Asas Keadilan dalam Verifikasi Partai Politik

Rabu, 10 Januari 2018 - 09:03 WIB
Asas Keadilan dalam Verifikasi Partai Politik
Asas Keadilan dalam Verifikasi Partai Politik
A A A
Asep Warlan Yusuf
Dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung

Di dalam kehidupan ke­ta­ta­negaraan senantiasa di­dukung dan di­ja­lan­kan oleh dua aras besar yang fung­sional dan saling me­me­nga­ruhi, yakni kehidupan di in­fra­struktur politik dan di s­­u­pr­a­struk­tur politik.

Di in­fra­struk­tur politik terdapat partai po­li­tik (parpol), tokoh politik, go­long­an penekan, golongan ke­pen­tingan, dan media ko­mu­ni­kasi politik, yang masing-masing memengaruhi cara ker­ja anggota masyarakat untuk m­e­ngemukakan, menyalurkan, me­nerjemahkan, mengonversi tun­tutan, dukungan, dan ma­sa­lah tertentu yang berhubungan de­ngan kepentingan umum.

Se­men­tara di suprastruktur po­li­tik terdapat lembaga-lembaga ne­ga­ra yang dengan absah meng­identifikasi segala ma­sa­lah, menentukan dan me­n­ja­lan­kan segala keputusan yang meng­ikat seluruh anggota ma­sya­rakat untuk mencapai ke­pen­tingan umum.

Dengan demikian, dalam ke­hi­dupan ketatanegaraan itu an­ta­ra infrastruktur politik dan su­prastruktur politik terdapat sa­ling memengaruhi secara tim­b­al balik, saling men­du­kung, dan tak terpisahkan d­­a­lam satu ikatan sistem ke­ta­ta­ne­garaan dan sistem politik. Hu­­bungan kerja di antara ke­dua­nya kemudian diatur dalam kons­titusi.

Secara sederhana, apa­bila konstitusi mengakui dan menghormati adanya ke­hi­dup­an di infrastruktur politik yang menggambarkan hu­bung­an timbal balik dalam posisi masing-masing secara pro­por­sio­nal, maka disebut dengan de­mo­krasi konstitusional (consti­tu­tional democracy).

Ciri khas dari demokrasi kons­titusional, antara lain ne­ga­ra menjamin semua subjek hu­­kum yang ada di inf­ra­struk­tur po­litik adalah sama di ha­dap­an hu­kum, tanpa kecuali. In­do­ne­sia, secara hukum telah me­nem­pat­kan parpol sebagai peng­ge­rak dan pengisi jalannya d­e­mo­krasi konstitusional.

Se­ba­­gai per­wujudan dari ko­mit­men ne­ga­ra dalam memandang ke­du­duk­an, hak, dan kewajiban par­pol yang menjamin sama di ha­da­p­an hukum, kemudian di­tuang­­kan dalam Pasal 12 Undang-Undang No 2/2008 ten­­tang Partai Politik yang de­ngan jelas dan tegas me­nye­but­kan bahwa parpol berhak, an­ta­ra lain memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil da­ri negara, serta ikut serta da­lam pemilihan umum (pemilu) se­suai dengan ketentuan undang-undang tentang pemilu.

Makna dari hak parpol un­tuk memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil, ya­itu da­lam hal parpol sudah ter­daf­tar sebagai peserta pe­mi­lu se­suai persyaratan yang di­atur da­lam UU, maka negara wa­jib mem­perlakukannya secara ad­il, s­a­ma dan sederajat.

Hu­kum ti­dak boleh membedakan per­la­ku­an terhadap setiap par­pol, baik yang telah memiliki kur­si di DPR RI maupun yang ba­ru di­di­ri­kan. UU Partai Politik je­l­as ti­dak membedakan apa­kah partai itu ”lama” atau ”ba­ru”, dan juga ti­­dak mem­be­da­kan pula apakah par­tai itu su­dah memiliki kursi di DPR atau be­lum memiliki kur­si di DPR. Acu­annya sama, yaitu te­lah men­daftarkan sebagai pe­ser­ta pemilu.

Dalam hal adanya UU yang mem­bedakan perlakuan antara sa­tu partai dengan partai-par­tai lainnya, jelas dan tegas telah me­langgar atau bertentangan de­n­gan asas "semua parpol sa­ma di ha­dapan hukum” dan prin­sip ”Ne­gara melalui UU wa­jib mem­per­lakukan sama, se­de­ra­jat, dan adil bagi semua parpol".

Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan h UU No 12/2011 tentang Pem­bentukan Peraturan Per­undang-undangan me­nya­ta­kan bahwa ”Materi muatan per­atur­an perundang-undangan ha­r­­us mencerminkan asas ke­adil­an dan persamaan ke­du­duk­an da­lam hukum dan pem­e­rin­tahan”.

Yang dimaksud de­ngan ”asas ke­adilan” dalam ma­te­ri muatan per­aturan per­undang-undangan bahwa isi da­ri undang-undang itu tidak bis­a di­lepaskan dari tujuan ak­hir dari hi­dup bermasyarakat yang tidak da­pat dilepaskan da­ri nilai-nilai dan falsafah hidup ­Pan­casila, yang menjadi dasar hi­dup ma­sya­rakat yang akh­ir­nya ber­mua­ra pada keadilan. Hu­kum harus me­ngandung ni­lai keadilan bagi se­mua subjek hukum.

Dalam hal dibentuknya sua­tu norma ditujukan atau di­mak­sudkan hanya menguntungkan se­cara sepihak dan subjektif da­ri pihak yang membentuknya, de­ngan tanpa memperhatikan ke­pen­tingan pihak-pihak yang ter­ke­na hukum tersebut, maka je­las nor­ma tersebut telah m­e­lang­gar dan bertentangan de­ngan ”asas ke­adil­an”, ”asas ke­­sa­­ma­an”, dan ”asas kejelasan tu­ju­an” se­ba­gai­ma­na dimaksud da­lam Pasal 5 dan 6 UU No 12/2011.

Dalam konteks ma­teri Pasal 173 ayat (3) UU Pemilihan Umum yang pada in­t­inya me­nya­ta­kan bahwa par­pol yang su­dah di­verifikasi pada saat pe­m­i­lu sebelumnya atau par­pol yang me­miliki kur­si di DPR RI pe­rio­de 2014-2019 tidak per­lu di­la­ku­­kan ve­ri­fi­ka­si, cukup hanya men­d­aftar, maka norma Pasal 173 ayat (3) tersebut jelas telah ber­tentangan prinsip negara hu­kum dan prinsip pemb­en­tuk­­an peraturan perundang-undang­an yang baik.

Berkenaan dengan penye­leng­­garaan pemilu, diatur ke­giat­an penyelenggaraannya oleh Ko­mi­si Pemilihan Umum yang an­­tar­a lain mengatur m­e­nge­nai Ta­ha­p­an Pe­nye­leng­ga­ra­an Pe­mi­lu, da­l­am Pasal 167 ayat 4 hu­ruf c, yak­ni adanya pen­­­daf­taran dan ve­ri­fikasi ser­ta pe­ne­tapan pe­serta pe­mi­lu. ­

Ke­ten­tu­an ini ber­makna bah­­wa setiap par­pol yang akan ikut serta da­lam pe­mi­lu wajib me­­la­kukan pen­d­aftaran dan ve­­ri­fi­kasi un­tuk kemudian apa­­bila m­e­me­­nuhi semua per­sya­­rat­an, akan di­­tetapkan se­ba­­gai pe­ser­ta pe­mi­lu. Apabila ti­dak di­la­kukan pen­daf­taran dan ve­ri­fi­­kasi ke­pa­da se­mua/setiap ca­lon pe­ser­ta pe­m­i­lu, ha­rus di­nya­ta­kan bah­wa ca­l­on pe­serta pe­mi­lu yang ti­dak me­la­ku­kan pen­daf­tar­­an dan verifikasi adalah cacat hu­­kum adm­i­nis­tra­si kepemiluan.

Dengan demikian, dalam hal sua­tu parpol yang mendaftar se­bagai peserta pemilu, maka se­mua harus diper­la­ku­kan sa­ma karena setiap parpol yang akan menjadi peserta pe­mi­lu ber­kedudukan dalam hu­kum sa­ma dan sederajat.

Apabila dicermati dari bunyi Pa­sal 164 ayat (4) huruf c UU No 7/2017 tentang Pemi­lih­an Umum, maka setiap par­pol yang akan ikut serta dalam pe­­mi­lu harus didaftarkan dan ha­­rus diverifikasi. Kata sam­bung ”dan” menunjukkan mak­­na yang kumulatif, yakni se­­lain pen­daftaran juga ve­r­if­i­k­­asi.

De­ngan demikian, tidak ber­­mak­na alternatif. Merujuk pa­da ru­mus­an norma Pasal 164 ayat (4) hu­ruf c tersebut an­tara pen­daf­tar­an dengan ve­ri­fikasi me­ru­pa­kan satu ke­s­a­tu­an tindakan atau satu ­p­a­ket, t­idak ter­pi­sah­kan. ”Pen­daf­­tar­an” bermakna se­bagai tin­­dak­an dari parpol un­tuk me­­nye­rah­­kan kepada KPU ber­bagai do­kumen, per­sya­rat­an, dan ke­terangan se­ba­gai­ma­na yang di­atur dalam Pa­sal 173 ayat (2) UU No 7/2017 se­ba­gai ta­hap­an awal.

