Senjata Nuklir dan Agenda Keamanan Global 2018
A
A
A
Khasan Ashari
Penyusun Kamus Hubungan Internasional
Di hari pertama tahun 2018, saat sebagian besar warga dunia memanjatkan doa untuk kebaikan satu tahun ke depan, pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un menyampaikan pernyataan mengejutkan. Kim Jong-un mengatakan nuklir Korut sudah dapat mencapai daratan Amerika Serikat (AS).
Kim Jong-un menegaskan apa yang disampaikannya bukan gertakan semata, namun sebuah kenyataan. Kemajuan teknologi senjata nuklir Korut, lanjutnya, akan membuat AS berpikir dua kali sebelum memulai perang di Semenanjung Korea.
Kita tahu di tahun 2017 Korut kembali melakukan percobaan senjata nuklir. Karenanya tidak berlebihan jika perkembangan terbaru ini memunculkan kembali pertanyaan: apakah perang nuklir merupakan ancaman yang nyata bagi perdamaian dunia?
Ada baiknya kita menengok kilas balik sejarah untuk menjawab pertanyaan itu. Di paruh pertama abad lalu, dua perang dengan skala paling besar dalam sejarah terjadi. Perang Dunia kita menyebutnya demikian membawa dampak negatif bagi peradaban manusia pada tingkatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Karenanya masyarakat internasional berusaha sekuat tenaga agar tragedi itu tidak terulang.
Upaya menghindari pecahnya ‘Perang Dunia Ketiga’ menjadi tema utama politik global pasca-Perang Dunia II. Saat itu dua negara adikuasa AS dan Uni Soviet berseteru. Kenyataan bahwa dua negara itu memiliki senjata nuklir membuat dunia waswas. Rasa khawatir akan pecahnya perang nuklir yang dapat menghancurkan peradaban manusia menjadi hal menakutkan. Kekhawatiran itu mencapai puncaknya saat terjadi krisis Kuba tahun 1962.
Krisis ini dipicu oleh keputusan Uni Soviet yang menempatkan peluru kendali di Kuba. AS tentu saja tidak ingin melihat senjata Uni Soviet ditaruh di Kuba, negara yang letaknya tidak jauh di lepas pantai negara bagian Florida. AS meresponsnya dengan blokade untuk mencegah masuknya peluru kendali milik Uni Soviet.
Blokade AS membuat Uni Soviet mengurungkan niat. Namun, ketegangan yang terjadi dalam seputar peristiwa ini membuat dunia semakin khawatir dengan kemungkinan pecahnya perang nuklir. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mencegah perseteruan AS-Uni Soviet berubah menjadi konflik terbuka. Perang Dingin diredam agar tidak berubah menjadi ‘Perang Panas’.
Akhir 1991 Uni Soviet runtuh, pecah menjadi banyak negara. Runtuhnya Uni Soviet menandai berakhirnya Perang Dingin. Rangkaian perundingan bilateral AS dan Rusia pewaris senjata nuklir Uni Soviet kemudian digelar. Mereka sepakat untuk mengurangi jumlah senjata nuklir yang dimiliki. Masyarakat internasional bersyukur karena ancaman perang nuklir berkurang secara signifikan.
Mengapa dunia terhindar dari perang nuklir pada era Perang Dingin? Ada banyak faktor penyebab. Pertama, karena AS dan uni Soviet tetap mengedepankan rasionalitas. Mereka sadar bahwa daya rusak senjata nuklir dapat menyebabkan kehancuran dalam skala besar yang merugikan masyarakat internasional secara keseluruhan. Pertimbangan rasional ini menjadi deterrence yang mencegah pecahnya perang nuklir.
Kedua, pemimpin AS dan Uni Soviet memiliki jaringan komunikasi langsung. Jaringan yang populer disebut hot line ini dibangun setelah terjadinya krisis Kuba. Belajar dari krisis Kuba, kedua negara sepakat menghindari salah paham yang berpotensi memicu perang nuklir. Keberadaan hot line membuat ketegangan Perang Dingin sedikit mengendur.
Lalu, bagaimana situasi sekarang? Tentu saja kita berharap para pemilik senjata nuklir tetap bertindak rasional. Artinya, mereka sepenuhnya menyadari dampak buruk yang dapat timbul jika perang nuklir terjadi. Dengan demikian, mereka tetap bertindak hati-hati dan penuh pertimbangan dalam segala hal yang berkaitan dengan senjata nuklir.
