Agama dan Pilkada
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
SAYA mendapat kesempatan berada di Tanah Air dalam tiga hari terakhir, bersamaan dengan masa-masa pendaftaran calon-calon yang akan bertarung di pilkada serentak di tanah air tahun ini. Sungguh banyak hal yang saya pelajari, yang boleh jadi selama ini sering saya dengar. Tapi kali ini hal-hal itu nampak di hadapan mata, bahkan serasa saya sendiri yang mengalaminya.
Manuver-manuver politik yang begitu dahsyat, bahkan tidak jarang menengangkan bagi para bakal calon dan para pendukungnya. Manuver-manuver itu tidak lepas dari “keuangan yang maha kuat”, dan himpitan kepentingan, langsung ataupun tidak. Langsung berarti dengan memenangkan kandidat tertentu ada pihak-pihak yang secara langsung meraup keuntungan, khususnya meraup keuntungan materi.
Tapi ada juga yang bertujuan dengan memenangkan kandidat tertentu merasa kepentingannya akan terlindungi, apakah itu posisi selanjutnya atau boleh jadi dari kemungkinan terbongkarnya kejahatan-kejahatan yang melibatkan dirinya. Bahkan benar tidaknya proses pencalonan ini kerap kali melibatkan “penyanderaan” pada tingkatan tertentu.
Artinya jika tidak meloloskan kandidat tertentu maka ada “kasus”. Apakah itu benaran atau boleh jadi dalam bentuk “rekayasa” yang akan dimainkan untuk mencelakakang pihak-pihak yang menentukan rekomendasi sang calon.
Penentuan rekomendasi oleh pimpinan pusat partai juga menjadi dilema besar. Selain karena mereka yang di pusat belum tentu tahu realita daerah, juga pengurus partai daerah juga sarat dengan kepentingannya, yang belum tentu sejalan dengan kepentingan umum konstituennya.
Realita ini yang seringkali menjadikan sikap partai-partai sangat membingunkan, seolah tidak berprinsip. Di pusat atau di daerah lain menampakkan diri sebagai musuh, tapi di daerah tertentu justru berangkulan.
Apakah hal itu salah? Tentu tidak karena partai memang kendaraan untuk mencapai tujuan politik. Dilemanya ada pada apa yang dimaksud tujuan politik itu? Apakah itu kemahakuasaan uang? Atau sekadar kekuasaan itu sendiri seraya menghiraukan kepentingan umum rakyat?
Yang lebih parah lagi adalah ketika partai-partai yang berangkulan untuk kandidat tertentu itu secara ideologi kontras. Di saat sebuah partai misalnya dituduh melindungi kebijakan-kebijakan yang “anti Islam” dan "kepentingan rakyat mayoritas” tapi di sisi lain berangkulan mendukung kandidat tertentu. Tentu hal ini bukan lagi pertimbangan “strategi” tapi sudah menjadi isu ideologi.
Religiusitas Musiman
Ada lagi satu hal yang lucu di musim pilkada, dan juga pilihan-pilihan lainnya termasuk pemilihan anggota legislatif bahkan pilpres. Yaitu terjadinya musim beragama dadakan. Tiba-tiba saja para kandidat menjadi sangat religius dan punya perhatian kepada agama.
Ada yang selama ini dikenal liar dari agama, bahkan maaf kerap kali menampakkan ketidaksimpatisannya kepada agama. Tiba-tiba di saat akan memasuki hari-hari kampanye secara mendadak menjadi sangat religius. Rajin mengunjungi masjid, berpakaian koko dan songkok, bahkan memberikan janji-janji kesejahteraan kepada para takmir masjid.
Bahkan tidak lagi menjadi rahasia umum jika ada pihak-pihak yang berkepentingan menampilkan perilaku kontra yang nyata. Semua ini menunjukkan bahwa memang agama masih menjadi komoditas menarik untuk dijual demi kepentingan-kepentingan politik. Kerap kali agama menjadi bumper bagi kepentingan-kepentingan sesaat para politisi.
Di satu sisi, sebagaimana sering saya sampaikan, masyarakat Indonesia masih sangat labil dalam emosi. Begitu mudah terbawa arus, mengikuti arus dan hembusan angin kepentingan mereka yang berkepentingan. Kelabilan emosi ini menjadikan umat dan bangsa ini sangat mudah marah, tapi juga mudah melupakan dan terbuai di kemudian hari.
Oleh karenanya di saat-saat seperti ini, di saat ketika berbagai manuver dilakukan untuk meloloskan kepentingan politik, umat harus punya prinsip. Bahwa dalam memilih hendaknya memperhatikan latar belakang, realita karakter pribadi, keluarga serta kematangan dari calon-calon yang ada.
Jangan mudah silau, apalagi terjatuh dalam perangkap kepentingan sesaat. Khusus dalam hal agama hendaknya jeli dengan latar belakang seseorang. Agama itu tidak terjadi secara spontanitas. Agama itu adalah kehidupan.
Kalau kehidupan seseorang selama ini acuh, tidak peduli, bahkan kontra dengan agama itu sendiri, lalu tiba-tiba di musim kampanye menjadi sangat agamis? Apakah itu kejujuran? Atau itu sebuah jebakan bagi khalayak ramai untuk mendukungnya.
Tapi kalau seorang kandidat itu jelas latar belakangnya, keluarganya, bahkan sikap dan kebijakan publiknya jelas memihak, jangan lagi ragu untuk memilihnya. Pilihlah kejujuran di atas kepura-puraan!
