Tren Pariwisata 2018
A
A
A
Sapta Nirwandar
Praktisi Dunia Pariwisata
PARIWISATA di era digital saat ini bukan lagi merupakan aktivitas ekonomi yang sederhana, tetapi sudah menjadi salah satu industri jasa raksasa dunia yang multidimensi dan berkembang sangat pesat. Bila kita simak catatan UN World Tourism Organization (WTO) pada 1950 jumlah wisman hanya 25 juta. Pada tahun 1980 menjadi 278 juta orang, pada tahun 2000 mencapai 674 juta orang, dan pada tahun 2016 sudah mencapai 1,235 miliar orang. Diperkirakan pada 2018 mencapai 1,8 miliar wisman.
Menurut lembaga penting pariwisata World Tourism Organization (WTO) dan World Travel and Tourism Council (WTTC), tren pariwisata semakin meningkat, bahkan pariwisata global tumbuh rata-rata di atas 4% per tahun. Pada 2016 Thailand pariwisatanya tumbuh 14,7 % dengan perolehan devisa mencapai USD49,9 miliar, menempati peringkat ketiga dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan Spanyol serta di atas China dan Prancis (urutan 4 dan 5), sebagai world top tourism destination.
Di ASEAN jumlah wisman Vietnam tumbuh 26%, Filipina 11%, Singapura 7%, Malaysia 4%, dan Indonesia tumbuh 15%. Di luar ASEAN seperti Korea tumbuh 30% dan Jepang 22%. Mengapa hal ini terjadi? Pariwisata dewasa ini sudah menjadi lifestyle, masyarakat rela mengubah pola konsumsinya, mengurangi belanja dan biaya hidupnya untuk berwisata. Pariwisata diyakini dapat menstimulasi kehidupan dan memberikan energi baru. Karena itu, pariwisata resilience atau mempunyai daya tahan terhadap krisis bahkan akibat gangguan keamanan.
Tumbuhnya kelas menengah yang mempunyai daya beli di negara-negara berkembang dan negara Timur Tengah seperti Meksiko, UAE, Vietnam, dan Kuwait memacu pesat pertumbuhan pariwisata global. Ditambah lagi berkembangnya air connectivity dengan model low cost carrier yang sangat kompetitif, merambah keinginan masyarakat berwisata. Belum lagi di era digital dewasa ini tumbuh sangat pesat, informasi tentang destinasi dengan mudah didapat melalui gadget seperti foto dan video di jejaring sosial. Hal ini mempermudah para wisatawan berkunjung ke suatu destinasi.
Lebih dari itu, wisatawan sudah dapat mengatur perjalanannya sendiri melalui booking online dan digital self service lain. Era digital jelas sudah mengubah wajah pariwisata dunia dan tentu Indonesia. Ke depan, peran situs-situs booking diprediksi akan semakin menguat, baik itu terkait transportasi, akomodasi, bahkan sekarang merambah ke tiket-tiket atraksi, objek wisata, tur dengan tawaran harga-harga menarik.
Economy sharing pun tak bisa dihindari. Ada segmen besar yang mendorong situs pemasar digital dengan konsep sharing seperti Airbnb terus menguat. Berbagai survei menyebutkan, pencarian informasi melalui telepon genggam sudah menjadi kebiasaan yang kian mengakar, meski cara tradisional tetap dilakukan.
Survei global Travelport menempatkan wisatawan digital Indonesia di posisi ketiga setelah India dan China. Para responden menunjukkan bahwa foto dan video menjadi alat utama yang digunakan untuk mengumpulkan informasi ketika calon wisatawan membuat rencana perjalanan. Responden juga merasa puas ketika melakukan pemesanan perjalanan secara online melalui ponsel. Disebutkan, mereka menyukai bording pass digital dan e-ticket saat memesan tiket penerbangan.
