Lewat Catatan Akhir Tahun, Fadli Kritik Perlakuan terhadap Ahok
A
A
A
JAKARTA - Saat ini hukum dinilai semakin menjadi alat kekuasaan sehingga akhirnya gagal memenuhi tuntutan keadilan.
Padahal, Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan tersebut tercantum jelas pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. "Ingat, ini adalah pasal pertama konstitusi kita. Jadi, penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) disebut di bagian paling awal konstitusi, sesudah konstitusi kita menegaskan soal bentuk negara dan pentingnya kedaulatan rakyat," kata Fadli melalui Catatan Akhir Tahun 2017 Bidang Hukum yang diterima SINDOnews, Jumat (29/12/2017).
Hal itu dinilainya menunjukkan desain konstitusi tidak menghendaki Indonesia menjadi negara kekuasaan. Menuru dia, kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan hukum.
“Sayangnya sepanjang 2017 saya memperhatikan negara kita justru makin bergerak ke arah negara kekuasaan. Pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan instrumen menegakkan keadilan," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Menurut dia, berbagai survei tentang kinerja pemerintahan Jokowi, misalnya selalu menempatkan hukum, selain ekonomi sebagai sumber utama ketidakpuasan masyarakat.
Pemerintah, kata dia, seharusnya menyadari keadilan hukum merupakan salah satu alat menciptakan stabilitas dan kohesi sosial.
Hal itu, sambung dia, menjadi sebab pemerintah tidak boleh melakukan politisasi hukum. Adanya standar ganda dalam bidang penegakan hukum bisa mengancam kohesi sosial dan melonggarkan tenun kebangsaan.
Namun, kata dia, batas api (fire line) itu telah banyak dilanggar oleh pemerintah sepanjang tahun ini. "Di satu sisi, kita melihat dengan jelas adanya pengistimewaan hukum yang luar biasa terhadap para sekutu pemerintah, dan di sisi lain ada upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah,” tandasnya.
Fadli mencontohkan kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mulai dari sejak terdakwa, hingga menjadi terpidana, Ahok selalu mendapatkan pengistimewaan hukum.
Dia mengatakan, saat Ahok masih menjadi terdakwa. Sebenarnya sesuai ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23/2014, seorang kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa di pengadilan harus diberhentikan sementara, tanpa perlu usulan dari DPRD.
“Tapi kita sudah menyaksikan bagaimana pemerintah, melalui Mendagri, tak pernah mengeksekusi ketentuan ini. Mendagri beralasan jika dia perlu mendengar tuntutan jaksa terlebih dulu, apakah nanti tuntutannya lima tahun, atau kurang dari itu. Jika kurang dari lima tahun, maka saudara Basuki tak perlu diberhentikan sementara," tuturnya.
Hal itu dikatakan Fadli berbeda dengan Gubernur Sumut Syamsul Arifin yang sidang perdananya digelar 14 Maret 2011. Pada 21 Maret 2011, Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian sementaranya sudah diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Begitu juga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiya yang sidang perdananya 6 Mei 2014. Menurut Fadli, pada 12 Mei 2014 Keppres pemberhentian sementara Ratu Atut juga diterbitkan Presiden SBY.
Begitu juga kasus Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho. Meski yang bersangkutan belum berstatus terdakwa, namun pemerintah segera memberhentikannya secara sementara pada Agustus 2015.
Fadli juga menyoroti penahanan Ahok di rumah tahanan (rutan). “Apakah seorang narapidana boleh ditempatkan di rutan? Sesuai aturan, karena terbatasnya jumlah Rutan di Indonesia, yang boleh dilakukan sebenarnya hanyalah menjadikan Lapas sebagai rutan, dan bukan sebaliknya.
“Tapi kenapa aturan tersebut tak berlaku untuk terpidana Basuki (Ahok)? Inilah salah satu noda hitam dalam penegakan hukum sepanjang tahun 2017,” tutur Fadli.
