Islam Nusantara
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
PERINGATAN malam Tahun Baru di Indonesia mungkin paling unik karena tidak ditemukan di negara lain. Apa itu?
Di berbagai masjid diadakan zikir dan ceramah keagamaan Islam. Padahal peralihan tahun baru Masehi itu merupakan tradisi Barat yang Kristiani, masih menjadi bagian dari perayaan Natal atau milad Yesus.
Tentu oleh umat Islam diyakini milad Nabi Isa, meskipun menyangkut tanggal menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan hal ini juga disadari oleh kalangan gereja. Tetapi bagi mereka yang penting adalah pemaknaan iman, bukan lagi perdebatan kalender.
Lalu, apa alasan umat Islam ikut merayakan Tahun Baru, namun diisi dengan zikir dan ceramah agama, padahal tahun baru Masehi merupakan tradisi Kristiani? Ada sekelompok ulama yang menganggap bidah menyelenggarakan peringatan tahun baru itu.
Jangankan pergantian tahun Masehi, milad atau maulud Nabi Muhammad saja tidak disetujui sebagian ulama itu, dengan alasan Rasulullah tidak pernah memperingati hari kelahirannya. Makanya, mereka ini juga menganggap bidah terhadap perayaan tahun kelahiran atau ulang tahun, ditambah lagi dengan meniup lilin. Biasanya mereka menyebut sebuah hadis, "Siapa yang meniru-niru perilaku satu kaum (kafir) maka akan masuk pada golongan mereka."
Tetapi, ada juga yang melihatnya dari sisi budaya dan pendidikan. Pada malam Tahun Baru, daripada diisi hura-hura yang tidak bermutu, bahkan cenderung mendekatkan pada tindakan maksiat, bukankah lebih baik diisi zikir dan pengajian di masjid? Adapun pergantian tahun itu adalah produk sejarah. Produk budaya.
Semasa Nabi Isa ataupun Yesus hidup juga tak dikenal nyanyian gereja dan perayaan Tahun Baru seperti sekarang ini. Itu semua adalah ijtihad budaya, bukan soal keimanan. Jadi, selama dari sisi akidah dan iman tidak mengganggu, perayaan tahun baru Masehi tidak apa-apa.
Bahkan yang namanya tahun baru Hijriah ketika masa hidup Rasulullah Muhammad juga belum dikenal. Nabi Muhammad sendiri dikenal hari kelahirannya dengan dikaitkan dengan kedatangan tentara gajah di bawah Raja Abrahah yang hendak menghancurkan Kakbah.
Kreasi atau bidah budaya keagamaan itu adalah khas kekayaan Islam Nusantara. Tentu saja di berbagai dunia Islam lain juga terjadi bidah budaya.
Tetapi mungkin Indonesia paling kaya ragamnya, mengingat masyarakat Nusantara ini sangat majemuk, plural, dan sangat kental diwarnai oleh tradisi Hindu-Budha sebelum Islam datang. Misalnya saja, di daerah pesisir utara Jawa Tengah umat Islam sudah terbiasa menyembelih kerbau sebagai hewan kurban, bukannya sapi. Dipilih kerbau agar tidak melukai perasaan umat Hindu yang memuliakan sapi. Ini suatu sikap toleran yang sangat bijak, tanpa menghilangkan esensi dan fungsi kurban.
Misalnya lagi, pemaknaan baru terhadap tumpengan yang semula sebagai sesajen. Diubah maknanya sebagai rasa syukur kepada Allah, makanannya lalu dimakan ramai-ramai dan bangunan gunungan tumpeng serta makanan di kaki gunungan diberi makna baru. Orang yang beriman, yang tertuju kepada Allah, hendaknya senantiasa bersyukur dan senang berbagi kepada orang-orang di sekitar. Makanya, di kaki gunungan tumpeng itu terdapat berbagai ragam makanan untuk dinikmati ramai-ramai.
Perilaku orang beriman itu senantiasa melimpah, tidak mengancam orang-orang di sekitarnya, melainkan membawa rahmat dan damai. Dakwah seperti itulah yang dulu disampaikan Wali Sanga sehingga dalam sejarah Islam, masuknya Islam ke Nusantara ini berlangsung damai, bukan dengan penaklukan senjata.
Jadi, ajaran dasar Islam itu sama. Isi rukun Islam dan rukun Iman itu sama. Tetapi penafsiran dan kontekstualisasi dalam ranah sosial dan budaya bisa berbeda-beda.
Sejarah juga mencatat perkembangan sains dalam Islam pernah berkembang pesat ketika Islam berbaur dan tertantang oleh budaya baru di luar tanah kelahirannya, Mekkah dan Madinah. Ilmu fikih, filsafat, dan tasawuf pun begitu juga halnya.
Dalam hal budaya dan sains, inovasi dan kreasi atau bidah itu justru suatu kebutuhan. Tentang ekspresi keislaman Nusantara ini bisa dikembangkan lagi secara panjang lebar.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
PERINGATAN malam Tahun Baru di Indonesia mungkin paling unik karena tidak ditemukan di negara lain. Apa itu?
