Pantaskah Ahok Memperoleh Remisi?
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik
The University of Melbourne
SUDAH lebih dari tujuh bulan majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama. Sejak palu penutupan sidang diketok Ketua Majelis Hakim, Ahok pun berganti status menjadi terpidana dan mendekam seharusnya di penjara.
Pada perayaan Natal tahun ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberikan potongan masa hukuman atau remisi kepada Ahok selama 15 ha-ri. Pertanyaannya, layakkah dia mendapat remisi?
Mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 21/2016, remisi diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. “Berkelakuan baik” bermakna bahwa si narapidana tidak sedang menjalani hukuman disiplin dan mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh lembaga pemasyarakatan dengan predikat baik.
Remisi merupakan kebijakan yang dibuat di atas filosofi reintegrasi. Berbeda dengan filosofi-filosofi penghukuman lainnya, filosofi reintegrasi memandang pelaku kejahatan yang telah merugikan masyarakat perlu diberikan kesempatan untuk menebus kesalahan sekaligus kerugian yang telah diakibatkannya. Peluang bagi penjahat untuk melakukan kebaikan tersebut hanya bisa dilakukan jika dia bisa berada di tengah masyarakat lagi. Remisi, berdasarkan makna filosofi dimaksud, ditujukan untuk mempercepat pengembalian kerugian oleh pelaku kepada para korbannya (masyarakat).
Masalahnya, makna “berkelakuan baik” yang dirumuskan dalam Permenkumham terpusat hanya pada diri si penjahat selama menjalani masa hukuman di penjara. Hampanya pemaknaan “berkelakuan baik” terkait risiko yang bisa dihadapi masyarakat setelah penjahat mengakhiri masa pemenjaraan, membuat kriteria tersebut sepatutnya didefinisikan ulang. Idealnya, remisi tidak hanya mempertimbangkan kondisi terpidana, tetapi juga kondisi masyarakat.
Masyarakat adalah korban tindak kejahatan yang dilakukan terpidana (penjahat). Remisi berkonsekuensi mempercepat bertemunya kembali masyarakat dengan penjahat. Itu menjadi dasar pemikiran bahwa remisi bagi penjahat harus juga mempertimbangkan akibatnya bagi masyarakat. Risiko terhadap masyarakat itu bisa diramal dengan menakar isi hati si penjahat selama melalui hari-harinya di balik jeruji besi. Secara khusus, isi hati dimaksud adalah perasaan bersalah si narapidana.
Guru besar hukum pidana dari California State University, Xin Ren, menyebut perasaan bersalah narapidana akan memungkinkan negara memulihkan kekuasaan dan kewibawaannya yang sebelumnya telah dirusak oleh si narapidana. Kriminal yang tidak merasa bersalah sama artinya dengan terus-menerus menantang kedigdayaan negara. Sehingga, bisa dipahami negara berkepentingan untuk mengadakan program pemasyarakatan yang dapat menerbitkan perasaan bersalah pada batin narapidana.
Pada tataran individu, banyak ilmuwan mengatakan, ketika seseorang merasa bersalah atas kelakuannya, dia akan mengalami ketegangan, perasaan tertekan, dan penyesalan. Perasaan-perasaan tersebut mendorong orang yang bersangkutan menampilkan tindak-tanduk tertentu untuk memperbaiki keadaan. Mulai dari mengakui kesalahan, meminta maaf, hingga mencoba melakukan perbaikan atas kerusakan yang kadung ia buat. Perasaan bersalah adalah permulaan dari sikap jera yang men¬cegah orang berbuat jahat kembali.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki perasaan bersalah cenderung akan mengulangi perbuatannya. Ini pula yang memberikan penjelasan tentang penyebab tingginya tingkat residivisme. Rendahnya, apalagi kosongnya, perasaan bersalah akan mempertinggi potensi residivisme.
Faktanya, perasaan penjahat tidak selalu sebangun putusan Wakil Tuhan. Tidak semua terpidana menyadari kesalahannya betapa pun majelis hakim sudah memvonis mereka bersalah.
Padahal, perasaan bersalah semestinya menjadi prasyarat agar remisi bisa sungguh-sungguh berfaedah. Sulit dibayangkan, penjahat yang tidak memiliki perasaan bersalah akan berperilaku konstruktif bagi terciptanya relasi yang lebih konstruktif antara dirinya dan masyarakat. Semakin sulit diharapkan, narapidana yang tidak merasa bersalah akan mengambil langkah-langkah nyata dalam rangka mengembalikan kerugian yang masyarakat derita akibat kelakuan jahatnya.
Nah, bagaimana dengan Ahok? Apakah dia sadar dan merasa bersalah atas penodaan yang telah dia lakukan terhadap agama tertentu? Entahlah.
