Agama dan Tradisi

Jum'at, 12 Januari 2018 - 08:06 WIB
Agama dan Tradisi
Agama dan Tradisi
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

AGAMA itu diyakini datang dari “langit”, sedangkan tradisi tumbuh dari “bumi”. Tapi setiap agama yang hadir di bumi pasti akan bertemu dan menyatu dengan tradisi lokal.

Bahkan sebuah agama pada urutannya juga akan melahirkan tradisi baru, yaitu tradisi keagamaan. Oleh karena itu agama dan tradisi selalu menyatu, bagaikan menyatunya roh dan tubuh. Kita semua begitu terlahir langsung diasuh dan dibesarkan oleh tradisi.

Yang paling mencolok tentu dalam hal bahasa, makanan, dan agama. Anak kecil akan berbahasa mengikuti bahasa lingkungan keluarga dan sosialnya.

Begitu pun selera dan cara makan serta jenis makanan yang disantap sangat dipengaruhi tradisi keluarganya. Juga dalam aspek keberagamaan, seorang anak akan mengikuti agama orang tuanya meskipun setelah dewasa bisa saja seseorang menyatakan berganti keyakinan agamanya.

Pola pikir seseorang pun sangat dipengaruhi lingkungan tradisi yang membesarkannya. Dengan demikian, secara ontologis-teologis, agama dan tradisi bisa dibedakan, tetapi pada praktiknya agama dan tradisi tak mungkin dipisahkan atau bahkan dibedakan.

Paham dan praktik agama yang sampai pada kita, apa pun agamanya, sudah melalui berbagai saluran tradisi dan tafsiran sehingga bisa jadi di sana terjadi reduksi dan deviasi dari ajaran dasarnya meskipun kadarnya berbeda-beda. Kita melihat dalam sejarah, agama tumbuh menjadi besar setelah keluar dari tempat kelahirannya, bertemu dengan budaya baru di luarnya.

Tafsiran dan pengalaman umat beragama yang sedemikian banyak dan beragam tanpa disadari juga telah bercampur baur, saling memperkaya yang lain. Ini bagaikan model pakaian, sudah tumpang tindih dan bercampur modelnya meskipun elemen dasarnya tetap.

Kadang perjumpaan agama juga berbenturan. Secara komunal umat beragama punya rumah dan basis yang jelas, tetapi pada ranah kehidupan sosial terjadi perjumpaan lintas umat. Terlebih lagi dengan situasi masyarakat dunia yang semakin plural sebagaimana juga Indonesia, keragaman agama dan tradisi keagamaan juga mudah kita jumpai di mana-mana.

Beruntunglah dasar negara kita Pancasila sehingga kerja sama antarumat yang berbeda sudah biasa dan berlangsung lama, bahkan difasilitasi negara. Di era demokrasi, persilangan antar-pemikiran dan tradisi agama semakin leluasa. Dengan demikian, pada ranah budaya, berbagai unsur agama bisa saja bertemu dan berkembang bersamaan tanpa merusak keyakinan agama masing-masing.

Panggung budaya itu bagaikan pasar atau mal yang mempertemukan dan menampung berbagai macam orang dan dagangan. Mempertemukan beragam penjual dan pembeli. Salah satu yang ditawarkan adalah agama yang telah dikemas atau dibungkus sedemikian rupa agar menarik bagi calon pembelinya.

Agama-agama besar yang tumbuh di Nusantara ini semuanya adalah pendatang. Agama datang ke sini dengan kendaraan bermacam-macam. Ada yang datang bersama pedagang, ada pula yang beriringan dengan imperialis. Bersama jalannya waktu, agama yang asalnya dari luar telah tumbuh menyatu dengan budaya dan tradisi lokal.

Dengan demikian, pemahaman, praktik, dan kemasan agama yang ada sekarang ini semakin kental dan kaya nuansa budaya lokalnya. Misalnya saja istilah surga yang asalnya dari tradisi Hindu, orang Islam pun menggunakan kata surga dan neraka yang disesuaikan dengan konsep Islam.

Berbagai tradisi dan agama bercampur di ranah Nusantara. Yang paling khas dan tidak bercampur adalah tata cara ibadahnya. Tapi, selain ibadah, sesungguhnya pergaulan lintas umat beragama tak mungkin dibatasi.

Sekali lagi, ibarat pasar, tak ada pembedaan latar belakang etnik dan agama. Yang penting terjaga suasana damai dan saling menguntungkan bagi semua pihak. Masing-masing silakan menawarkan dagangan atau ajarannya dengan cara yang menarik dan saling menghargai, tidak boleh main paksa dan mengancam yang lain.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6140 seconds (0.1#10.140)