Memahami ke biasaan tersebut, tentu mau tidak mau akan mengubah cara promosi yang dilakukan pemerintah maupun industri pariwisata. Paling sederhana, ketersediaan Wi-Fi di tempat wisata, fasilitas umum, dan akomodasi menjadi hal penting dan kian berpengaruh. Lebih dari itu, industri pariwisata mau tidak mau harus mengakomodasi pembayaran secara online jika ingin meraih wisatawan digital.
Tentu itu mengubah peta pengelolaan pariwisata. Di era disrupsi ini, apakah online akan sepenuhnya menggantikan offline? jawab para ahli jelas tidak, bahkan akan terjadi pengaturan keduanya menyatu secara seamless. Apalagi di dunia pariwisata tidak dapat digambarkan dengan virtual reality karena pariwisata di samping harus dilihat dan dirasakan sehingga mempunyai pengalaman "experiencing is believing".
Lebih dari itu, pariwisata mempunyai nilai engagement yang tidak tergantikan oleh teknologi. Hal ini dapat dilihat dari laporan UN WTO 2016, pariwisata rekreasi masih mendominasi 53% dari total pasar wisata, disusul 27% visit friend and relative (VFR) dan meeting incentive convention and exhibition (MICE) 13%.
Ketiga segmen pasar ini di samping membutuhkan digital service juga membutuhkan peningkatan kreativitas dan inovasi produk dan atraksi yang ditawarkan kepada pelanggan sehingga selalu tercipta produk dan pelayanan yang prima. Destinasi serta produk pariwisata berada di daerah. Maka, selain national branding perlu diperkuat tourism destination branding sehingga tumbuh destinasi berkualitas, seperti Banyuwangi, Wakatobi, Raja Ampat, Sawah Lunto, Bintan, dan Bandung, yang proses pengembangannya relatif lebih cepat.
Memperkuat destination branding tidak saja ditujukan untuk pasar wisman, tetapi yang lebih penting adalah untuk kebutuhan wisnus yang pergerakannya lebih dari 250 juta dengan pendapat sekitar Rp223 triliun pada tahun 2016. Selain itu, wisnus juga dapat menstimulasi ekonomi lokal dan dengan penyebaran yang lebih luas. Hal ini dapat kita lihat, objek-objek wisata di daerah selalu dipenuhi dikunjungi wisatawan setempat (lokal). Apalagi bila kita kaitkan wisatawan Nusantara sebagaimana menurut Undang-Undang Kepariwisataan 2009, tidak hanya mengejar devisa PDB dan PAD, tetapi dapat menumbuhkan kecintaan terhadap alam dan budaya Indonesia (national character building).
Bagian penting dari pariwisata yang dapat menarik banyak pengunjung dalam jumlah besar adalah wisata MICE. Bahkan MICE di samping berpotensi pesertanya untuk berwisata, pengeluarannya juga relatif lebih tinggi. MICE di Thailand, Hong Kong dan Singapura tumbuh sangat pesat sebagai andalan pariwisatanya. Pada 2018, Indonesia akan menjadi tuan rumah ASIAN Games 2018 dan World Bank Group-International Monetary Fund Annual Meetings. Ini tentu akan menjadi peluang memperbesar wisman datang ke Indonesia di samping mempunyai nilai promosi yang tinggi bagi Indonesia.
Kurang lengkap bicara outlook 2018 tanpa penyinggung pariwisata bahari dan wisata halal. Kemajuan dalam wisata bahari sudah cukup baik, namun hingga dewasa ini ironisnya Indonesia sebagai negara maritim belum mempunyai integrated cruise terminal untuk kapal-kapal pesiar yang dapat mendatangkan wisatawan dalam jumlah besar dan berkualitas. Sedangkan potensi wisata halal juga sangat menjanjikan, di samping Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia, juga mempunyai sejarah yang panjang tentang dunia Islam dengan peninggalan yang kaya keanekaragaman.
Kebijakan dalam pengembangan pariwisata akan lebih cepat bila dibarengi dengan kebijakan peningkatan dan pengembangan SDM dengan dan pengorganisasian yang solid dan terukur kinerjanya. Diharapkan pada 2018 kontribusi pariwisata dalam perekonomian Indonesia dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Semoga.