Apabila pola perasaan narapidana yang disimpulkan psikiater Elisabeth Kubler-Ross dipakai sebagai rujukan, Ahok saat ini barangkali masih berada pada episode pertama, yaitu pengingkaran. Narapidana dengan suasana hati sedemikian rupa akan protes terhadap keadaan. Dia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang dikorbankan atas perbuatan yang dia yakini bukan merupakan kejahatan.
Hal yang saya khawatirkan, berada di tahanan Mako Brimob bisa saja malah memunculkan setidaknya perasaan eksklusif. Perlakuan eksklusif bagi terpidana justru bisa membentuk atau bahkan memperkuat pemahaman keliru terpidana atas dirinya sendiri bahwa, “Saya tidak bersalah.”
Pada sisi itu pula saya ragu akan manfaat memfungsikan Mako Brimob sebagai penjara bagi penjahat (narapidana). Pertama, merujuk Permenkumham 21/2016, apakah Mako Brimob menjalankan program pembinaan seperti yang lembaga pemasyarakatan selenggarakan? Apakah personel polisi di Mako Brimob mempunyai kompetensi yang sama dengan petugas lembaga pemasyarakatan dalam urusan membina narapidana?
Jika tidak, persoalan kedua, maka isi Permenkumham 21/2016 sesungguhnya tidak terealisasi, bahwa narapidana tidak pernah mengikuti program pembinaan yang diadakan pihak lembaga pemasyarakatan. Apalagi keikutsertaan serius yang membuat si narapidana memperoleh penilaian baik.
Pertanyaan puncaknya adalah seberapa nyata publik bisa berharap bahwa narapidana Ahok akan dapat terbina atau terehabilitasi, bukan semata untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan –lebih mendasar– bagi kepentingan masyarakat luas? Spesifik, seberapa besar kemungkinan personel polisi di Mako Brimob membangkitkan perasaan bersalah narapidana yang mereka jaga?
Remisi yang diberikan dengan mengabaikan unsur perasaan bersalah terpidana adalah sama artinya dengan menjerumuskan masyarakat ke dalam situasi berisiko menjadi korban kembali (revictimized). Ketika pengurangan masa hukuman bagi narapidana dipraktikkan sebagai kebijakan yang justru berpotensi besar menambah kerugian masyarakat, remisi jelas-jelas mengabaikan filosofi reintegrasi sebagaimana tertulis di atas.
Terpidana, tak terkecuali Ahok, punya hak untuk menerima remisi. Namun hak masyarakat untuk terlindungi dari kemungkinan penjahat kambuhan jauh lebih penting, bahkan mutlak untuk dipenuhi. Wallahu A’lam.
Alumnus Psikologi Forensik
The University of Melbourne
SUDAH lebih dari tujuh bulan majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama. Sejak palu penutupan sidang diketok Ketua Majelis Hakim, Ahok pun berganti status menjadi terpidana dan mendekam seharusnya di penjara.
Pada perayaan Natal tahun ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberikan potongan masa hukuman atau remisi kepada Ahok selama 15 ha-ri. Pertanyaannya, layakkah dia mendapat remisi?
Mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 21/2016, remisi diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. “Berkelakuan baik” bermakna bahwa si narapidana tidak sedang menjalani hukuman disiplin dan mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh lembaga pemasyarakatan dengan predikat baik.
Remisi merupakan kebijakan yang dibuat di atas filosofi reintegrasi. Berbeda dengan filosofi-filosofi penghukuman lainnya, filosofi reintegrasi memandang pelaku kejahatan yang telah merugikan masyarakat perlu diberikan kesempatan untuk menebus kesalahan sekaligus kerugian yang telah diakibatkannya. Peluang bagi penjahat untuk melakukan kebaikan tersebut hanya bisa dilakukan jika dia bisa berada di tengah masyarakat lagi. Remisi, berdasarkan makna filosofi dimaksud, ditujukan untuk mempercepat pengembalian kerugian oleh pelaku kepada para korbannya (masyarakat).
Masalahnya, makna “berkelakuan baik” yang dirumuskan dalam Permenkumham terpusat hanya pada diri si penjahat selama menjalani masa hukuman di penjara. Hampanya pemaknaan “berkelakuan baik” terkait risiko yang bisa dihadapi masyarakat setelah penjahat mengakhiri masa pemenjaraan, membuat kriteria tersebut sepatutnya didefinisikan ulang. Idealnya, remisi tidak hanya mempertimbangkan kondisi terpidana, tetapi juga kondisi masyarakat.
Masyarakat adalah korban tindak kejahatan yang dilakukan terpidana (penjahat). Remisi berkonsekuensi mempercepat bertemunya kembali masyarakat dengan penjahat. Itu menjadi dasar pemikiran bahwa remisi bagi penjahat harus juga mempertimbangkan akibatnya bagi masyarakat. Risiko terhadap masyarakat itu bisa diramal dengan menakar isi hati si penjahat selama melalui hari-harinya di balik jeruji besi. Secara khusus, isi hati dimaksud adalah perasaan bersalah si narapidana.
