Bara yang Tak Kunjung Padam
A
A
A
Freddy Numberi
Ambassador, Tokoh Masyarakat Papua
KONFLIK Jakarta-Papua sejak awal integrasi 1 Mei 1963-1 Mei 2017 (54 tahun) bagaikan "bara api yang tak kunjung padam". Hal ini menyuburkan dan memapankan paradigma separatisme. Paradigma ini telah menjadi kerangka dan landasan berpikir baik di Jakarta maupun di Papua.
Els Bogaerts dan Remco Raben dalam bukunya "Van Indie tot Indonesie" (Amsterdam, 2007; hlm 35) menyatakan: " De diepste wortels van het geweld dat na 1945 zo’n vernietigende uitwerking op Indonesie had, zijn te vinden in het patron van geweld misdrijven in de koloniale tijd en de manier waar op het koloniale gezag met misdaad omging. Onvermoed steunde-en crieerde-het Nederlanse system in Indie een reservoir geweld."
Inti dari pernyataan tersebut bahwa akar kekerasan yang ada di Indonesia setelah 1945 memang diciptakan oleh kolonial Belanda untuk menghancurkan orang Indonesia dan secara sistem menjadi sumber kekerasan aparat keamanan Belanda.
Penulis coba memosisikan Papua dalam konteks pernyataan di atas: "De diepste wortels van geweld dat na de New York Agreement 1962 en de intergratie 1 Mei 1963 zo’n vernetigende uitwerking op de Papua’s had, zijn te vinden in het patron van geweld en misdrijven onder Indonesie en de manier waar op het gezag met misdaat omging."
Bahwa akar kekerasan yang terjadi setelah Perjanjian New York 1962 dan penyatuan kembali pada 1 Mei 1963 menghancurkan Orang Asli Papua (OAP) dalam pola kekerasan oleh aparat keamanan.
Dinamika Konflik
Namun, penderitaan panjang selama tiga setengah abad itu telah mempersatukan suku-suku dalam wilayah Nusantara sebagai bangsa Indonesia. Persatuan itu terjadi karena adanya keinginan untuk hidup bersama, bebas dari penjajah, dan meraih cita-cita bersama. Nasionalisme Indonesia tidak lahir semata-mata dari solidaritas agama, suku, bangsa, bahasa, asal-usul, maupun geografi saja, tetapi juga dari pengalaman sejarah yang sama dan persamaan nasib sebagai bangsa yang dijajah.
Namun, terkadang nasionalisme dipakai secara manipulatif untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Pengultusan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) "harga mati" misalnya, merupakan contoh bagaimana nasionalisme itu dipersepsikan begitu sempit NKRI seolah-olah identik dengan nasionalisme. Sedangkan di luar itu dianggap berlawanan dan divonis sebagai barang haram yang mengancam kedaulatan negara dan bangsa.
Hal ini justru menjadi "bom waktu", apalagi di era globalisasi, demokratisasi, dan keterbukaan informasi. Reformasi yang kita gulirkan sejak 1998 yang didukung seluruh rakyat Indonesia menyuburkan berbagai tuntutan daerah agar daerahnya menjadi lebih sejahtera dalam naungan NKRI. Lahirnya Undang-Undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Otsus) misalnya, merupakan langkah pemerintah yang paling tepat dalam menjawab berbagai tuntutan rakyat Papua di masa lalu.
Contohnya, Pasal 45 tentang Penegakan HAM, diamanatkan bahwa di Papua akan dibentuk perwakilan Komisi Nasional HAM, pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sudah lebih dari satu dasawarsa, komisi-komisi tersebut belum juga terbentuk. Inilah salah satu contoh inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan pasal-pasal yang diamanatkan oleh UU Otsus, yang notabene dibuat sendiri oleh pemerintah.
Harapan rakyat Papua bahwa dengan adanya otsus, pembangunan di Papua dapat berjalan sesuai kondisi ekonomi, sosial, dan budaya OAP dalam bingkai NKRI telah sirna. Perlakuan yang dialami setelah otsus masih sama seperti sediakala, yaitu kemiskinan, kebodohan, kesehatan yang buruk, ketidakadilan, dan trauma akibat kekerasan. Bahkan di antara mereka ada yang tersandera oleh stigma separatis.
Bergulirnya Otsus Papua belum dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua. Dalam pelaksanaannya, belum efektif dan secara khusus belum memberi perhatian untuk meraih Papua Tanah Damai. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam lebih dari tiga kali kunjungannya ke Papua mengamanatkan bahwa pembangunan di Papua harus menuju Papua Tanah Damai, tetapi konflik dan kekerasan masih terus terjadi. Contohnya adalah konflik Deiyai berdarah 31 Juli 2017 yang juga dikutuk oleh Presiden Jokowi karena kekerasan masih saja terus terjadi di Papua.