Di berbagai masjid diadakan zikir dan ceramah keagamaan Islam. Padahal peralihan tahun baru Masehi itu merupakan tradisi Barat yang Kristiani, masih menjadi bagian dari perayaan Natal atau milad Yesus.
Tentu oleh umat Islam diyakini milad Nabi Isa, meskipun menyangkut tanggal menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan hal ini juga disadari oleh kalangan gereja. Tetapi bagi mereka yang penting adalah pemaknaan iman, bukan lagi perdebatan kalender.
Lalu, apa alasan umat Islam ikut merayakan Tahun Baru, namun diisi dengan zikir dan ceramah agama, padahal tahun baru Masehi merupakan tradisi Kristiani? Ada sekelompok ulama yang menganggap bidah menyelenggarakan peringatan tahun baru itu.
Jangankan pergantian tahun Masehi, milad atau maulud Nabi Muhammad saja tidak disetujui sebagian ulama itu, dengan alasan Rasulullah tidak pernah memperingati hari kelahirannya. Makanya, mereka ini juga menganggap bidah terhadap perayaan tahun kelahiran atau ulang tahun, ditambah lagi dengan meniup lilin. Biasanya mereka menyebut sebuah hadis, "Siapa yang meniru-niru perilaku satu kaum (kafir) maka akan masuk pada golongan mereka."
Tetapi, ada juga yang melihatnya dari sisi budaya dan pendidikan. Pada malam Tahun Baru, daripada diisi hura-hura yang tidak bermutu, bahkan cenderung mendekatkan pada tindakan maksiat, bukankah lebih baik diisi zikir dan pengajian di masjid? Adapun pergantian tahun itu adalah produk sejarah. Produk budaya.
Semasa Nabi Isa ataupun Yesus hidup juga tak dikenal nyanyian gereja dan perayaan Tahun Baru seperti sekarang ini. Itu semua adalah ijtihad budaya, bukan soal keimanan. Jadi, selama dari sisi akidah dan iman tidak mengganggu, perayaan tahun baru Masehi tidak apa-apa.
Bahkan yang namanya tahun baru Hijriah ketika masa hidup Rasulullah Muhammad juga belum dikenal. Nabi Muhammad sendiri dikenal hari kelahirannya dengan dikaitkan dengan kedatangan tentara gajah di bawah Raja Abrahah yang hendak menghancurkan Kakbah.
Kreasi atau bidah budaya keagamaan itu adalah khas kekayaan Islam Nusantara. Tentu saja di berbagai dunia Islam lain juga terjadi bidah budaya.
Tetapi mungkin Indonesia paling kaya ragamnya, mengingat masyarakat Nusantara ini sangat majemuk, plural, dan sangat kental diwarnai oleh tradisi Hindu-Budha sebelum Islam datang. Misalnya saja, di daerah pesisir utara Jawa Tengah umat Islam sudah terbiasa menyembelih kerbau sebagai hewan kurban, bukannya sapi. Dipilih kerbau agar tidak melukai perasaan umat Hindu yang memuliakan sapi. Ini suatu sikap toleran yang sangat bijak, tanpa menghilangkan esensi dan fungsi kurban.
Misalnya lagi, pemaknaan baru terhadap tumpengan yang semula sebagai sesajen. Diubah maknanya sebagai rasa syukur kepada Allah, makanannya lalu dimakan ramai-ramai dan bangunan gunungan tumpeng serta makanan di kaki gunungan diberi makna baru. Orang yang beriman, yang tertuju kepada Allah, hendaknya senantiasa bersyukur dan senang berbagi kepada orang-orang di sekitar. Makanya, di kaki gunungan tumpeng itu terdapat berbagai ragam makanan untuk dinikmati ramai-ramai.
Perilaku orang beriman itu senantiasa melimpah, tidak mengancam orang-orang di sekitarnya, melainkan membawa rahmat dan damai. Dakwah seperti itulah yang dulu disampaikan Wali Sanga sehingga dalam sejarah Islam, masuknya Islam ke Nusantara ini berlangsung damai, bukan dengan penaklukan senjata.
Jadi, ajaran dasar Islam itu sama. Isi rukun Islam dan rukun Iman itu sama. Tetapi penafsiran dan kontekstualisasi dalam ranah sosial dan budaya bisa berbeda-beda.
Sejarah juga mencatat perkembangan sains dalam Islam pernah berkembang pesat ketika Islam berbaur dan tertantang oleh budaya baru di luar tanah kelahirannya, Mekkah dan Madinah. Ilmu fikih, filsafat, dan tasawuf pun begitu juga halnya.
Dalam hal budaya dan sains, inovasi dan kreasi atau bidah itu justru suatu kebutuhan. Tentang ekspresi keislaman Nusantara ini bisa dikembangkan lagi secara panjang lebar.
(poe)