Beras dan Urgensi Diversifikasi Pangan

Rabu, 17 Januari 2018 - 07:50 WIB
Beras dan Urgensi Diversifikasi Pangan
Beras dan Urgensi Diversifikasi Pangan
A A A
Rifda Naufalin
Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman

Pemerintah memutuskan mengimpor beras sebanyak 500.000 ton dari Thailand dan Vietnam pada akhir Januari 2018. Kebijakan ini diambil untuk mengatasi lonjakan harga beras dan menambah pasokan yang sedang menurun. Keputusan impor ini memicu perbedaan pendapat banyak pihak. Ada yang menilai seharusnya impor tidak dilakukan karena masa panen raya akan tiba sekitar akhir Februari mendatang. Namun, bagi pemerintah impor penting dilakukan demi memperkuat cadangan beras nasional dan mengatasi gejolak harga di daerah.

Terlepas dari pro dan kontra perihal impor beras, kejadian ini kembali menyadarkan kita bahwa ketergantungan pada beras sebagai sumber pangan masih demikian tinggi. Belum makan kalau belum makan nasi, begitulah slogan yang terus membayangi masyarakat sehingga harus selalu tersedia beras untuk memenuhi kebutuhan pangan. Padahal, fakta menunjukkan bahwa pangan pokok penduduk yang bertumpu pada satu sumber karbohidrat yaitu beras akan melemahkan ketahanan pangan sekaligus menimbulkan kesulitan dalam pengadaannya. Dalam 10-15 tahun mendatang Indonesia diperkirakan akan mengalami kerawanan pangan jika konsumsi masyarakat hanya bergantung pada beras.

Permasalahan ketahanan pangan terkait dengan konsumsi pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hal yang sangat penting untuk diwujudkan. Ketahanan pangan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup dalam jumlah, gizi, mutu, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan sebenarnya telah lama berlangsung di Indonesia. Pada beberapa daerah tertentu masyarakatnya akrab dengan makanan pokok non­beras seperti jagung di Madura dan Nusa Tenggara Timur, sagu di Kepulauan Maluku, dan umbi di Papua. Namun, saat ini sebagian masyarakat di daerah-daerah tersebut mulai bergeser mengonsumsi beras karena menganggap makanan pokok asli mereka inferior. Untuk mengembalikan dan memantapkan program diversifikasi pangan yang telah berlangsung, diperlukan teknologi untuk memberikan nilai tambah terhadap produk pangan yang diproses dari berbagai bahan pangan lokal tersebut.

Ditinjau dari potensi sumber daya wilayah, sumber daya alam Indonesia memiliki potensi ketersediaan pangan yang beragam, dari satu wilayah ke wilayah lainnya, baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, maupun mineral. Pangan sumber karbohidrat biasanya berasal dari serealia, umbi, palmae, dan buah. Untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkungan yang majemuk dan memiliki aneka ragam kebudayaan dan potensi sumber pangan spesifik, strategi pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumber daya pangan wilayah.

Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan bahan baku lokal adalah produk-produknya yang hingga saat ini cenderung konvensional, nilai gizi kurang lengkap, dan penyajian yang kurang menarik. Hal ini menyebabkan relatif rendahnya ketertarikan masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai sumber karbohidrat substitusi terhadap beras. Untuk meningkatkan nilai tambah dari produk berbahan baku lokal ini agar bisa sejajar dengan pangan lain, perlu ada sentuhan teknologi sehingga menarik untuk disajikan serta enak dan ekonomis. Optimasi pemanfaatan yang berbasis pada keragaman sumber daya lokal akan mampu mewujudkan ketahanan pangan pada tataran nasional, yaitu kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, dan aman.

Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan jalan keluar yang saat ini dianggap paling rasional untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan beras. Melalui penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan nasional.

Belajar dari kenyataan di atas, teknologi tepung campuran (tepung komposit) dari aneka bahan baku lokal tampaknya cukup prospektif sebagai pendorong diversifikasi pangan. Pendekatan ini tentu saja tidak sesederhana yang dibayangkan, melainkan tetap memerlukan berbagai pengkajian. Sebagai contoh, pencampuran bahan membawa konsekuensi perubahan karakter bahan dan perubahan mutu produk pangan. Namun, preferensi dan budaya makan daerah yang sangat beragam merupakan modal dasar sebagai acuan bentuk pangan yang berdiversifikasi.

Angkat Citra Pangan Lokal
Berdasarkan kandungan karbohidrat dan nilai gizinya, produk pangan lokal (umbi, serealia, palmae, dan buah) dapat digunakan sebagai sumber pangan lokal. Dengan beberapa cara pengolahan, bahan pangan lokal dapat diproses menjadi produk pangan untuk menunjang ketahanan pangan. Penganekaragaman konsumsi pangan bukanlah merupakan upaya yang mudah dan cepat dinilai keberhasilannya. Perilaku konsumsi pangan yang sudah terpola pada masyarakat Indonesia tidaklah mudah diubah begitu saja. Usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan untuk penganekara­gaman makanan, khususnya dalam rangka mengurangi ketergantungan akan beras belumlah cukup. Sosialisasi dan pengenalan berbagai jenis olahan perlu dilakukan secara terus-menerus. Untuk menjaga kesinambungan penganekaragaman pangan non­beras, perlu dikenalkan aneka olahan dari tepung-tepungan.

Penerapan teknologi pengolahan baik sederhana maupun modern dapat meningkatkan citra sumber pangan lokal. Selama ini bahan pangan tersebut sering disebut bahan alternatif pengganti beras (sebagai sumber karbohidrat/kalori) sehingga mengandung pengertian kelas dua. Padahal, dengan sentuhan teknologi yang memadai, bahan-bahan tersebut dapat digunakan sebagai pendamping nasi (sebagai makanan pokok), makanan kudapan (snack food) baik tradisional maupun dengan teknologi modern.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6527 seconds (0.1#10.140)