Praktisi Dunia Pariwisata
PARIWISATA di era digital saat ini bukan lagi merupakan aktivitas ekonomi yang sederhana, tetapi sudah menjadi salah satu industri jasa raksasa dunia yang multidimensi dan berkembang sangat pesat. Bila kita simak catatan UN World Tourism Organization (WTO) pada 1950 jumlah wisman hanya 25 juta. Pada tahun 1980 menjadi 278 juta orang, pada tahun 2000 mencapai 674 juta orang, dan pada tahun 2016 sudah mencapai 1,235 miliar orang. Diperkirakan pada 2018 mencapai 1,8 miliar wisman.
Menurut lembaga penting pariwisata World Tourism Organization (WTO) dan World Travel and Tourism Council (WTTC), tren pariwisata semakin meningkat, bahkan pariwisata global tumbuh rata-rata di atas 4% per tahun. Pada 2016 Thailand pariwisatanya tumbuh 14,7 % dengan perolehan devisa mencapai USD49,9 miliar, menempati peringkat ketiga dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan Spanyol serta di atas China dan Prancis (urutan 4 dan 5), sebagai world top tourism destination.
Di ASEAN jumlah wisman Vietnam tumbuh 26%, Filipina 11%, Singapura 7%, Malaysia 4%, dan Indonesia tumbuh 15%. Di luar ASEAN seperti Korea tumbuh 30% dan Jepang 22%. Mengapa hal ini terjadi? Pariwisata dewasa ini sudah menjadi lifestyle, masyarakat rela mengubah pola konsumsinya, mengurangi belanja dan biaya hidupnya untuk berwisata. Pariwisata diyakini dapat menstimulasi kehidupan dan memberikan energi baru. Karena itu, pariwisata resilience atau mempunyai daya tahan terhadap krisis bahkan akibat gangguan keamanan.
Tumbuhnya kelas menengah yang mempunyai daya beli di negara-negara berkembang dan negara Timur Tengah seperti Meksiko, UAE, Vietnam, dan Kuwait memacu pesat pertumbuhan pariwisata global. Ditambah lagi berkembangnya air connectivity dengan model low cost carrier yang sangat kompetitif, merambah keinginan masyarakat berwisata. Belum lagi di era digital dewasa ini tumbuh sangat pesat, informasi tentang destinasi dengan mudah didapat melalui gadget seperti foto dan video di jejaring sosial. Hal ini mempermudah para wisatawan berkunjung ke suatu destinasi.
Lebih dari itu, wisatawan sudah dapat mengatur perjalanannya sendiri melalui booking online dan digital self service lain. Era digital jelas sudah mengubah wajah pariwisata dunia dan tentu Indonesia. Ke depan, peran situs-situs booking diprediksi akan semakin menguat, baik itu terkait transportasi, akomodasi, bahkan sekarang merambah ke tiket-tiket atraksi, objek wisata, tur dengan tawaran harga-harga menarik.
Economy sharing pun tak bisa dihindari. Ada segmen besar yang mendorong situs pemasar digital dengan konsep sharing seperti Airbnb terus menguat. Berbagai survei menyebutkan, pencarian informasi melalui telepon genggam sudah menjadi kebiasaan yang kian mengakar, meski cara tradisional tetap dilakukan.
Survei global Travelport menempatkan wisatawan digital Indonesia di posisi ketiga setelah India dan China. Para responden menunjukkan bahwa foto dan video menjadi alat utama yang digunakan untuk mengumpulkan informasi ketika calon wisatawan membuat rencana perjalanan. Responden juga merasa puas ketika melakukan pemesanan perjalanan secara online melalui ponsel. Disebutkan, mereka menyukai bording pass digital dan e-ticket saat memesan tiket penerbangan.
Memahami ke biasaan tersebut, tentu mau tidak mau akan mengubah cara promosi yang dilakukan pemerintah maupun industri pariwisata. Paling sederhana, ketersediaan Wi-Fi di tempat wisata, fasilitas umum, dan akomodasi menjadi hal penting dan kian berpengaruh. Lebih dari itu, industri pariwisata mau tidak mau harus mengakomodasi pembayaran secara online jika ingin meraih wisatawan digital.