Presiden Nusantara Foundation
SAYA mendapat kesempatan berada di Tanah Air dalam tiga hari terakhir, bersamaan dengan masa-masa pendaftaran calon-calon yang akan bertarung di pilkada serentak di tanah air tahun ini. Sungguh banyak hal yang saya pelajari, yang boleh jadi selama ini sering saya dengar. Tapi kali ini hal-hal itu nampak di hadapan mata, bahkan serasa saya sendiri yang mengalaminya.
Manuver-manuver politik yang begitu dahsyat, bahkan tidak jarang menengangkan bagi para bakal calon dan para pendukungnya. Manuver-manuver itu tidak lepas dari “keuangan yang maha kuat”, dan himpitan kepentingan, langsung ataupun tidak. Langsung berarti dengan memenangkan kandidat tertentu ada pihak-pihak yang secara langsung meraup keuntungan, khususnya meraup keuntungan materi.
Tapi ada juga yang bertujuan dengan memenangkan kandidat tertentu merasa kepentingannya akan terlindungi, apakah itu posisi selanjutnya atau boleh jadi dari kemungkinan terbongkarnya kejahatan-kejahatan yang melibatkan dirinya. Bahkan benar tidaknya proses pencalonan ini kerap kali melibatkan “penyanderaan” pada tingkatan tertentu.
Artinya jika tidak meloloskan kandidat tertentu maka ada “kasus”. Apakah itu benaran atau boleh jadi dalam bentuk “rekayasa” yang akan dimainkan untuk mencelakakang pihak-pihak yang menentukan rekomendasi sang calon.
Penentuan rekomendasi oleh pimpinan pusat partai juga menjadi dilema besar. Selain karena mereka yang di pusat belum tentu tahu realita daerah, juga pengurus partai daerah juga sarat dengan kepentingannya, yang belum tentu sejalan dengan kepentingan umum konstituennya.
Realita ini yang seringkali menjadikan sikap partai-partai sangat membingunkan, seolah tidak berprinsip. Di pusat atau di daerah lain menampakkan diri sebagai musuh, tapi di daerah tertentu justru berangkulan.
Apakah hal itu salah? Tentu tidak karena partai memang kendaraan untuk mencapai tujuan politik. Dilemanya ada pada apa yang dimaksud tujuan politik itu? Apakah itu kemahakuasaan uang? Atau sekadar kekuasaan itu sendiri seraya menghiraukan kepentingan umum rakyat?
Yang lebih parah lagi adalah ketika partai-partai yang berangkulan untuk kandidat tertentu itu secara ideologi kontras. Di saat sebuah partai misalnya dituduh melindungi kebijakan-kebijakan yang “anti Islam” dan "kepentingan rakyat mayoritas” tapi di sisi lain berangkulan mendukung kandidat tertentu. Tentu hal ini bukan lagi pertimbangan “strategi” tapi sudah menjadi isu ideologi.
Religiusitas Musiman
Ada lagi satu hal yang lucu di musim pilkada, dan juga pilihan-pilihan lainnya termasuk pemilihan anggota legislatif bahkan pilpres. Yaitu terjadinya musim beragama dadakan. Tiba-tiba saja para kandidat menjadi sangat religius dan punya perhatian kepada agama.
Ada yang selama ini dikenal liar dari agama, bahkan maaf kerap kali menampakkan ketidaksimpatisannya kepada agama. Tiba-tiba di saat akan memasuki hari-hari kampanye secara mendadak menjadi sangat religius. Rajin mengunjungi masjid, berpakaian koko dan songkok, bahkan memberikan janji-janji kesejahteraan kepada para takmir masjid.
Bahkan tidak lagi menjadi rahasia umum jika ada pihak-pihak yang berkepentingan menampilkan perilaku kontra yang nyata. Semua ini menunjukkan bahwa memang agama masih menjadi komoditas menarik untuk dijual demi kepentingan-kepentingan politik. Kerap kali agama menjadi bumper bagi kepentingan-kepentingan sesaat para politisi.
Di satu sisi, sebagaimana sering saya sampaikan, masyarakat Indonesia masih sangat labil dalam emosi. Begitu mudah terbawa arus, mengikuti arus dan hembusan angin kepentingan mereka yang berkepentingan. Kelabilan emosi ini menjadikan umat dan bangsa ini sangat mudah marah, tapi juga mudah melupakan dan terbuai di kemudian hari.
Oleh karenanya di saat-saat seperti ini, di saat ketika berbagai manuver dilakukan untuk meloloskan kepentingan politik, umat harus punya prinsip. Bahwa dalam memilih hendaknya memperhatikan latar belakang, realita karakter pribadi, keluarga serta kematangan dari calon-calon yang ada.
Jangan mudah silau, apalagi terjatuh dalam perangkap kepentingan sesaat. Khusus dalam hal agama hendaknya jeli dengan latar belakang seseorang. Agama itu tidak terjadi secara spontanitas. Agama itu adalah kehidupan.
Kalau kehidupan seseorang selama ini acuh, tidak peduli, bahkan kontra dengan agama itu sendiri, lalu tiba-tiba di musim kampanye menjadi sangat agamis? Apakah itu kejujuran? Atau itu sebuah jebakan bagi khalayak ramai untuk mendukungnya.
Tapi kalau seorang kandidat itu jelas latar belakangnya, keluarganya, bahkan sikap dan kebijakan publiknya jelas memihak, jangan lagi ragu untuk memilihnya. Pilihlah kejujuran di atas kepura-puraan!
(poe)