Asas Keadilan dalam Verifikasi Partai Politik
![Asas Keadilan dalam...](https://a-cdn.sindonews.net/dyn/732/content/2018/01/10/18/1272375/asas-keadilan-dalam-verifikasi-partai-politik-oME-thumb.jpg)
Asas Keadilan dalam Verifikasi Partai Politik
A
A
A
Asep Warlan Yusuf
Dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung
Di dalam kehidupan ketatanegaraan senantiasa didukung dan dijalankan oleh dua aras besar yang fungsional dan saling memengaruhi, yakni kehidupan di infrastruktur politik dan di suprastruktur politik.
Di infrastruktur politik terdapat partai politik (parpol), tokoh politik, golongan penekan, golongan kepentingan, dan media komunikasi politik, yang masing-masing memengaruhi cara kerja anggota masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menerjemahkan, mengonversi tuntutan, dukungan, dan masalah tertentu yang berhubungan dengan kepentingan umum.
Sementara di suprastruktur politik terdapat lembaga-lembaga negara yang dengan absah mengidentifikasi segala masalah, menentukan dan menjalankan segala keputusan yang mengikat seluruh anggota masyarakat untuk mencapai kepentingan umum.
Dengan demikian, dalam kehidupan ketatanegaraan itu antara infrastruktur politik dan suprastruktur politik terdapat saling memengaruhi secara timbal balik, saling mendukung, dan tak terpisahkan dalam satu ikatan sistem ketatanegaraan dan sistem politik. Hubungan kerja di antara keduanya kemudian diatur dalam konstitusi.
Secara sederhana, apabila konstitusi mengakui dan menghormati adanya kehidupan di infrastruktur politik yang menggambarkan hubungan timbal balik dalam posisi masing-masing secara proporsional, maka disebut dengan demokrasi konstitusional (constitutional democracy).
Ciri khas dari demokrasi konstitusional, antara lain negara menjamin semua subjek hukum yang ada di infrastruktur politik adalah sama di hadapan hukum, tanpa kecuali. Indonesia, secara hukum telah menempatkan parpol sebagai penggerak dan pengisi jalannya demokrasi konstitusional.
Sebagai perwujudan dari komitmen negara dalam memandang kedudukan, hak, dan kewajiban parpol yang menjamin sama di hadapan hukum, kemudian dituangkan dalam Pasal 12 Undang-Undang No 2/2008 tentang Partai Politik yang dengan jelas dan tegas menyebutkan bahwa parpol berhak, antara lain memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara, serta ikut serta dalam pemilihan umum (pemilu) sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang pemilu.
Makna dari hak parpol untuk memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil, yaitu dalam hal parpol sudah terdaftar sebagai peserta pemilu sesuai persyaratan yang diatur dalam UU, maka negara wajib memperlakukannya secara adil, sama dan sederajat.
Hukum tidak boleh membedakan perlakuan terhadap setiap parpol, baik yang telah memiliki kursi di DPR RI maupun yang baru didirikan. UU Partai Politik jelas tidak membedakan apakah partai itu ”lama” atau ”baru”, dan juga tidak membedakan pula apakah partai itu sudah memiliki kursi di DPR atau belum memiliki kursi di DPR. Acuannya sama, yaitu telah mendaftarkan sebagai peserta pemilu.
Dalam hal adanya UU yang membedakan perlakuan antara satu partai dengan partai-partai lainnya, jelas dan tegas telah melanggar atau bertentangan dengan asas "semua parpol sama di hadapan hukum” dan prinsip ”Negara melalui UU wajib memperlakukan sama, sederajat, dan adil bagi semua parpol".
Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan h UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa ”Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan dan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”.
Yang dimaksud dengan ”asas keadilan” dalam materi muatan peraturan perundang-undangan bahwa isi dari undang-undang itu tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup Pancasila, yang menjadi dasar hidup masyarakat yang akhirnya bermuara pada keadilan. Hukum harus mengandung nilai keadilan bagi semua subjek hukum.
Dalam hal dibentuknya suatu norma ditujukan atau dimaksudkan hanya menguntungkan secara sepihak dan subjektif dari pihak yang membentuknya, dengan tanpa memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terkena hukum tersebut, maka jelas norma tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan ”asas keadilan”, ”asas kesamaan”, dan ”asas kejelasan tujuan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 UU No 12/2011.
Dalam konteks materi Pasal 173 ayat (3) UU Pemilihan Umum yang pada intinya menyatakan bahwa parpol yang sudah diverifikasi pada saat pemilu sebelumnya atau parpol yang memiliki kursi di DPR RI periode 2014-2019 tidak perlu dilakukan verifikasi, cukup hanya mendaftar, maka norma Pasal 173 ayat (3) tersebut jelas telah bertentangan prinsip negara hukum dan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Berkenaan dengan penyelenggaraan pemilu, diatur kegiatan penyelenggaraannya oleh Komisi Pemilihan Umum yang antara lain mengatur mengenai Tahapan Penyelenggaraan Pemilu, dalam Pasal 167 ayat 4 huruf c, yakni adanya pendaftaran dan verifikasi serta penetapan peserta pemilu.
