Masa Depan Palestina di Tangan Kuartet
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
BADAI diplomasi yang disebabkan oleh deklarasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel sedikit demi sedikit mulai mereda. Beberapa aksi unjuk rasa dari para penduduk, khususnya yang berasal dari negara-negara berpenduduk muslim, masih berlangsung meskipun massa kritis dan ekspresi untuk menunjukkan perlawanan atas keputusan AS itu telah disalurkan lewat Deklarasi “Freedom for Jerusalem” dari negara-negara anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam).
Deklarasi OKI ini memuat sejumlah sikap negara-negara berpenduduk muslim antara lain menolak dan menuntut pencabutan pernyataan sepihak Trump terkait Yerusalem sebagai ibu kota Israel, mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina, meminta PBB, Uni Eropa, dan masyarakat internasional untuk menjaga Resolusi PBB soal status Yerusalem dan beberapa pokok penting lainnya.
Saya sendiri melihat bahwa deklarasi “Pembebasan Palestina” itu masih jauh dari harapan akan adanya aliansi strategis baru yang dapat memberikan dampak jangka pendek dan jangka panjang untuk proses perdamaian di Palestina. Dunia berharap keputusan sepihak Trump dapat menjadi pemicu langkah persatuan, khususnya di kawasan negara-negara di kawasan Timur Tengah, untuk mengesampingkan perbedaan dan mendahulukan kepentingan Palestina.
Nyatanya, pertemuan OKI itu sendiri di satu sisi justru mengonfirmasi masih besarnya perpecahan di antara negara-negara pendukung Palestina merdeka. Pertemuan OKI di Turki hanya dihadiri oleh 20 kepala negara dari 57 negara anggotanya, dan selebihnya hanya diikuti pejabat setingkat menteri luar negeri seperti yang dilakukan oleh Arab Saudi sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan Timur Tengah serta Mesir yang berbatasan langsung dengan Israel.
Lemahnya persatuan negara-negara berpenduduk muslim untuk bersatu memberi tekanan kepada Israel dan AS mengondisikan sebuah fakta bahwa masa depan Palestina tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau militer. Situasi telah berubah di Timur Tengah. Kekerasan justru akan melemahkan perjuangan Palestina Merdeka karena memberikan ruang legitimasi bagi Israel yang memiliki kekuatan dan perlengkapan militer yang jauh lebih baik dari yang miliki oleh para pejuang Palestina untuk melakukan kekerasan tanpa ada bantuan dari negara-negara Arab lainnya.
Iran sebagai salah satu negara yang mampu menandingi militer Israel, khususnya dari sisi perlengkapan dan militansi, sudah menjadi musuh bersama bagi Arab Saudi dan negara lain yang berkumpul di GCC (Gulf Cooperation Council). Siapa pun dalam tubuh gerakan perjuangan Palestina yang berhubungan dengan Iran (baik Hamas, Fatah dll) harus siap-siap untuk tidak mendapat dukungan baik politik maupun keuangan dari negara GCC. Oleh sebab itu, kecil kemungkinan perlawanan bersenjata akan mampu bertahan (endure) dengan lama.
Jalan yang tersedia akhirnya hanyalah melalui perjuangan diplomasi dan dalam perjuangan ini keterlibatan negara-negara lain dan badan internasional yang memiliki pengaruh besar terutama kepada Israel dan AS menjadi sangat mutlak. Beberapa negara yang selama ini aktif antara lain Uni Eropa, Rusia, dan akhir-akhir ini adalah China. Sementara PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) adalah salah badan internasional, juga selama ini memfasilitasi perdamaian Palestina dan Israel.
Keterlibatan negara-negara tersebut menjadi signifikan saat ini, yakni pascadeklarasi Trump. Uni Eropa, Rusia, AS, dan PBB sudah lama bergabung dalam sebuah kelompok yang biasa disebut Quartet for Middle East yang mendorong proses perdamaian Palestina-Israel.
Kelompok kuartet ini berdiri untuk mencari jalan damai dalam menanggapi gerakan Intifada kedua pada 2000. Saat serangan Israel ke wilayah Palestina pada April 2002, kelompok kuartet ini bertemu di Madrid dan kembali menyerukan pelaksanaan perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh pemerintah AS. Mereka juga sepakat untuk mengubah kerja sama Quadripartite mereka menjadi sebuah forum permanen untuk menindaklanjuti proses perdamaian Israel-Palestina.
Kelompok kuartet selama ini tidak terlalu menonjol peranannya walaupun tetap aktif memfasilitasi perdamaian baik melalui bantuan keuangan dan pelatihan di Palestina dan Israel. Alasannya karena AS, terutama para presiden sebelum Trump, mendominasi proses diplomasi tingkat tinggi.
