Perkawinan Anak dan Hancurnya Masa Depan
A
A
A
Suhanderi
Aparatur Sipil Negara pada Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu
KEKERASAN terhadap anak semakin memprihatinkan dan terus menggerus masa depan anak. Tak hanya fisik, psikis juga tak luput jadi sasaran. Bentuk kekerasan tersebut antara lain adalah perkawinan anak. Diprediksi, 142 juta anak perempuan di dunia terancam kehilangan masa depan karena menikah di usia anak periode 2011-2020.
Indonesia masuk negara darurat perkawinan anak di kawasan Asia Timur dan Pasifik. UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 25% perempuan Indonesia pada 2012 melaksanakan perkawinan anak atau menikah usia anak, yakni sebelum usia 18 tahun. Angka ini diprediksi terus meningkat.
Sementara upaya untuk menekan perkawinan anak seakan menjadi utopis karena secara legal formal negara tetap memberikan celah bagi anak perempuan untuk menikah di usia 16 tahun melalui instrumen Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Target kelima Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030 terkait pengurangan perkawinan anak pun terancam gagal.
Fenomena Gunung Es
Publik dihebohkan dengan pernikahan bocah asal Sulawesi Barat, Arlin Pramaberusia, 17 tahun dengan Andini Pratiwi berusia belia 15 tahun pada 26 November 2017. Bukan kali ini saja, sebelumnya 2008 pernikahan dini seorang anak belia 12 tahun dengan Syekh Puji yang berusia nyaris 50 tahun juga menimbulkan kontroversi. Perdebatan bermunculan di masyarakat, hampir semua mengutuk. Sayang, reaksi masih sporadis, pemberantasan dengan konsep gerakan bersama masih minim sehingga kasus terus bermunculan bahkan cenderung masif.
Tingginya angka perkawinan anak Indonesia tergambar dari data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI 2012) BPS yang menunjukkan 17% perempuan pernah kawin berusia 20-24 tahun, menikah sebelum usia 18 tahun, atau ada 340.000 perkawinan di Indonesia terjadi pada anak perempuan berusia di bawah 18 tahun.
Sementara hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2012 menunjukkan persentase perkawinan anak bertahan di level sangat tinggi yakni mencapai 27,4% pada 2008, 25,8% pada 2009, 24,5% pada 2010, 24,7% pada 2011, dan 25% pada 2012. Hal sama terjadi pada hasil Susenas 2013 dan 2015 yang masih bertahan di level 24,1% dan22,8%.
Menurut Coalition to End Child Marriage (Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak) atau disebut Koalisi18+, pengentasan perkawinan anak di Indonesia saat ini mengalami kemunduran karena persentase perkawinan anak terus meningkat setiap tahun. Pada 2017 bahkan merupakan puncak kenaikan angka perkawinan anak dalam sejarah sejak sembilan tahun terakhir yang menyentuh level 25,7%.
Ancaman Masa Depan Anak
Mindset terbangun selama ini, menganggap perkawinan anak hal biasa, padahal imbas atau dampaknya luar biasa bagi masa depan bangsa. Ibarat pembunuh senyap (silent killer), perkawinan anak sesungguhnya menggerogoti sendi kehidupan anak bangsa tanpa disadari. Bonus demografi Indonesia yang mencapai puncak keemasan pada 2028-2030 menjadi sia-sia selama tingkat perkawinan anak tinggi.
Usia produktif (15-64 tahun) yang mencapai 70% menjadi tanpa arti jika sumber daya manusianya berpendidikan rendah akibat putus sekolah, kemampuan (skill) kerja minim, dan buruknya kesehatan ibu anak. Imbas perkawinan anak setidaknya mengancam hal berikut;
Pertama, berpotensi menyebabkan kebodohan karena memutus hak anak untuk mendapatkan pendidikan formal atau bersekolah. Perempuan yang melakukan perkawinan usia anak pada umumnya masih bersekolah di tingkat SMP maupun SMA, memiliki rasa malu dan beban sosial terhadap lingkungannya.
Untuk menghindari rasa malu tersebut, anak memutuskan untuk berhenti bersekolah. Berdasarkan temuan studi literatur oleh Plan International, 85% anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah menikah. (BPS 2016: Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015).
Kedua, perkawinan anak membatasi kesempatan perempuan untuk bekerja pada sektor formal yang menuntut profesionalisme dan skill tinggi. Perempuan menikah pada usia anak lebih dominan bekerja pada sektor informal. Ada 68,64% perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun menikah sebelum 18 tahun bekerja pada sektor informal yang tidak membutuhkan skill tinggi pada 2015.