Hal yang patut dikhawatirkan sekarang adalah minimnya dialog. Pada masa Perang Dingin, pemimpin AS dan Uni Soviet beberapa kali bertemu untuk membahas kepentingan bersama kedua pihak termasuk soal senjata nuklir. Kekuatan dua negara itu juga dapat disebut seimbang sehingga setiap langkah dilakukan secara hati-hati.
Dalam konteks AS-Korut saat ini saluran komunikasi semacam itu tidak ditemui. Akibatnya sering kita dengar atau baca pernyataan, gertakan, dan ancaman disampaikan melalui media. Situasi ini tentu saja meningkatkan peluang terjadinya salah paham yang pada gilirannya dapat memicu munculnya tindakan sepihak.
Apa yang perlu diperhatikan di tahun 2018? Hal paling penting adalah tidak boleh menganggap ancaman terjadinya perang nuklir sebagai sesuatu yang sepele. Upaya untuk menghindarinya perlu terus dilakukan.
Cara paling ideal tentu saja adalah dengan nuclear disarmament atau perlucutan senjata nuklir. Artinya, seluruh pemilik senjata nuklir melenyapkan senjata nuklir yang mereka miliki. Namun, dalam kondisi sekarang opsi ini sulit terwujud. Senjata nuklir sudah telanjur dianggap sebagai simbol kekuatan dan jaminan keamanan.
Cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan terus menekankan pentingnya rasionalitas khususnya di kalangan pemilik senjata nuklir sebagai landasan utama dalam bertindak. Dialog perlu terus didorong untuk menghindari munculnya kebijakan dan tindakan sepihak.
Sejalan dengan amanat konstitusi, Indonesia perlu terus berperan aktif mengampanyekan pentingnya tindakan rasional dan mendorong terciptanya dialog. Indonesia juga perlu terus menyerukan agar negara-negara yang memiliki pengaruh besar dalam politik global untuk tidak menjalankan kebijakan unilateral.
Kampanye ini perlu dilakukan secara terus-menerus di berbagai forum, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Kebijakan mendukung nuclear disarmament juga harus dipertahankan meskipun kita tahu untuk dapat mencapainya kita perlu upaya ekstrakeras.
Akhirnya, upaya menghindarkan dunia dari kehancuran yang mungkin timbul akibat perang nuklir harus dijadikan prioritas. Tentu saja kita tidak ingin perilaku nyentrik segelintir individu menyebabkan terjadinya tragedi dengan dampak yang demikian besar.
Penyusun Kamus Hubungan Internasional
Di hari pertama tahun 2018, saat sebagian besar warga dunia memanjatkan doa untuk kebaikan satu tahun ke depan, pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un menyampaikan pernyataan mengejutkan. Kim Jong-un mengatakan nuklir Korut sudah dapat mencapai daratan Amerika Serikat (AS).
Kim Jong-un menegaskan apa yang disampaikannya bukan gertakan semata, namun sebuah kenyataan. Kemajuan teknologi senjata nuklir Korut, lanjutnya, akan membuat AS berpikir dua kali sebelum memulai perang di Semenanjung Korea.
Kita tahu di tahun 2017 Korut kembali melakukan percobaan senjata nuklir. Karenanya tidak berlebihan jika perkembangan terbaru ini memunculkan kembali pertanyaan: apakah perang nuklir merupakan ancaman yang nyata bagi perdamaian dunia?
Ada baiknya kita menengok kilas balik sejarah untuk menjawab pertanyaan itu. Di paruh pertama abad lalu, dua perang dengan skala paling besar dalam sejarah terjadi. Perang Dunia kita menyebutnya demikian membawa dampak negatif bagi peradaban manusia pada tingkatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Karenanya masyarakat internasional berusaha sekuat tenaga agar tragedi itu tidak terulang.
Upaya menghindari pecahnya ‘Perang Dunia Ketiga’ menjadi tema utama politik global pasca-Perang Dunia II. Saat itu dua negara adikuasa AS dan Uni Soviet berseteru. Kenyataan bahwa dua negara itu memiliki senjata nuklir membuat dunia waswas. Rasa khawatir akan pecahnya perang nuklir yang dapat menghancurkan peradaban manusia menjadi hal menakutkan. Kekhawatiran itu mencapai puncaknya saat terjadi krisis Kuba tahun 1962.
Krisis ini dipicu oleh keputusan Uni Soviet yang menempatkan peluru kendali di Kuba. AS tentu saja tidak ingin melihat senjata Uni Soviet ditaruh di Kuba, negara yang letaknya tidak jauh di lepas pantai negara bagian Florida. AS meresponsnya dengan blokade untuk mencegah masuknya peluru kendali milik Uni Soviet.