Dengan hilangnya kredibilitas AS, “tanggung jawab” proses perdamaian jatuh ke tangan Uni Eropa, karena posisi Uni Eropa yang terdiri atas 28 negara adalah mitra dagang utama bagi Israel dan bantuan keuangan terbesar juga bagi otoritas Palestina.
Menurut Dana Moneter Internasional, bantuan keuangan internasional adalah motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi di Palestina. Tingkat pengangguran telah turun saat ekonomi Gaza tumbuh 16% pada paruh pertama tahun 2010, hampir dua kali lebih cepat dari ekonomi Tepi Barat.
Rusia sendiri awalnya lebih diharapkan sebagai pihak penyeimbang AS dalam kelompok kuartet ini, karena sejak masih menjadi bergabung di Uni Soviet yang komunis, dalam sejarahnya mereka lebih berpihak kepada negara-negara Arab dan Palestina. Posisi itu sendiri tampaknya telah bergeser dengan kemenangan melawan ISIS di Suriah dan semakin menguatnya pengaruh di Timur Tengah akhir-akhir ini yang membuat Rusia semakin penting terlibat.
Negara lain yang mulai aktif terlibat dalam proses perdamaian di Palestina adalah China. Jauh sebelum deklarasi Trump, China menawarkan beberapa proposal perdamaian kepada Palestina dan Israel. Usulan proposal perdamaian China mulai dirintis terutama bersamaan dengan diproklamasikannya OBOR (One Belt One Road) alias strategi pengembangan infrastruktur China pada 2013.
Presiden China Xi Jinping mengajukan proposal empat poin perdamaian Palestina-Israel ketika Presiden Palestina Mahmoud Abbas berkunjung ke Beijing. China bahkan mengimbau masyarakat internasional pada Juni lalu untuk mengadopsi proposal tersebut dan bersedia untuk memfasilitasi perundingan segitiga Palestina-China-Israel.
Keterlibatan dan kesiapan negara-negara tersebut untuk memulai proses perdamaian di Palestina tampaknya adalah lembaran baru yang harus terus didorong. Indonesia perlu menemukan cara untuk mengawasi dan mengawal proses tersebut karena proses tersebut tidak hanya melibatkan kepentingan Palestina dan Israel, tetapi juga rentan disusupi oleh kepentingan pihak-pihak yang terlibat.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk memformulasikan kekuatan dan menggunakan apa yang kita miliki sebagai daya tawar untuk mengawasi proses perdamaian tersebut.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
BADAI diplomasi yang disebabkan oleh deklarasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel sedikit demi sedikit mulai mereda. Beberapa aksi unjuk rasa dari para penduduk, khususnya yang berasal dari negara-negara berpenduduk muslim, masih berlangsung meskipun massa kritis dan ekspresi untuk menunjukkan perlawanan atas keputusan AS itu telah disalurkan lewat Deklarasi “Freedom for Jerusalem” dari negara-negara anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam).
Deklarasi OKI ini memuat sejumlah sikap negara-negara berpenduduk muslim antara lain menolak dan menuntut pencabutan pernyataan sepihak Trump terkait Yerusalem sebagai ibu kota Israel, mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina, meminta PBB, Uni Eropa, dan masyarakat internasional untuk menjaga Resolusi PBB soal status Yerusalem dan beberapa pokok penting lainnya.
Saya sendiri melihat bahwa deklarasi “Pembebasan Palestina” itu masih jauh dari harapan akan adanya aliansi strategis baru yang dapat memberikan dampak jangka pendek dan jangka panjang untuk proses perdamaian di Palestina. Dunia berharap keputusan sepihak Trump dapat menjadi pemicu langkah persatuan, khususnya di kawasan negara-negara di kawasan Timur Tengah, untuk mengesampingkan perbedaan dan mendahulukan kepentingan Palestina.
Nyatanya, pertemuan OKI itu sendiri di satu sisi justru mengonfirmasi masih besarnya perpecahan di antara negara-negara pendukung Palestina merdeka. Pertemuan OKI di Turki hanya dihadiri oleh 20 kepala negara dari 57 negara anggotanya, dan selebihnya hanya diikuti pejabat setingkat menteri luar negeri seperti yang dilakukan oleh Arab Saudi sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan Timur Tengah serta Mesir yang berbatasan langsung dengan Israel.
Lemahnya persatuan negara-negara berpenduduk muslim untuk bersatu memberi tekanan kepada Israel dan AS mengondisikan sebuah fakta bahwa masa depan Palestina tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau militer. Situasi telah berubah di Timur Tengah. Kekerasan justru akan melemahkan perjuangan Palestina Merdeka karena memberikan ruang legitimasi bagi Israel yang memiliki kekuatan dan perlengkapan militer yang jauh lebih baik dari yang miliki oleh para pejuang Palestina untuk melakukan kekerasan tanpa ada bantuan dari negara-negara Arab lainnya.
