Fondasi Pengembangan Industri Jasa Keuangan Syariah

Rabu, 27 Desember 2017 - 08:45 WIB
Fondasi Pengembangan...
Fondasi Pengembangan Industri Jasa Keuangan Syariah
A A A
Mohammad Amin

STAKEHOLDERS industri jasa keuangan (IJK) syariah patut galau melihat capaian perjalanan IJK syariah. Galau bukan dalam rangka pesimistis, tetapi dalam rangka menumbuhkan nalar kritis sebagai jalan untuk memperkuat keuangan syariah.

Berdasarkan data OJK, sampai dengan Agustus 2017, market share IJK syariah baru mencapai 8,02%. Sebagai negara dengan latar belakang penduduk mayoritas muslim (87,5 %), market share pada level ini menunjukkan bahwa capaian IJK syariah masih perlu ditingkatkan secara optimal.

Salah satu kritik mendasar yang dilontarkan publik adalah bahwa implementasi sistem keuangan syariah “tidak signifikan berbeda” dengan sistem keuangan konvensional. Dalam persepsi publik, keuangan syariah hanya berbeda istilah atau hanya berbeda bahasa dengan keuangan konvensional.

Penilaian seperti ini membuat seseorang cenderung mengabaikan aspek syariah dari produk/layanan jasa keuangan. Akibatnya, pilihan untuk bertransaksi keuangan tidak ditentukan oleh kesesuaian dengan prinsip syariah atau tidak, tetapi pada aspek lain yang bersifat teknis, seperti kualitas layanan, keterjangkauan kantor, dan return yang diperoleh. Sayangnya, IJK syariah tertinggal relatif jauh dari IJK Konvensional pada aspek teknis tersebut.

Sebenarnya, keuangan syariah sudah memiliki 2 (dua) instrumen utama sebagai pembeda dengan IJK konvensional, yaitu penggunaan akad dalam transaksi IJK syariah dan batasan instrumen investasi sesuai dengan prinsip syariah. Dengan dua instrumen itu, IJK syariah dapat terhindar dari unsur maysir (judi), gharar (tidak jelas) dan riba.

Ilustrasi yang sering digunakan untuk memperkuat posisi akad dalam penyelenggaraan bisnis keuangan syariah adalah dengan mengibaratkan perbedaan antara hubungan seksual yang dilakukan pasangan suami istri dengan perzinaan. Keduanya hanya berbeda pada ada atau tidaknya akad nikah.

Secara konseptual, keberadaan akad ini seharusnya sangat menentukan pilihan seseorang. Namun, pada praktiknya keberadaan akad dalam penyelenggaraan IJK syariah memiliki pengaruh yang berbeda dengan pengaruh keberadaan akad dalam pernikahan.

Mayoritas masyarakat lebih memilih melakukan akad nikah, tidak semata karena tuntunan syariat, namun juga karena adanya sanksi sosial yang melekat pada pelaku perzinaan. Berbeda dengan sektor keuangan yang belum menjadi norma sosial, sehingga seseorang yang memilih keuangan konvensional tidak terkena sanksi sosial.

Hal ini terjadi karena masih terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menghukumi praktik bisnis di sektor industri jasa keuangan. Di sisi lain, batasan instrumen investasi sesuai prinsip syariah yang diharapkan menjadi daya tarik bagi masyarakat, justru kontra produktif.

Batasan-batasan agar sesuai dengan prinsip syariah tersebut membuat pilihan instrumen IJK syariah menjadi terbatas. Bahkan, dalam banyak kasus menjadi salah satu faktor yang membuat imbal hasil IJK syariah menjadi lebih rendah, atau harga/biaya produk IJK syariah menjadi lebih mahal daripada IJK konvensional. Diakui atau tidak, hal ini menjadi salah satu dis-insentif bagi masyarakat untuk bertransaksi menggunakan IJK syariah.

Berkaca dari tidak efektifnya instrumen-instrumen tersebut, desainatau konsepsi dasar sistem keuangan syariah perlu ditata kembali sebagai fondasi pengembangan IJK syariah. Jika strategi pengembangan hanya mengandalkan aspek teknikal, IJK syariah akan kesulitan untuk menggeser dominasi IJK konvensional, karena IJK konvensional tentunya juga terus menerus melakukan inovasi bisnis.

