Pengembangan EBT dan Penguatan Industri Domestik

Sabtu, 23 Desember 2017 - 07:09 WIB
Pengembangan EBT dan Penguatan Industri Domestik
Pengembangan EBT dan Penguatan Industri Domestik
A A A
Tumiran
Anggota Dewan Energi Nasional 2014-2019 dan Akademisi Universitas Gadjah Mada

CHINA juga adalah negara yang unggul memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT). Dari toal kapasitas terpasang 1.645 GW, EBT telah mencapai 591 GW, termasuk nuklir yang 33 GW. Total kapasitas EBT-nya telah mencapai 35% di sektor listrik. Kalau kita lihat energi yang diproduksi, ET telah mencapai 1.488 TWH atau sekitar 24% dari total energi listrik yang dihasilkan. Bila nuklir dimasukkan sebagai EBT, total energi listrik yang dihasilkan dari EBT telah mencapai 1.701 TWH atau setara dengan 28,3%. Angka yang sangat fantastis yang telah dicapai China.

Komposisi pembangkit EBT termasuk nuklir sebesar 35% berkontribusi terhadap energi mix sektor listrik mencapai 28,3%. Kontribusi terendah diberikan matahari. Matahari memiliki kontribusi di pembangkit sebesar 4,6%, kontribusi energi listrik outpu t -nya hanya 1,1%.

Pengembangan dan pemanfaatan energi matahari, menurut penjelasan yang diperoleh, adalah untuk mendorong penciptaan lapangan kerja baru bagi warga China. Mereka telah mampu mengembangkan industri PV mulai dari hulu sampai produk jadi yang semuanya diproses dan dikerjakan di dalam negeri China. Dengan pasar yang telah tercipta tersebut, produksi mendapat jaminan pasar sehingga skala keekonomian dapat dicapai. Selain itu dengan kemampuan yang dimiliki, menurut informasi, perusahaan-perusahaan PV di China telah mampu mengekspor produk-produknya ke berbagai negara, termasuk Eropa. Perencanaan seperti ini yang kita di Indonesia belum memahami dengan sungguh-sungguh.

Mestinya dengan kebutuhan energi yang terus meningkat dan komitmen untuk mengembangkan dan memanfaatkan ET, pasar dalam negeri kita jaga dan kita dorong industri domestik untuk tumbuh sehingga secara bertahap lapangan kerja tercipta dan teknologi PV kita kuasai, bukan dengan sebaliknya kita ciptakan pasar bagi produk negara lain. Walaupun dengan argumentasi murah, konsekuensinya devisa akan tersedot, produksi negara lain tumbuh, lapangan kerja bangsa lain tercipta, research dan development mereka berkembang, Indonesia hanya jadi pasar dan penonton.
Tentu sangat disayangkan. Perubahan untuk meningkatkan kemampuan dalam negeri nasional sangat bisa dikerjakan bila pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan, bersama dengan sektor swasta bekerja sama dan memahami bahwa komitmen nasional harus menjadi prioritas. Presiden Jokowi yang terus mencanangkan pemanfaatan konten lokal haruslah disambut dan oleh para eksekutif pelaksana di pemerintahan diimplementasikan. Bila arahan Presiden tersebut dilaksanakan dengan baik, sektor EBT yang dicanangkan akan menciptakan banyak lapangan kerja baru dan Indonesia juga diharapkan unggul di bidang teknologi EBT, bukan terus-menerus menerima transfer teknologi without do nothing . Saling menyalahkan yang selama ini terjadi pada level tingkat tinggi mestinya sudah tidak perlu terjadi lagi.

Hal yang tak kalah menarik dan penting dari hasil kunjungan tersebut adalah kebijakan pengelolaan sumber daya energi dan sumber daya alam di China. China memiliki cadangan batu bara yang sangat besar di dunia, kebutuhannya telah melampaui 4 miliar ton. Yang unik sampai saat ini China tidak pernah mengekspor batu bara. Batu bara dipakai semua di dalam negeri, bahkan negara ini berusaha mencari ke negara-negara lain untuk menambah stok batu baranya agar keberlanjutan pasokan PLTU-nya terjamin. Hal ini masih berkebalikan dengan situasi yang kita hadapi. Negara kita masih berusaha untuk terus mengeksploitasi batu bara guna bisa mendapatkan devisa.
Sampai kapankah ini akan berlangsung? Juga terhadap gas, kebijakannya adalah secara optimal gas dipakai di dalam negeri untuk feedstock industrinya yang akan memberikan rente perekonomian lebih panjang dan menguntungkan untuk nilai tambah di dalam negerinya dan menciptakan lapangan kerja serta menghasilkan produk-produk ekspor. Selain itu BUMN China juga didorong untuk berinvestasi pada sektor energi di luar negeri untuk menjamin pasokan energi di dalam negeri China.
Sumber daya mineral juga mereka olah dengan tersedianya pasokan listrik yang menghasilkan produk-produk hilir yang high valuable dan menjadi unggulan produk negara ini. Mereka mampu membuat desain skenario arah pengembangan industri nasionalnya untuk jangka panjang yang berorientasi untuk memenuhi produk domestik dan keperluan ekspor. Strategi tersebut menjadi pedoman bagi regulator membuat regulasi dan pelaku bisnis. Mereka juga membangun kawasan industri yang tertata dengan baik di berbagai wilayah yang didukung penyiapan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan fasilitas lain. Semua itu untuk rakyatnya dan keunggulan bangsa China.