Tahapan s­e­­lanjutnya se­­te­lah semua ber­­kas pen­daf­tar­­an tadi di­te­ri­ma oleh KPU, dilakukan ve­rifikasi. De­ngan de­mi­kian, ve­­ri­­fi­ka­si me­r­­u­p­a­kan ke­­­­la­n­jut­an da­r­i pen­­­daf­taran, se­ran­g­kai­­an pro­ses yang tak terpisahkan.

Untuk men­ja­di­kan parpol itu sah se­­bagai peserta pe­­milu, ma­ka se­tiap parpol itu h­a­rus men­daftar se­ba­gai peserta p­e­milu. Me­nga­pa harus
did­af­tar­­kan lagi? Karena da­lam fa­k­ta­nya ada ke­mung­kinan ter­ja­di per­ubahan da­lam ber­ba­gai as­pek­nya, mi­sal­nya ke­peng­u­ru­s­an, jumlah
ca­bang, ke­ang­­go­­­ta­an, ke­ter­wa­kil­an pe­rem­pu­an, me­miliki kan­tor atau se­kre­ta­­riat tetap, dan sebagainya.

Karena dimungkinkan ter­ja­dinya berbagai perubahan da­lam berkas dokumen suatu par­pol, maka setiap pendaftaran wa­jib selanjutnya dilakukan ve­r­i­fikasi. Maksud dari verifikasi be­rkas pendaftaran tersebut un­tuk memastikan bahwa se­mua berkas, dokumen, dan ke­te­rangan yang disertakan da­lam pendaftaran benar-benar va­lid dan sah.

Tidak ada ja­min­an hukum bahwa berkas do­ku­men yang disertakan pada saat par­pol melakukan pendaftaran da­lam pemilu sebelumnya ma­sih valid dan sah serta sesuai fak­ta di lapangan sehingga te­tap diperlukan verifikasi ketika par­pol ikut serta lagi dalam pe­milu berikutnya. Dengan de­mi­ki­an, semua berkas yang di­se­rah­kan kepada KPU wajib di­la­ku­kan verifikasi.

Apabila dicermati dan di­si­mak dari maksud dan tujuan ve­ri­fikasi sebagaimana terurai di atas, tampak betapa pen­ting­nya verifikasi sebagai inst­r­u­men hukum administrasi ke­pe­m­i­luan. Karena pentingnya ve­ri­fi­kasi sebagai sarana hukum un­t­uk memastikan validitas dan keabsahan antara berkas do­kumen yang diserahkan ke­pa­da KPU dan fakta di lapangan, ma­ka perlu disediakan angg­ar­an atau dana yang memadai.

Da­lam hal adanya alasan yang ­me­nya­takan tidak perlu dilakukan v­e­rifikasi menyeluruh bagi par­pol yang ”lama” (yang sudah di­ve­rifikasi pada waktu pemilu se­be­lumnya) karena tidak efisien atau pemborosan, tidak relevan dan terkesan menghindar dari ke­wajiban hukum. Jadi, pen­g­atu­ra­n dalam UU yang tidak adil, diskriminatif, pilih kasih da­lam perlakuan terhadap par­p­ol dengan alasan efisiensi ada­lah tidak logis, tidak relevan, dan tidak rasional.

Dengan demikian, apabila Pa­sal 173 ayat (3) UU Pemilu di­ha­puskan, maka UU Pemilu dan pe­nyelenggaraan pemilu akan benar-benar menjunjung tinggi dan menghormati prinsip da­lam pemilu yakni adil, sederajat, dan fairness sehingga proses pe­milu menjadi semakin baik.

Berdasarkan uraian ter­se­but, maka dapat disimpulkan bah­wa rumusan Pasal 173 ayat (3) UU No 7/2017 tentang Pe­mi­lihan Umum yang
m­enya­ta­kan bahwa ”Partai politik yang te­lah lulus verifikasi dengan sya­rat sebagaimana dimaksud pa­da ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Par­tai Politik Peserta Pemilu” ti­dak sesuai dan bertentangan Pa­sal 1 ayat (3) jo 28D UUD 1945, yakni keadilan, kepastian hu­kum, dan perlakuan yang sa­ma di hadapan hukum.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3333 seconds (0.1#10.140)