Tentu itu mengubah peta pengelolaan pariwisata. Di era disrupsi ini, apakah online akan sepenuhnya menggantikan offline? jawab para ahli jelas tidak, bahkan akan terjadi pengaturan keduanya menyatu secara seamless. Apalagi di dunia pariwisata tidak dapat digambarkan dengan virtual reality karena pariwisata di samping harus dilihat dan dirasakan sehingga mempunyai pengalaman "experiencing is believing".
Lebih dari itu, pariwisata mempunyai nilai engagement yang tidak tergantikan oleh teknologi. Hal ini dapat dilihat dari laporan UN WTO 2016, pariwisata rekreasi masih mendominasi 53% dari total pasar wisata, disusul 27% visit friend and relative (VFR) dan meeting incentive convention and exhibition (MICE) 13%.
Ketiga segmen pasar ini di samping membutuhkan digital service juga membutuhkan peningkatan kreativitas dan inovasi produk dan atraksi yang ditawarkan kepada pelanggan sehingga selalu tercipta produk dan pelayanan yang prima. Destinasi serta produk pariwisata berada di daerah. Maka, selain national branding perlu diperkuat tourism destination branding sehingga tumbuh destinasi berkualitas, seperti Banyuwangi, Wakatobi, Raja Ampat, Sawah Lunto, Bintan, dan Bandung, yang proses pengembangannya relatif lebih cepat.
Memperkuat destination branding tidak saja ditujukan untuk pasar wisman, tetapi yang lebih penting adalah untuk kebutuhan wisnus yang pergerakannya lebih dari 250 juta dengan pendapat sekitar Rp223 triliun pada tahun 2016. Selain itu, wisnus juga dapat menstimulasi ekonomi lokal dan dengan penyebaran yang lebih luas. Hal ini dapat kita lihat, objek-objek wisata di daerah selalu dipenuhi dikunjungi wisatawan setempat (lokal). Apalagi bila kita kaitkan wisatawan Nusantara sebagaimana menurut Undang-Undang Kepariwisataan 2009, tidak hanya mengejar devisa PDB dan PAD, tetapi dapat menumbuhkan kecintaan terhadap alam dan budaya Indonesia (national character building).
Bagian penting dari pariwisata yang dapat menarik banyak pengunjung dalam jumlah besar adalah wisata MICE. Bahkan MICE di samping berpotensi pesertanya untuk berwisata, pengeluarannya juga relatif lebih tinggi. MICE di Thailand, Hong Kong dan Singapura tumbuh sangat pesat sebagai andalan pariwisatanya. Pada 2018, Indonesia akan menjadi tuan rumah ASIAN Games 2018 dan World Bank Group-International Monetary Fund Annual Meetings. Ini tentu akan menjadi peluang memperbesar wisman datang ke Indonesia di samping mempunyai nilai promosi yang tinggi bagi Indonesia.
Kurang lengkap bicara outlook 2018 tanpa penyinggung pariwisata bahari dan wisata halal. Kemajuan dalam wisata bahari sudah cukup baik, namun hingga dewasa ini ironisnya Indonesia sebagai negara maritim belum mempunyai integrated cruise terminal untuk kapal-kapal pesiar yang dapat mendatangkan wisatawan dalam jumlah besar dan berkualitas. Sedangkan potensi wisata halal juga sangat menjanjikan, di samping Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia, juga mempunyai sejarah yang panjang tentang dunia Islam dengan peninggalan yang kaya keanekaragaman.
Kebijakan dalam pengembangan pariwisata akan lebih cepat bila dibarengi dengan kebijakan peningkatan dan pengembangan SDM dengan dan pengorganisasian yang solid dan terukur kinerjanya. Diharapkan pada 2018 kontribusi pariwisata dalam perekonomian Indonesia dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Semoga.
(amm)