilah yang menjadi mata rantai munculnya masa Aufklarung dan Enlightment di Barat sehingga Barat menjadi modern dan canggih seperti kita saksikan dewasa ini.
Pendidikan Indonesia dan Islam
Poin penting yang hendak ditekankan dengan mencuplik fragmen sejarah di atas adalah suatu bangsa (tentunya termasuk bangsa Indonesia) tidak harus mencontoh Barat, tidak harus menjadi Barat, dan tidak harus menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat untuk menjadi bangsa yang maju dan canggih.
Tentu, kita tidak harus anti-Barat. Kita mengambil hal-hal positif dan baik dari Barat (juga dari Timur) untuk memperbaiki sistem pendidikan kita (termasuk program dan kurikulumnya) dan untuk memperkaya ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban kita. Hal-hal yang tidak cocok dengan agama dan pandangan hidup bangsa (Pancasila) sudah selayaknya tidak kita contoh dan tidak kita ambil.
Tepat sekali desain dan tujuan pendidikan Indonesia yang telah dirumuskan dalam sistem pendidikan nasional (UU SPN) yang menyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam Islam, pendidikan dan ilmu pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari agama. Islam menolak sekularisme dan menolak sekularisasi pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Dalam perspektif Islam, pendidikan sekuler bersifat berat sebelah, hanya menekankan pengembangan intelek (akal), tetapi tidak memberikan perhatian yang semestinya pada pengembangan spiritual.
Sistem pendidikan seperti ini sudah pasti terasa timpang dan pincang karena tidak menempatkan manusia sebagai makhluk utuh yang punya unsur spiritual-moral dan akal-kecerdasan. Hasilnya hanya menciptakan orang-orang pandai, cerdas, terampil, dan cakap, tetapi spiritualitas-iman mereka kering kerontang dan gersang.
(thm)