Ketentuan ini bermakna bahwa setiap parpol yang akan ikut serta dalam pemilu wajib melakukan pendaftaran dan verifikasi untuk kemudian apabila memenuhi semua persyaratan, akan ditetapkan sebagai peserta pemilu. Apabila tidak dilakukan pendaftaran dan verifikasi kepada semua/setiap calon peserta pemilu, harus dinyatakan bahwa calon peserta pemilu yang tidak melakukan pendaftaran dan verifikasi adalah cacat hukum administrasi kepemiluan.
Dengan demikian, dalam hal suatu parpol yang mendaftar sebagai peserta pemilu, maka semua harus diperlakukan sama karena setiap parpol yang akan menjadi peserta pemilu berkedudukan dalam hukum sama dan sederajat.
Apabila dicermati dari bunyi Pasal 164 ayat (4) huruf c UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum, maka setiap parpol yang akan ikut serta dalam pemilu harus didaftarkan dan harus diverifikasi. Kata sambung ”dan” menunjukkan makna yang kumulatif, yakni selain pendaftaran juga verifikasi.
Dengan demikian, tidak bermakna alternatif. Merujuk pada rumusan norma Pasal 164 ayat (4) huruf c tersebut antara pendaftaran dengan verifikasi merupakan satu kesatuan tindakan atau satu paket, tidak terpisahkan. ”Pendaftaran” bermakna sebagai tindakan dari parpol untuk menyerahkan kepada KPU berbagai dokumen, persyaratan, dan keterangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU No 7/2017 sebagai tahapan awal.
Tahapan selanjutnya setelah semua berkas pendaftaran tadi diterima oleh KPU, dilakukan verifikasi. Dengan demikian, verifikasi merupakan kelanjutan dari pendaftaran, serangkaian proses yang tak terpisahkan.
Untuk menjadikan parpol itu sah sebagai peserta pemilu, maka setiap parpol itu harus mendaftar sebagai peserta pemilu. Mengapa harus
didaftarkan lagi? Karena dalam faktanya ada kemungkinan terjadi perubahan dalam berbagai aspeknya, misalnya kepengurusan, jumlah
cabang, keanggotaan, keterwakilan perempuan, memiliki kantor atau sekretariat tetap, dan sebagainya.
Karena dimungkinkan terjadinya berbagai perubahan dalam berkas dokumen suatu parpol, maka setiap pendaftaran wajib selanjutnya dilakukan verifikasi. Maksud dari verifikasi berkas pendaftaran tersebut untuk memastikan bahwa semua berkas, dokumen, dan keterangan yang disertakan dalam pendaftaran benar-benar valid dan sah.
Tidak ada jaminan hukum bahwa berkas dokumen yang disertakan pada saat parpol melakukan pendaftaran dalam pemilu sebelumnya masih valid dan sah serta sesuai fakta di lapangan sehingga tetap diperlukan verifikasi ketika parpol ikut serta lagi dalam pemilu berikutnya. Dengan demikian, semua berkas yang diserahkan kepada KPU wajib dilakukan verifikasi.
Apabila dicermati dan disimak dari maksud dan tujuan verifikasi sebagaimana terurai di atas, tampak betapa pentingnya verifikasi sebagai instrumen hukum administrasi kepemiluan. Karena pentingnya verifikasi sebagai sarana hukum untuk memastikan validitas dan keabsahan antara berkas dokumen yang diserahkan kepada KPU dan fakta di lapangan, maka perlu disediakan anggaran atau dana yang memadai.
Dalam hal adanya alasan yang menyatakan tidak perlu dilakukan verifikasi menyeluruh bagi parpol yang ”lama” (yang sudah diverifikasi pada waktu pemilu sebelumnya) karena tidak efisien atau pemborosan, tidak relevan dan terkesan menghindar dari kewajiban hukum. Jadi, pengaturan dalam UU yang tidak adil, diskriminatif, pilih kasih dalam perlakuan terhadap parpol dengan alasan efisiensi adalah tidak logis, tidak relevan, dan tidak rasional.