Perlu Evaluasi Kritis
Selama lebih dari setengah abad (1963-2017), pendekatan pembangunan di Tanah Papua cenderung mengedepankan pendekatan keamanan dan politik yang didasarkan pada kecurigaan yang bersifat stereotipe etnik. Pendekatan tersebut kiranya sudah waktunya dievaluasi secara kritis dan menyeluruh untuk kemudian menggantinya dengan pendekatan baru yang didasari mindset baru. Pendekatan keamanan yang cenderung sarat pelanggaran HAM sampai saat ini terbukti belum berhasil menyelesaikan masalah Papua secara tuntas dan permanen serta bermartabat, tetapi malah menghasilkan benih-benih separatisme dan kebencian OAP (Orang Asli Papua) terhadap pemerintah.
Papua saat ini lebih membutuhkan pendekatan yang dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi OAP (human security), menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and wealth creation). Mudah-mudahan dalam kurun waktu tertentu secara permanen dan bermartabat dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Dr Daoed Joesoef mengingatkan kita untuk lebih bijaksana dalam menangani ketidakpuasan rakyat daripada menggunakan senjata. Konflik yang terjadi di Tanah Papua saat ini, menurut Omar N Bradley, yaitu perang yang keliru, pada tempat yang keliru, pada waktu yang keliru, dengan musuh yang keliru, dan digagas dengan alasan yang keliru.
Itulah yang pernah terjadi di Aceh dan masih berlanjut di Papua hingga saat ini. Memang perlawanan rakyat dapat ditumpas dengan kekuatan bersenjata dan luka-luka akibat perang yang serbakeliru itu dapat sembuh. Namun bekas luka-lukanya tidak akan pernah hilang, karena diceritakan orang tua ke anak, dari anak ke cucu, dan dari cucu ke cicit (memoria passionis).
Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan ada empat akar permasalahan Papua, yaitu; (1) marjinalisasi dan diskriminasi; (2) kegagalan pembangunan; (3) kekerasan negara dan pelanggaran HAM; (4) sejarah dan status politik Papua (Muridan S. Widjojo, dkk, 2010 ; hlm 6). Lebih dari setengah abad penanganan empat akar masalah ini belum tuntas.
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) masih memiliki suatu beban sejarah untuk mengakhiri pengalaman pahit yang masih dirasakan oleh saudara-saudaranya orang asli Papua sejak bergabung dengan bangsa Indonesia 54 tahun yang silam. Hal ini tentunya sejalan dengan Nawacita yang dicanangkan sejak awal pemerintahan Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Jokowi-JK.
Semoga dengan pendekatan baru yang dirancang oleh pemerintahan Jokowi-JK, tercipta Tanah Papua yang damai dalam NKRI ke depan dan akan mencatat lebih banyak kenangan manis yang secara kolektif akan terus diingat oleh Orang Asli Papua sebagai bukti alasan utama mengapa mereka memilih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Ambassador, Tokoh Masyarakat Papua
KONFLIK Jakarta-Papua sejak awal integrasi 1 Mei 1963-1 Mei 2017 (54 tahun) bagaikan "bara api yang tak kunjung padam". Hal ini menyuburkan dan memapankan paradigma separatisme. Paradigma ini telah menjadi kerangka dan landasan berpikir baik di Jakarta maupun di Papua.
Els Bogaerts dan Remco Raben dalam bukunya "Van Indie tot Indonesie" (Amsterdam, 2007; hlm 35) menyatakan: " De diepste wortels van het geweld dat na 1945 zo’n vernietigende uitwerking op Indonesie had, zijn te vinden in het patron van geweld misdrijven in de koloniale tijd en de manier waar op het koloniale gezag met misdaad omging. Onvermoed steunde-en crieerde-het Nederlanse system in Indie een reservoir geweld."
Inti dari pernyataan tersebut bahwa akar kekerasan yang ada di Indonesia setelah 1945 memang diciptakan oleh kolonial Belanda untuk menghancurkan orang Indonesia dan secara sistem menjadi sumber kekerasan aparat keamanan Belanda.
Penulis coba memosisikan Papua dalam konteks pernyataan di atas: "De diepste wortels van geweld dat na de New York Agreement 1962 en de intergratie 1 Mei 1963 zo’n vernetigende uitwerking op de Papua’s had, zijn te vinden in het patron van geweld en misdrijven onder Indonesie en de manier waar op het gezag met misdaat omging."
Bahwa akar kekerasan yang terjadi setelah Perjanjian New York 1962 dan penyatuan kembali pada 1 Mei 1963 menghancurkan Orang Asli Papua (OAP) dalam pola kekerasan oleh aparat keamanan.
Dinamika Konflik
Namun, penderitaan panjang selama tiga setengah abad itu telah mempersatukan suku-suku dalam wilayah Nusantara sebagai bangsa Indonesia. Persatuan itu terjadi karena adanya keinginan untuk hidup bersama, bebas dari penjajah, dan meraih cita-cita bersama. Nasionalisme Indonesia tidak lahir semata-mata dari solidaritas agama, suku, bangsa, bahasa, asal-usul, maupun geografi saja, tetapi juga dari pengalaman sejarah yang sama dan persamaan nasib sebagai bangsa yang dijajah.