Fadli juga menilai adanya upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah, apakah dengan tuduhan penyebar hoax, hate speech, dan sebagainya.
Menurut dia, perlakuan diskriminatif dan upaya kriminalisasi bisa dilihat dari perlakuan penegak hukum dalam menggunakan pasal dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
UU ITE, kata Fadli, kerap digunakan untuk menekan mereka yang berseberangan dengan pemerintah. “Coba catat siapa saja yang menjadi tersangka dengan delik-delik tadi? Pada tahun 2017, ada beberapa orang yang pernah dijerat dengan UU ITE, antara lain Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Asma Dewi, Buni Yani. Semuanya adalah mereka yang selama ini berbeda haluan politik dengan pemerintah," tuturnya.
Sementara, sambung dia, aparat hukum cepat sekali memproses hukum mereka yang menjadi oposan pemerintah, termasuk para ulama yang kritis, seperti KH Al Khathath.
"Publik bisa melihat jika aparat kita hingga kini masih belum menyentuh orang-orang seperti Nathan, Viktor, misalnya. Ini contoh diskriminasi dan tebang pilih yang bisa merusak wibawa hukum. Belum lagi contoh tuduhan makar yang hingga kini tak jelas juntrungannya,” katanya.
Dia juga menyoroti kasus Asma Dewi dan Saracen yang saat awal muncul diekspose bombastis dan melampaui fakta-fakta yang telah ditemukan polisi.
"Nama itu dikaitkan dengan Prabowo dan sebagainya, seolah ini adalah sejenis jaringan iluminasi. Namun, saat persidangan akhir November 2017 kemarin, tak ada lagi kata Saracen dan tuduhan transfer dana yang katanya besar dalam berkas tuntutan jaksa di pengadilan kepada Asma Dewi," tuturnya.
Fadli pun mempertanyakan siapa yang sebenarya memproduksi hoax. “Jadi siapa sebenarnya yang gemar memproduksi hoax? Bagi saya itu adalah kasus yang memalukan dan mempermalukan aparat penegak hukum sendiri," tuturnya.
Padahal, Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan tersebut tercantum jelas pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. "Ingat, ini adalah pasal pertama konstitusi kita. Jadi, penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) disebut di bagian paling awal konstitusi, sesudah konstitusi kita menegaskan soal bentuk negara dan pentingnya kedaulatan rakyat," kata Fadli melalui Catatan Akhir Tahun 2017 Bidang Hukum yang diterima SINDOnews, Jumat (29/12/2017).
Hal itu dinilainya menunjukkan desain konstitusi tidak menghendaki Indonesia menjadi negara kekuasaan. Menuru dia, kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan hukum.
“Sayangnya sepanjang 2017 saya memperhatikan negara kita justru makin bergerak ke arah negara kekuasaan. Pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan instrumen menegakkan keadilan," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Menurut dia, berbagai survei tentang kinerja pemerintahan Jokowi, misalnya selalu menempatkan hukum, selain ekonomi sebagai sumber utama ketidakpuasan masyarakat.
Pemerintah, kata dia, seharusnya menyadari keadilan hukum merupakan salah satu alat menciptakan stabilitas dan kohesi sosial.
Hal itu, sambung dia, menjadi sebab pemerintah tidak boleh melakukan politisasi hukum. Adanya standar ganda dalam bidang penegakan hukum bisa mengancam kohesi sosial dan melonggarkan tenun kebangsaan.
Namun, kata dia, batas api (fire line) itu telah banyak dilanggar oleh pemerintah sepanjang tahun ini. "Di satu sisi, kita melihat dengan jelas adanya pengistimewaan hukum yang luar biasa terhadap para sekutu pemerintah, dan di sisi lain ada upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah,” tandasnya.
Fadli mencontohkan kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mulai dari sejak terdakwa, hingga menjadi terpidana, Ahok selalu mendapatkan pengistimewaan hukum.