Dengan demikian, apabila Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu dihapuskan, maka UU Pemilu dan penyelenggaraan pemilu akan benar-benar menjunjung tinggi dan menghormati prinsip dalam pemilu yakni adil, sederajat, dan fairness sehingga proses pemilu menjadi semakin baik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa rumusan Pasal 173 ayat (3) UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang
menyatakan bahwa ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu” tidak sesuai dan bertentangan Pasal 1 ayat (3) jo 28D UUD 1945, yakni keadilan, kepastian hukum, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung
Di dalam kehidupan ketatanegaraan senantiasa didukung dan dijalankan oleh dua aras besar yang fungsional dan saling memengaruhi, yakni kehidupan di infrastruktur politik dan di suprastruktur politik.
Di infrastruktur politik terdapat partai politik (parpol), tokoh politik, golongan penekan, golongan kepentingan, dan media komunikasi politik, yang masing-masing memengaruhi cara kerja anggota masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan, menerjemahkan, mengonversi tuntutan, dukungan, dan masalah tertentu yang berhubungan dengan kepentingan umum.
Sementara di suprastruktur politik terdapat lembaga-lembaga negara yang dengan absah mengidentifikasi segala masalah, menentukan dan menjalankan segala keputusan yang mengikat seluruh anggota masyarakat untuk mencapai kepentingan umum.
Dengan demikian, dalam kehidupan ketatanegaraan itu antara infrastruktur politik dan suprastruktur politik terdapat saling memengaruhi secara timbal balik, saling mendukung, dan tak terpisahkan dalam satu ikatan sistem ketatanegaraan dan sistem politik. Hubungan kerja di antara keduanya kemudian diatur dalam konstitusi.
Secara sederhana, apabila konstitusi mengakui dan menghormati adanya kehidupan di infrastruktur politik yang menggambarkan hubungan timbal balik dalam posisi masing-masing secara proporsional, maka disebut dengan demokrasi konstitusional (constitutional democracy).
Ciri khas dari demokrasi konstitusional, antara lain negara menjamin semua subjek hukum yang ada di infrastruktur politik adalah sama di hadapan hukum, tanpa kecuali. Indonesia, secara hukum telah menempatkan parpol sebagai penggerak dan pengisi jalannya demokrasi konstitusional.
Sebagai perwujudan dari komitmen negara dalam memandang kedudukan, hak, dan kewajiban parpol yang menjamin sama di hadapan hukum, kemudian dituangkan dalam Pasal 12 Undang-Undang No 2/2008 tentang Partai Politik yang dengan jelas dan tegas menyebutkan bahwa parpol berhak, antara lain memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara, serta ikut serta dalam pemilihan umum (pemilu) sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang pemilu.
Makna dari hak parpol untuk memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil, yaitu dalam hal parpol sudah terdaftar sebagai peserta pemilu sesuai persyaratan yang diatur dalam UU, maka negara wajib memperlakukannya secara adil, sama dan sederajat.
Hukum tidak boleh membedakan perlakuan terhadap setiap parpol, baik yang telah memiliki kursi di DPR RI maupun yang baru didirikan. UU Partai Politik jelas tidak membedakan apakah partai itu ”lama” atau ”baru”, dan juga tidak membedakan pula apakah partai itu sudah memiliki kursi di DPR atau belum memiliki kursi di DPR. Acuannya sama, yaitu telah mendaftarkan sebagai peserta pemilu.
Dalam hal adanya UU yang membedakan perlakuan antara satu partai dengan partai-partai lainnya, jelas dan tegas telah melanggar atau bertentangan dengan asas "semua parpol sama di hadapan hukum” dan prinsip ”Negara melalui UU wajib memperlakukan sama, sederajat, dan adil bagi semua parpol".
Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan h UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa ”Materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan dan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”.
Yang dimaksud dengan ”asas keadilan” dalam materi muatan peraturan perundang-undangan bahwa isi dari undang-undang itu tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup Pancasila, yang menjadi dasar hidup masyarakat yang akhirnya bermuara pada keadilan. Hukum harus mengandung nilai keadilan bagi semua subjek hukum.
Dalam hal dibentuknya suatu norma ditujukan atau dimaksudkan hanya menguntungkan secara sepihak dan subjektif dari pihak yang membentuknya, dengan tanpa memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terkena hukum tersebut, maka jelas norma tersebut telah melanggar dan bertentangan dengan ”asas keadilan”, ”asas kesamaan”, dan ”asas kejelasan tujuan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 UU No 12/2011.
Dalam konteks materi Pasal 173 ayat (3) UU Pemilihan Umum yang pada intinya menyatakan bahwa parpol yang sudah diverifikasi pada saat pemilu sebelumnya atau parpol yang memiliki kursi di DPR RI periode 2014-2019 tidak perlu dilakukan verifikasi, cukup hanya mendaftar, maka norma Pasal 173 ayat (3) tersebut jelas telah bertentangan prinsip negara hukum dan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Berkenaan dengan penyelenggaraan pemilu, diatur kegiatan penyelenggaraannya oleh Komisi Pemilihan Umum yang antara lain mengatur mengenai Tahapan Penyelenggaraan Pemilu, dalam Pasal 167 ayat 4 huruf c, yakni adanya pendaftaran dan verifikasi serta penetapan peserta pemilu.