Namun, terkadang nasionalisme dipakai secara manipulatif untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Pengultusan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) "harga mati" misalnya, merupakan contoh bagaimana nasionalisme itu dipersepsikan begitu sempit NKRI seolah-olah identik dengan nasionalisme. Sedangkan di luar itu dianggap berlawanan dan divonis sebagai barang haram yang mengancam kedaulatan negara dan bangsa.
Hal ini justru menjadi "bom waktu", apalagi di era globalisasi, demokratisasi, dan keterbukaan informasi. Reformasi yang kita gulirkan sejak 1998 yang didukung seluruh rakyat Indonesia menyuburkan berbagai tuntutan daerah agar daerahnya menjadi lebih sejahtera dalam naungan NKRI. Lahirnya Undang-Undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Otsus) misalnya, merupakan langkah pemerintah yang paling tepat dalam menjawab berbagai tuntutan rakyat Papua di masa lalu.
Contohnya, Pasal 45 tentang Penegakan HAM, diamanatkan bahwa di Papua akan dibentuk perwakilan Komisi Nasional HAM, pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sudah lebih dari satu dasawarsa, komisi-komisi tersebut belum juga terbentuk. Inilah salah satu contoh inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan pasal-pasal yang diamanatkan oleh UU Otsus, yang notabene dibuat sendiri oleh pemerintah.
Harapan rakyat Papua bahwa dengan adanya otsus, pembangunan di Papua dapat berjalan sesuai kondisi ekonomi, sosial, dan budaya OAP dalam bingkai NKRI telah sirna. Perlakuan yang dialami setelah otsus masih sama seperti sediakala, yaitu kemiskinan, kebodohan, kesehatan yang buruk, ketidakadilan, dan trauma akibat kekerasan. Bahkan di antara mereka ada yang tersandera oleh stigma separatis.
Bergulirnya Otsus Papua belum dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua. Dalam pelaksanaannya, belum efektif dan secara khusus belum memberi perhatian untuk meraih Papua Tanah Damai. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam lebih dari tiga kali kunjungannya ke Papua mengamanatkan bahwa pembangunan di Papua harus menuju Papua Tanah Damai, tetapi konflik dan kekerasan masih terus terjadi. Contohnya adalah konflik Deiyai berdarah 31 Juli 2017 yang juga dikutuk oleh Presiden Jokowi karena kekerasan masih saja terus terjadi di Papua.
Perlu Evaluasi Kritis
Selama lebih dari setengah abad (1963-2017), pendekatan pembangunan di Tanah Papua cenderung mengedepankan pendekatan keamanan dan politik yang didasarkan pada kecurigaan yang bersifat stereotipe etnik. Pendekatan tersebut kiranya sudah waktunya dievaluasi secara kritis dan menyeluruh untuk kemudian menggantinya dengan pendekatan baru yang didasari mindset baru. Pendekatan keamanan yang cenderung sarat pelanggaran HAM sampai saat ini terbukti belum berhasil menyelesaikan masalah Papua secara tuntas dan permanen serta bermartabat, tetapi malah menghasilkan benih-benih separatisme dan kebencian OAP (Orang Asli Papua) terhadap pemerintah.
Papua saat ini lebih membutuhkan pendekatan yang dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi OAP (human security), menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and wealth creation). Mudah-mudahan dalam kurun waktu tertentu secara permanen dan bermartabat dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Dr Daoed Joesoef mengingatkan kita untuk lebih bijaksana dalam menangani ketidakpuasan rakyat daripada menggunakan senjata. Konflik yang terjadi di Tanah Papua saat ini, menurut Omar N Bradley, yaitu perang yang keliru, pada tempat yang keliru, pada waktu yang keliru, dengan musuh yang keliru, dan digagas dengan alasan yang keliru.
Itulah yang pernah terjadi di Aceh dan masih berlanjut di Papua hingga saat ini. Memang perlawanan rakyat dapat ditumpas dengan kekuatan bersenjata dan luka-luka akibat perang yang serbakeliru itu dapat sembuh. Namun bekas luka-lukanya tidak akan pernah hilang, karena diceritakan orang tua ke anak, dari anak ke cucu, dan dari cucu ke cicit (memoria passionis).
Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan ada empat akar permasalahan Papua, yaitu; (1) marjinalisasi dan diskriminasi; (2) kegagalan pembangunan; (3) kekerasan negara dan pelanggaran HAM; (4) sejarah dan status politik Papua (Muridan S. Widjojo, dkk, 2010 ; hlm 6). Lebih dari setengah abad penanganan empat akar masalah ini belum tuntas.
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) masih memiliki suatu beban sejarah untuk mengakhiri pengalaman pahit yang masih dirasakan oleh saudara-saudaranya orang asli Papua sejak bergabung dengan bangsa Indonesia 54 tahun yang silam. Hal ini tentunya sejalan dengan Nawacita yang dicanangkan sejak awal pemerintahan Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Jokowi-JK.
Semoga dengan pendekatan baru yang dirancang oleh pemerintahan Jokowi-JK, tercipta Tanah Papua yang damai dalam NKRI ke depan dan akan mencatat lebih banyak kenangan manis yang secara kolektif akan terus diingat oleh Orang Asli Papua sebagai bukti alasan utama mengapa mereka memilih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
(rhs)