Dia mengatakan, saat Ahok masih menjadi terdakwa. Sebenarnya sesuai ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23/2014, seorang kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa di pengadilan harus diberhentikan sementara, tanpa perlu usulan dari DPRD.
“Tapi kita sudah menyaksikan bagaimana pemerintah, melalui Mendagri, tak pernah mengeksekusi ketentuan ini. Mendagri beralasan jika dia perlu mendengar tuntutan jaksa terlebih dulu, apakah nanti tuntutannya lima tahun, atau kurang dari itu. Jika kurang dari lima tahun, maka saudara Basuki tak perlu diberhentikan sementara," tuturnya.
Hal itu dikatakan Fadli berbeda dengan Gubernur Sumut Syamsul Arifin yang sidang perdananya digelar 14 Maret 2011. Pada 21 Maret 2011, Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian sementaranya sudah diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Begitu juga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiya yang sidang perdananya 6 Mei 2014. Menurut Fadli, pada 12 Mei 2014 Keppres pemberhentian sementara Ratu Atut juga diterbitkan Presiden SBY.
Begitu juga kasus Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho. Meski yang bersangkutan belum berstatus terdakwa, namun pemerintah segera memberhentikannya secara sementara pada Agustus 2015.
Fadli juga menyoroti penahanan Ahok di rumah tahanan (rutan). “Apakah seorang narapidana boleh ditempatkan di rutan? Sesuai aturan, karena terbatasnya jumlah Rutan di Indonesia, yang boleh dilakukan sebenarnya hanyalah menjadikan Lapas sebagai rutan, dan bukan sebaliknya.
“Tapi kenapa aturan tersebut tak berlaku untuk terpidana Basuki (Ahok)? Inilah salah satu noda hitam dalam penegakan hukum sepanjang tahun 2017,” tutur Fadli.
Fadli juga menilai adanya upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah, apakah dengan tuduhan penyebar hoax, hate speech, dan sebagainya.
Menurut dia, perlakuan diskriminatif dan upaya kriminalisasi bisa dilihat dari perlakuan penegak hukum dalam menggunakan pasal dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
UU ITE, kata Fadli, kerap digunakan untuk menekan mereka yang berseberangan dengan pemerintah. “Coba catat siapa saja yang menjadi tersangka dengan delik-delik tadi? Pada tahun 2017, ada beberapa orang yang pernah dijerat dengan UU ITE, antara lain Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Asma Dewi, Buni Yani. Semuanya adalah mereka yang selama ini berbeda haluan politik dengan pemerintah," tuturnya.
Sementara, sambung dia, aparat hukum cepat sekali memproses hukum mereka yang menjadi oposan pemerintah, termasuk para ulama yang kritis, seperti KH Al Khathath.
"Publik bisa melihat jika aparat kita hingga kini masih belum menyentuh orang-orang seperti Nathan, Viktor, misalnya. Ini contoh diskriminasi dan tebang pilih yang bisa merusak wibawa hukum. Belum lagi contoh tuduhan makar yang hingga kini tak jelas juntrungannya,” katanya.
Dia juga menyoroti kasus Asma Dewi dan Saracen yang saat awal muncul diekspose bombastis dan melampaui fakta-fakta yang telah ditemukan polisi.
"Nama itu dikaitkan dengan Prabowo dan sebagainya, seolah ini adalah sejenis jaringan iluminasi. Namun, saat persidangan akhir November 2017 kemarin, tak ada lagi kata Saracen dan tuduhan transfer dana yang katanya besar dalam berkas tuntutan jaksa di pengadilan kepada Asma Dewi," tuturnya.
Fadli pun mempertanyakan siapa yang sebenarya memproduksi hoax. “Jadi siapa sebenarnya yang gemar memproduksi hoax? Bagi saya itu adalah kasus yang memalukan dan mempermalukan aparat penegak hukum sendiri," tuturnya.
(dam)