Fondasi Utama

Kalau kita perhatikan secara seksama, selama ini dialektika keuangan syariah lebih banyak berkutat pada aspek halal haram. Dialektika ini sangat penting untuk menghilangkan keraguan masyarakat dalam menggunakan IJK syariah. Dalam perdebatan tersebut, pegiat keuangan syariah memiliki landasan yang kuat, dengan menggunakan kaidah “pada dasarnya di dalam muamalah, semuanya diperbolehkan (ibahah) sampai ada dalil yang mengharamkan”. Sebagai bagian dari muamalah, maka hukum asal dari keuangan syariah adalah diperbolehkan.

Namun kebutuhan untuk pengembangan IJK syariah tidak cukup hanya berhenti pada aspek halal haram saja. Untuk itu, memasuki fase 25 tahun kedua ini, dialektika keuangan syariah harus diarahkan untuk naik kelas (move up) agar engine keuangan syariah lebih berenergi.

Kalau hanya mengacu pada prinsip ibahah saja, aspek sosial dan aspek kemanusiaan dari keuangan syariah tidak akan terlihat. Padahal, muamalah merupakan tata hubungan sosial antara manusia dengan manusia lainnya.

Dalam konteks ini, instrumen penting yang harus dilekatkan pada sistem keuangan syariah adalah prinsip kemanfaatan untuk umat. Dengan memadukan prinsip ibahah dengan prinsip manfaat, kebolehan segala sesuatu dalam muamalah harus diorientasikan untuk memberi manfaat kepada orang lain.

Tidak semata-mata kebolehan untuk kepentingan pribadi. Aspek ini sangat fundamental karena menurut keterangan Syeh Nawawi Al Bantani dalam Kitab Nashaihul Ibad, hal yang paling utama dari muamalah adalah memberi manfaat kepada orang lain.

Adopsi prinsip kemanfaatan untuk umat di dalam konsepsi keuangan syariah akan membuat IJK syariah mampu menampilkan sisi humanisme dari sektor keuangan, sehingga akan membuat masyarakat lebih nyaman menggunakan layanan keuangan. Dalam dimensi yang lebih luas, concern pada aspek sosial dan kemanusiaan ini akan mendorong terjadinya pergeseran paradigmatik dalam pengelolaan IJK syariah.

Di mana, paradigma pengelolaan IJK syariah akan bergerak dari maksimisasi keuntungan menjadi maksimisasi manfaat. Konsekuensi dari pergeseran paradigmatik tersebut, akan terjadi penyesuaian-penyesuaian penting pada sisi teknis maupun pada sisi value penyelenggaraan bisnis IJK syariah. Pada sisi teknis, ukuran-ukuran keberhasilan IJK syariah tidak lagi cukup dilihat dari peningkatan jumlah aset.

Lebih dari itu, ukuran keberhasilan IJK syariah juga harus ditekankan pada jumlah orang yang sudah berhasil ditingkatkan kesejahteraan ekonominya atau jumlah orang yang sudah terhindar dari risiko finansial yang lebih buruk sebagai hasil dari bertransaksi dengan IJK syariah.

Hal ini tidak berarti bisnis IJK syariah tidak boleh untung. Dari berbagai contoh transaksi bisnis yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi, seseorang diperbolehkan mengambil keuntungan dari kegiatan bisnis. Namun, untung ini bukan satu-satunya orientasi bisnis IJK Syariah.

Sedangkan pada sisi value, pergeseran paradigma akan terlihat lebih dominan melalui terbangunnya semangat kolektif di antara stake holders keuangan syariah, terutama semangat kolektif antara pelaku industri sebagai penyedia produk/layanan keuangan syariah dengan masyarakat sebagai peserta/nasabah. Semangat kolektif muncul karena para pihak yang bertransaksi tidak mengutamakan kepentingannya sendiri, namun mengutamakan kepentingan bersama.

Pelaku industri mengutamakan kepentingan nasabah untuk meningkatkan taraf ekonomi, sehingga pelaku usaha tidak terdorong untuk melakukan praktik penipuan, fraud, investasi bodong dan semacamnya. Di sisi lain, nasabah juga memperhatikan kepentingan lembaga jasa keuangan untuk mendapatkan keuntungan, sehingga terdorong untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai nasabah.

Semangat kolektif inilah kekuatan utama IJK syariah untuk menggeser dominasi keuangan konvensional, karena karakter dasar dari sistem keuangan konvensional cenderung individualistik.Wallahu a’lam.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7949 seconds (0.1#10.140)