Ketentuan ini bermakna bahwa setiap parpol yang akan ikut serta dalam pemilu wajib melakukan pendaftaran dan verifikasi untuk kemudian apabila memenuhi semua persyaratan, akan ditetapkan sebagai peserta pemilu. Apabila tidak dilakukan pendaftaran dan verifikasi kepada semua/setiap calon peserta pemilu, harus dinyatakan bahwa calon peserta pemilu yang tidak melakukan pendaftaran dan verifikasi adalah cacat hukum administrasi kepemiluan.
Dengan demikian, dalam hal suatu parpol yang mendaftar sebagai peserta pemilu, maka semua harus diperlakukan sama karena setiap parpol yang akan menjadi peserta pemilu berkedudukan dalam hukum sama dan sederajat.
Apabila dicermati dari bunyi Pasal 164 ayat (4) huruf c UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum, maka setiap parpol yang akan ikut serta dalam pemilu harus didaftarkan dan harus diverifikasi. Kata sambung ”dan” menunjukkan makna yang kumulatif, yakni selain pendaftaran juga verifikasi.
Dengan demikian, tidak bermakna alternatif. Merujuk pada rumusan norma Pasal 164 ayat (4) huruf c tersebut antara pendaftaran dengan verifikasi merupakan satu kesatuan tindakan atau satu paket, tidak terpisahkan. ”Pendaftaran” bermakna sebagai tindakan dari parpol untuk menyerahkan kepada KPU berbagai dokumen, persyaratan, dan keterangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU No 7/2017 sebagai tahapan awal.
Tahapan selanjutnya setelah semua berkas pendaftaran tadi diterima oleh KPU, dilakukan verifikasi. Dengan demikian, verifikasi merupakan kelanjutan dari pendaftaran, serangkaian proses yang tak terpisahkan.
Untuk menjadikan parpol itu sah sebagai peserta pemilu, maka setiap parpol itu harus mendaftar sebagai peserta pemilu. Mengapa harus
didaftarkan lagi? Karena dalam faktanya ada kemungkinan terjadi perubahan dalam berbagai aspeknya, misalnya kepengurusan, jumlah
cabang, keanggotaan, keterwakilan perempuan, memiliki kantor atau sekretariat tetap, dan sebagainya.
Karena dimungkinkan terjadinya berbagai perubahan dalam berkas dokumen suatu parpol, maka setiap pendaftaran wajib selanjutnya dilakukan verifikasi. Maksud dari verifikasi berkas pendaftaran tersebut untuk memastikan bahwa semua berkas, dokumen, dan keterangan yang disertakan dalam pendaftaran benar-benar valid dan sah.
Tidak ada jaminan hukum bahwa berkas dokumen yang disertakan pada saat parpol melakukan pendaftaran dalam pemilu sebelumnya masih valid dan sah serta sesuai fakta di lapangan sehingga tetap diperlukan verifikasi ketika parpol ikut serta lagi dalam pemilu berikutnya. Dengan demikian, semua berkas yang diserahkan kepada KPU wajib dilakukan verifikasi.
Apabila dicermati dan disimak dari maksud dan tujuan verifikasi sebagaimana terurai di atas, tampak betapa pentingnya verifikasi sebagai instrumen hukum administrasi kepemiluan. Karena pentingnya verifikasi sebagai sarana hukum untuk memastikan validitas dan keabsahan antara berkas dokumen yang diserahkan kepada KPU dan fakta di lapangan, maka perlu disediakan anggaran atau dana yang memadai.
Dalam hal adanya alasan yang menyatakan tidak perlu dilakukan verifikasi menyeluruh bagi parpol yang ”lama” (yang sudah diverifikasi pada waktu pemilu sebelumnya) karena tidak efisien atau pemborosan, tidak relevan dan terkesan menghindar dari kewajiban hukum. Jadi, pengaturan dalam UU yang tidak adil, diskriminatif, pilih kasih dalam perlakuan terhadap parpol dengan alasan efisiensi adalah tidak logis, tidak relevan, dan tidak rasional.
Dengan demikian, apabila Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu dihapuskan, maka UU Pemilu dan penyelenggaraan pemilu akan benar-benar menjunjung tinggi dan menghormati prinsip dalam pemilu yakni adil, sederajat, dan fairness sehingga proses pemilu menjadi semakin baik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa rumusan Pasal 173 ayat (3) UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang
menyatakan bahwa ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu” tidak sesuai dan bertentangan Pasal 1 ayat (3) jo 28D UUD 1945, yakni keadilan, kepastian hukum, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(nag)