Kita saat ini membangun 35 GW yang diprogramkan secara cerdas oleh Presiden Jokowi di awal pemerintahannya, tetapi banyak pihak masih ragu dengan maksud tersebut. Mestinya berbagai pihak mendukung kuat target yang dicanangkan Presiden karena pada kenyataannya pasokan kita per kapita masih sangat rendah.
Indonesia yang baru memiliki 58 GW, pasokan per kapitanya baru mencapai 210 watt per kapita. Lihatlah China pada 2016 akhir telah memiliki kapasitas pasokan mencapai 1.645 GWe yang artinya pasokan per kapitanya telah mencapai 1.170 watt per kapita, lima kali pasokan per kapita Indonesia. Kalau saat ini Indonesia ingin menyamai China, pasokan per kapita mencapai 1.000 watt per kapita, diperlukan kapasitas pembangkit lebih dari 260 GWe.

Listrik yang besar tersebut dimanfaatkan China bukan hanya untuk penerangan, tetapi juga untuk menggerakkan sektor industrinya yang tumbuh luar biasa, mulai dari processing di hulu sampai hilirisasi menjadi produk jadi yang unggul untuk ekspor. Kembali ke program 35 GW yang dicanangkan Presiden Jokowi, untuk bisa selesai pada 2019, hampir tidak mungkin. Keterlambatan ini dicarilah penyebabnya untuk membenarkan terjadinya keterlambatan. Bila sejak awal program dan rencana eksekusi dapat dikerjakan dengan baik, diikuti perencanaan pemanfaatannya, pemilihan lokasi yang disesuaikan dengan proyeksi pertumbuhan, target Presiden tersebut diyakini akan menggerakkan perekonomian sektor hilir yang luar biasa dan diyakini akan menjadi pendukung kekuatan ekonomi Indonesia.

Dengan tidak selesainya proyek 35 GW seolah-olah ada kesalahan perencanaan dan kemungkinan potensi kerugian yang harus ditanggung PLN. Mestinya hal ini tidak perlu terjadi bila ada perencanaan yang baik di sektor pengguna untuk bersinergi membuat perencanaan industri yang disesuaikan dengan road map nasional. Tapi kenyataannya, bangsa kita belum mampu membuat road map arah industri nasional yang akan menjadi based line industri untuk keunggulan bangsa Indonesia.

Berbicara listrik, yang kita lakukan masih level untuk meningkatkan rasio elektrifikasi, padahal mestinya sudah terpikir lebih jauh bahwa listrik itu untuk menggerakkan perekonomian, menopang penguatan industri nasional yang mampu melakukan substitusi impor, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing nasional. Bila kapasitas listrik kita besar dan dimanfaatkan secara optimal di sektor hilir, ketersediaan sumber daya energi nasional seperti batu bara dan gas benar-benar termanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah melalui hilirisasi. Kuncinya tentu komitmen tiap sektor untuk patuh pada kesepakan perencanaan yang telah dibuat.
Saat ini yang kita lihat adalah kesedihan: batu bara nasional 80% masih kita ekspor, padahal mestinya dapat kita jaga untuk jangka panjang. Sebab semakin cepat tereksploitasi akan semakin cepat habis. Lihatlah China, adakah negara ini mengekspor batu bara? Demikian juga produksi gas nasional kita, 40% masih kita ekspor, padahal di dalam negeri tertatih-tatih untuk optimal pemanfaatannya. Masalah infrastruktur, pricing menjadi kambing hitam yang kita tidak bisa optimal untuk memanfaatkannya. Siapa yang salah? Tidak ada yang salah, tapi yang rugi adalah bangsa kita juga, nilai tambah tidak bisa berjalan optimal.

Demikian hasil renungan di udara yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan ada manfaatnya, paling tidak untuk diri saya yang harus merenung dan tentu permohonan maaf kepada teman-teman bila ada yang kurang berkenan. (habis)
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6174 seconds (0.1#10.140)