Ketiga, perkawinan anak berpotensi meningkatkan kematian ibu atau anak dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Perempuan yang melakukan perkawinan usia anak pada dasarnya fungsi reproduksinya belumlah sempurna sehingga kemungkinan mengalami kelainan, bahkan berujung kematian ibu atau anak sangat besar. Hasil SDKI 2012 BPS menunjukkan angka kematian ibu dan anak di Indonesia masih tinggi, yakni sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Sementara di sisi lain, pola pikir dan pengalaman minim dalam mengurus rumah tangga membuat perkawinan anak juga berdampak pada tindakan fisik maupun psikis pasangan yakni kecenderungan terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hasil penelitian Plan Indonesia dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Tahun 2011 menyebutkan 44% anak perempuan melakukan perkawinan dini mengalami KDRT.
Membangun Gerakan Bersama
Ada celah untuk melaksanakan perkawinan anak menjadi sumber utama atau pokok permasalahan terhadap tingginya perkawinan anak di Indonesia. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perempuan diizinkan melaksanakan perkawinan pada umur 16 tahun. Pasal inilah dijadikan celah pembenaran.
Padahal, dalam regulasi lain, yakni UU Nomor 35 Tahun 2014tentang Perlindungan Anak, menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Artinya umur 16 tahun diperbolehkan me-nikah menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 pada dasarnya belum boleh menikah menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 karena masih dalam kategori anak dan berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak seperti mendapatkan pendidikan.
Berkaca dari hal tersebut, langkah konkret untuk mengantisipasi semakin tingginya perkawinan anak adalah dengan merevisi atau mengkaji ulang pasal yang menjadi sumber utama permasalahan. Saatnya pemerintah dan DPR mengakhiri polemik Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dengan cara menyusun naskah akademik perubahan (revisi) umur anak perempuan diperbolehkan menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Langkah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perkawinan bahkan menjadi suatu keniscayaan dan mutlak dilakukan, mengingat kegentingan akibat dampak perkawinan anak semakin menjadi. Di sisi lain, masyarakat juga harus berpartisipasi dengan memberikan pemahaman terutama kepada orang tua untuk tidak memberikan izin anaknya menikah di umur 16 tahun.
Harapannya, gerakan bersama ini membebaskan dari Indonesia dari darurat perkawinan anak sehingga hak anak terlindungi dan masa depan lebih cerah. Semoga!
Aparatur Sipil Negara pada Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu
KEKERASAN terhadap anak semakin memprihatinkan dan terus menggerus masa depan anak. Tak hanya fisik, psikis juga tak luput jadi sasaran. Bentuk kekerasan tersebut antara lain adalah perkawinan anak. Diprediksi, 142 juta anak perempuan di dunia terancam kehilangan masa depan karena menikah di usia anak periode 2011-2020.
Indonesia masuk negara darurat perkawinan anak di kawasan Asia Timur dan Pasifik. UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 25% perempuan Indonesia pada 2012 melaksanakan perkawinan anak atau menikah usia anak, yakni sebelum usia 18 tahun. Angka ini diprediksi terus meningkat.
Sementara upaya untuk menekan perkawinan anak seakan menjadi utopis karena secara legal formal negara tetap memberikan celah bagi anak perempuan untuk menikah di usia 16 tahun melalui instrumen Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Target kelima Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030 terkait pengurangan perkawinan anak pun terancam gagal.
Fenomena Gunung Es
Publik dihebohkan dengan pernikahan bocah asal Sulawesi Barat, Arlin Pramaberusia, 17 tahun dengan Andini Pratiwi berusia belia 15 tahun pada 26 November 2017. Bukan kali ini saja, sebelumnya 2008 pernikahan dini seorang anak belia 12 tahun dengan Syekh Puji yang berusia nyaris 50 tahun juga menimbulkan kontroversi. Perdebatan bermunculan di masyarakat, hampir semua mengutuk. Sayang, reaksi masih sporadis, pemberantasan dengan konsep gerakan bersama masih minim sehingga kasus terus bermunculan bahkan cenderung masif.
Tingginya angka perkawinan anak Indonesia tergambar dari data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 (SDKI 2012) BPS yang menunjukkan 17% perempuan pernah kawin berusia 20-24 tahun, menikah sebelum usia 18 tahun, atau ada 340.000 perkawinan di Indonesia terjadi pada anak perempuan berusia di bawah 18 tahun.
Sementara hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2012 menunjukkan persentase perkawinan anak bertahan di level sangat tinggi yakni mencapai 27,4% pada 2008, 25,8% pada 2009, 24,5% pada 2010, 24,7% pada 2011, dan 25% pada 2012. Hal sama terjadi pada hasil Susenas 2013 dan 2015 yang masih bertahan di level 24,1% dan22,8%.