Guru besar hukum pidana dari California State University, Xin Ren, menyebut perasaan bersalah narapidana akan memungkinkan negara memulihkan kekuasaan dan kewibawaannya yang sebelumnya telah dirusak oleh si narapidana. Kriminal yang tidak merasa bersalah sama artinya dengan terus-menerus menantang kedigdayaan negara. Sehingga, bisa dipahami negara berkepentingan untuk mengadakan program pemasyarakatan yang dapat menerbitkan perasaan bersalah pada batin narapidana.
Pada tataran individu, banyak ilmuwan mengatakan, ketika seseorang merasa bersalah atas kelakuannya, dia akan mengalami ketegangan, perasaan tertekan, dan penyesalan. Perasaan-perasaan tersebut mendorong orang yang bersangkutan menampilkan tindak-tanduk tertentu untuk memperbaiki keadaan. Mulai dari mengakui kesalahan, meminta maaf, hingga mencoba melakukan perbaikan atas kerusakan yang kadung ia buat. Perasaan bersalah adalah permulaan dari sikap jera yang men¬cegah orang berbuat jahat kembali.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki perasaan bersalah cenderung akan mengulangi perbuatannya. Ini pula yang memberikan penjelasan tentang penyebab tingginya tingkat residivisme. Rendahnya, apalagi kosongnya, perasaan bersalah akan mempertinggi potensi residivisme.
Faktanya, perasaan penjahat tidak selalu sebangun putusan Wakil Tuhan. Tidak semua terpidana menyadari kesalahannya betapa pun majelis hakim sudah memvonis mereka bersalah.
Padahal, perasaan bersalah semestinya menjadi prasyarat agar remisi bisa sungguh-sungguh berfaedah. Sulit dibayangkan, penjahat yang tidak memiliki perasaan bersalah akan berperilaku konstruktif bagi terciptanya relasi yang lebih konstruktif antara dirinya dan masyarakat. Semakin sulit diharapkan, narapidana yang tidak merasa bersalah akan mengambil langkah-langkah nyata dalam rangka mengembalikan kerugian yang masyarakat derita akibat kelakuan jahatnya.
Nah, bagaimana dengan Ahok? Apakah dia sadar dan merasa bersalah atas penodaan yang telah dia lakukan terhadap agama tertentu? Entahlah.
Apabila pola perasaan narapidana yang disimpulkan psikiater Elisabeth Kubler-Ross dipakai sebagai rujukan, Ahok saat ini barangkali masih berada pada episode pertama, yaitu pengingkaran. Narapidana dengan suasana hati sedemikian rupa akan protes terhadap keadaan. Dia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang dikorbankan atas perbuatan yang dia yakini bukan merupakan kejahatan.
Hal yang saya khawatirkan, berada di tahanan Mako Brimob bisa saja malah memunculkan setidaknya perasaan eksklusif. Perlakuan eksklusif bagi terpidana justru bisa membentuk atau bahkan memperkuat pemahaman keliru terpidana atas dirinya sendiri bahwa, “Saya tidak bersalah.”
Pada sisi itu pula saya ragu akan manfaat memfungsikan Mako Brimob sebagai penjara bagi penjahat (narapidana). Pertama, merujuk Permenkumham 21/2016, apakah Mako Brimob menjalankan program pembinaan seperti yang lembaga pemasyarakatan selenggarakan? Apakah personel polisi di Mako Brimob mempunyai kompetensi yang sama dengan petugas lembaga pemasyarakatan dalam urusan membina narapidana?
Jika tidak, persoalan kedua, maka isi Permenkumham 21/2016 sesungguhnya tidak terealisasi, bahwa narapidana tidak pernah mengikuti program pembinaan yang diadakan pihak lembaga pemasyarakatan. Apalagi keikutsertaan serius yang membuat si narapidana memperoleh penilaian baik.
Pertanyaan puncaknya adalah seberapa nyata publik bisa berharap bahwa narapidana Ahok akan dapat terbina atau terehabilitasi, bukan semata untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan –lebih mendasar– bagi kepentingan masyarakat luas? Spesifik, seberapa besar kemungkinan personel polisi di Mako Brimob membangkitkan perasaan bersalah narapidana yang mereka jaga?
Remisi yang diberikan dengan mengabaikan unsur perasaan bersalah terpidana adalah sama artinya dengan menjerumuskan masyarakat ke dalam situasi berisiko menjadi korban kembali (revictimized). Ketika pengurangan masa hukuman bagi narapidana dipraktikkan sebagai kebijakan yang justru berpotensi besar menambah kerugian masyarakat, remisi jelas-jelas mengabaikan filosofi reintegrasi sebagaimana tertulis di atas.
Terpidana, tak terkecuali Ahok, punya hak untuk menerima remisi. Namun hak masyarakat untuk terlindungi dari kemungkinan penjahat kambuhan jauh lebih penting, bahkan mutlak untuk dipenuhi. Wallahu A’lam.
(rhs)