Blokade AS membuat Uni Soviet mengurungkan niat. Namun, ketegangan yang terjadi dalam seputar peristiwa ini membuat dunia semakin khawatir dengan kemungkinan pecahnya perang nuklir. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mencegah perseteruan AS-Uni Soviet berubah menjadi konflik terbuka. Perang Dingin diredam agar tidak berubah menjadi ‘Perang Panas’.
Akhir 1991 Uni Soviet runtuh, pecah menjadi banyak negara. Runtuhnya Uni Soviet menandai berakhirnya Perang Dingin. Rangkaian perundingan bilateral AS dan Rusia pewaris senjata nuklir Uni Soviet kemudian digelar. Mereka sepakat untuk mengurangi jumlah senjata nuklir yang dimiliki. Masyarakat internasional bersyukur karena ancaman perang nuklir berkurang secara signifikan.
Mengapa dunia terhindar dari perang nuklir pada era Perang Dingin? Ada banyak faktor penyebab. Pertama, karena AS dan uni Soviet tetap mengedepankan rasionalitas. Mereka sadar bahwa daya rusak senjata nuklir dapat menyebabkan kehancuran dalam skala besar yang merugikan masyarakat internasional secara keseluruhan. Pertimbangan rasional ini menjadi deterrence yang mencegah pecahnya perang nuklir.
Kedua, pemimpin AS dan Uni Soviet memiliki jaringan komunikasi langsung. Jaringan yang populer disebut hot line ini dibangun setelah terjadinya krisis Kuba. Belajar dari krisis Kuba, kedua negara sepakat menghindari salah paham yang berpotensi memicu perang nuklir. Keberadaan hot line membuat ketegangan Perang Dingin sedikit mengendur.
Lalu, bagaimana situasi sekarang? Tentu saja kita berharap para pemilik senjata nuklir tetap bertindak rasional. Artinya, mereka sepenuhnya menyadari dampak buruk yang dapat timbul jika perang nuklir terjadi. Dengan demikian, mereka tetap bertindak hati-hati dan penuh pertimbangan dalam segala hal yang berkaitan dengan senjata nuklir.
Hal yang patut dikhawatirkan sekarang adalah minimnya dialog. Pada masa Perang Dingin, pemimpin AS dan Uni Soviet beberapa kali bertemu untuk membahas kepentingan bersama kedua pihak termasuk soal senjata nuklir. Kekuatan dua negara itu juga dapat disebut seimbang sehingga setiap langkah dilakukan secara hati-hati.
Dalam konteks AS-Korut saat ini saluran komunikasi semacam itu tidak ditemui. Akibatnya sering kita dengar atau baca pernyataan, gertakan, dan ancaman disampaikan melalui media. Situasi ini tentu saja meningkatkan peluang terjadinya salah paham yang pada gilirannya dapat memicu munculnya tindakan sepihak.
Apa yang perlu diperhatikan di tahun 2018? Hal paling penting adalah tidak boleh menganggap ancaman terjadinya perang nuklir sebagai sesuatu yang sepele. Upaya untuk menghindarinya perlu terus dilakukan.
Cara paling ideal tentu saja adalah dengan nuclear disarmament atau perlucutan senjata nuklir. Artinya, seluruh pemilik senjata nuklir melenyapkan senjata nuklir yang mereka miliki. Namun, dalam kondisi sekarang opsi ini sulit terwujud. Senjata nuklir sudah telanjur dianggap sebagai simbol kekuatan dan jaminan keamanan.
Cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan terus menekankan pentingnya rasionalitas khususnya di kalangan pemilik senjata nuklir sebagai landasan utama dalam bertindak. Dialog perlu terus didorong untuk menghindari munculnya kebijakan dan tindakan sepihak.
Sejalan dengan amanat konstitusi, Indonesia perlu terus berperan aktif mengampanyekan pentingnya tindakan rasional dan mendorong terciptanya dialog. Indonesia juga perlu terus menyerukan agar negara-negara yang memiliki pengaruh besar dalam politik global untuk tidak menjalankan kebijakan unilateral.
Kampanye ini perlu dilakukan secara terus-menerus di berbagai forum, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Kebijakan mendukung nuclear disarmament juga harus dipertahankan meskipun kita tahu untuk dapat mencapainya kita perlu upaya ekstrakeras.
Akhirnya, upaya menghindarkan dunia dari kehancuran yang mungkin timbul akibat perang nuklir harus dijadikan prioritas. Tentu saja kita tidak ingin perilaku nyentrik segelintir individu menyebabkan terjadinya tragedi dengan dampak yang demikian besar.
(mhd)