Menurut Coalition to End Child Marriage (Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak) atau disebut Koalisi18+, pengentasan perkawinan anak di Indonesia saat ini mengalami kemunduran karena persentase perkawinan anak terus meningkat setiap tahun. Pada 2017 bahkan merupakan puncak kenaikan angka perkawinan anak dalam sejarah sejak sembilan tahun terakhir yang menyentuh level 25,7%.
Ancaman Masa Depan Anak
Mindset terbangun selama ini, menganggap perkawinan anak hal biasa, padahal imbas atau dampaknya luar biasa bagi masa depan bangsa. Ibarat pembunuh senyap (silent killer), perkawinan anak sesungguhnya menggerogoti sendi kehidupan anak bangsa tanpa disadari. Bonus demografi Indonesia yang mencapai puncak keemasan pada 2028-2030 menjadi sia-sia selama tingkat perkawinan anak tinggi.
Usia produktif (15-64 tahun) yang mencapai 70% menjadi tanpa arti jika sumber daya manusianya berpendidikan rendah akibat putus sekolah, kemampuan (skill) kerja minim, dan buruknya kesehatan ibu anak. Imbas perkawinan anak setidaknya mengancam hal berikut;
Pertama, berpotensi menyebabkan kebodohan karena memutus hak anak untuk mendapatkan pendidikan formal atau bersekolah. Perempuan yang melakukan perkawinan usia anak pada umumnya masih bersekolah di tingkat SMP maupun SMA, memiliki rasa malu dan beban sosial terhadap lingkungannya.
Untuk menghindari rasa malu tersebut, anak memutuskan untuk berhenti bersekolah. Berdasarkan temuan studi literatur oleh Plan International, 85% anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah menikah. (BPS 2016: Perkawinan Usia Anak di Indonesia 2013 dan 2015).
Kedua, perkawinan anak membatasi kesempatan perempuan untuk bekerja pada sektor formal yang menuntut profesionalisme dan skill tinggi. Perempuan menikah pada usia anak lebih dominan bekerja pada sektor informal. Ada 68,64% perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun menikah sebelum 18 tahun bekerja pada sektor informal yang tidak membutuhkan skill tinggi pada 2015.
Ketiga, perkawinan anak berpotensi meningkatkan kematian ibu atau anak dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Perempuan yang melakukan perkawinan usia anak pada dasarnya fungsi reproduksinya belumlah sempurna sehingga kemungkinan mengalami kelainan, bahkan berujung kematian ibu atau anak sangat besar. Hasil SDKI 2012 BPS menunjukkan angka kematian ibu dan anak di Indonesia masih tinggi, yakni sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Sementara di sisi lain, pola pikir dan pengalaman minim dalam mengurus rumah tangga membuat perkawinan anak juga berdampak pada tindakan fisik maupun psikis pasangan yakni kecenderungan terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hasil penelitian Plan Indonesia dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Tahun 2011 menyebutkan 44% anak perempuan melakukan perkawinan dini mengalami KDRT.
Membangun Gerakan Bersama
Ada celah untuk melaksanakan perkawinan anak menjadi sumber utama atau pokok permasalahan terhadap tingginya perkawinan anak di Indonesia. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perempuan diizinkan melaksanakan perkawinan pada umur 16 tahun. Pasal inilah dijadikan celah pembenaran.
Padahal, dalam regulasi lain, yakni UU Nomor 35 Tahun 2014tentang Perlindungan Anak, menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Artinya umur 16 tahun diperbolehkan me-nikah menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 pada dasarnya belum boleh menikah menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 karena masih dalam kategori anak dan berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak seperti mendapatkan pendidikan.
Berkaca dari hal tersebut, langkah konkret untuk mengantisipasi semakin tingginya perkawinan anak adalah dengan merevisi atau mengkaji ulang pasal yang menjadi sumber utama permasalahan. Saatnya pemerintah dan DPR mengakhiri polemik Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dengan cara menyusun naskah akademik perubahan (revisi) umur anak perempuan diperbolehkan menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Langkah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perkawinan bahkan menjadi suatu keniscayaan dan mutlak dilakukan, mengingat kegentingan akibat dampak perkawinan anak semakin menjadi. Di sisi lain, masyarakat juga harus berpartisipasi dengan memberikan pemahaman terutama kepada orang tua untuk tidak memberikan izin anaknya menikah di umur 16 tahun.
Harapannya, gerakan bersama ini membebaskan dari Indonesia dari darurat perkawinan anak sehingga hak anak terlindungi dan masa depan lebih cerah. Semoga!
(thm)