Iran sebagai salah satu negara yang mampu menandingi militer Israel, khususnya dari sisi perlengkapan dan militansi, sudah menjadi musuh bersama bagi Arab Saudi dan negara lain yang berkumpul di GCC (Gulf Cooperation Council). Siapa pun dalam tubuh gerakan perjuangan Palestina yang berhubungan dengan Iran (baik Hamas, Fatah dll) harus siap-siap untuk tidak mendapat dukungan baik politik maupun keuangan dari negara GCC. Oleh sebab itu, kecil kemungkinan perlawanan bersenjata akan mampu bertahan (endure) dengan lama.
Jalan yang tersedia akhirnya hanyalah melalui perjuangan diplomasi dan dalam perjuangan ini keterlibatan negara-negara lain dan badan internasional yang memiliki pengaruh besar terutama kepada Israel dan AS menjadi sangat mutlak. Beberapa negara yang selama ini aktif antara lain Uni Eropa, Rusia, dan akhir-akhir ini adalah China. Sementara PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) adalah salah badan internasional, juga selama ini memfasilitasi perdamaian Palestina dan Israel.
Keterlibatan negara-negara tersebut menjadi signifikan saat ini, yakni pascadeklarasi Trump. Uni Eropa, Rusia, AS, dan PBB sudah lama bergabung dalam sebuah kelompok yang biasa disebut Quartet for Middle East yang mendorong proses perdamaian Palestina-Israel.
Kelompok kuartet ini berdiri untuk mencari jalan damai dalam menanggapi gerakan Intifada kedua pada 2000. Saat serangan Israel ke wilayah Palestina pada April 2002, kelompok kuartet ini bertemu di Madrid dan kembali menyerukan pelaksanaan perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh pemerintah AS. Mereka juga sepakat untuk mengubah kerja sama Quadripartite mereka menjadi sebuah forum permanen untuk menindaklanjuti proses perdamaian Israel-Palestina.
Kelompok kuartet selama ini tidak terlalu menonjol peranannya walaupun tetap aktif memfasilitasi perdamaian baik melalui bantuan keuangan dan pelatihan di Palestina dan Israel. Alasannya karena AS, terutama para presiden sebelum Trump, mendominasi proses diplomasi tingkat tinggi.
Dengan hilangnya kredibilitas AS, “tanggung jawab” proses perdamaian jatuh ke tangan Uni Eropa, karena posisi Uni Eropa yang terdiri atas 28 negara adalah mitra dagang utama bagi Israel dan bantuan keuangan terbesar juga bagi otoritas Palestina.
Menurut Dana Moneter Internasional, bantuan keuangan internasional adalah motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi di Palestina. Tingkat pengangguran telah turun saat ekonomi Gaza tumbuh 16% pada paruh pertama tahun 2010, hampir dua kali lebih cepat dari ekonomi Tepi Barat.
Rusia sendiri awalnya lebih diharapkan sebagai pihak penyeimbang AS dalam kelompok kuartet ini, karena sejak masih menjadi bergabung di Uni Soviet yang komunis, dalam sejarahnya mereka lebih berpihak kepada negara-negara Arab dan Palestina. Posisi itu sendiri tampaknya telah bergeser dengan kemenangan melawan ISIS di Suriah dan semakin menguatnya pengaruh di Timur Tengah akhir-akhir ini yang membuat Rusia semakin penting terlibat.
Negara lain yang mulai aktif terlibat dalam proses perdamaian di Palestina adalah China. Jauh sebelum deklarasi Trump, China menawarkan beberapa proposal perdamaian kepada Palestina dan Israel. Usulan proposal perdamaian China mulai dirintis terutama bersamaan dengan diproklamasikannya OBOR (One Belt One Road) alias strategi pengembangan infrastruktur China pada 2013.
Presiden China Xi Jinping mengajukan proposal empat poin perdamaian Palestina-Israel ketika Presiden Palestina Mahmoud Abbas berkunjung ke Beijing. China bahkan mengimbau masyarakat internasional pada Juni lalu untuk mengadopsi proposal tersebut dan bersedia untuk memfasilitasi perundingan segitiga Palestina-China-Israel.
Keterlibatan dan kesiapan negara-negara tersebut untuk memulai proses perdamaian di Palestina tampaknya adalah lembaran baru yang harus terus didorong. Indonesia perlu menemukan cara untuk mengawasi dan mengawal proses tersebut karena proses tersebut tidak hanya melibatkan kepentingan Palestina dan Israel, tetapi juga rentan disusupi oleh kepentingan pihak-pihak yang terlibat.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk memformulasikan kekuatan dan menggunakan apa yang kita miliki sebagai daya tawar untuk mengawasi proses perdamaian tersebut.
(poe)