Korupsi Bukan Budaya, Ah
A
A
A
Moh. Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
DALAM seminar yang dipandu oleh Najwa Shihab di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (8-12-17) pekan lalu, muncul semacam kekhawatiran yang menimbulkan pesimisme terkait korupsi.
Pada seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Anti-Korupsi (PUKAT) UGM itu, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief mengatakan, sejak kecil di berbagai level warga masyarakat, kita sudah biasa dilakukan kecurangan-kecurangan tanpa beban seperti nyontek di sekolah, menembak SIM, menerobos jalan, menyuap petugas, dan sebagainya. Itu semua adalah bentuk atau sekurang-kurangnya benih korupsi.
Banyak orang yang kemudian teringat kepada apa yang pernah dikatakan oleh Mohammad Hatta bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Orang juga bisa teringat kepada apa yang pernah dikemukakan oleh Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia itu mempunyai sifat-sifat buruk yang intinya adalah koruptif.
Dengan segala hormat kepada Bung Hatta, saya sendiri tidak sependapat dengan pandangannya jika benar beliau mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya kita. Menurut saya, tidak korupsi itu menjadi budaya Indonesia dengan tiga alasan.
Pertama, yang namanya budaya itu selalu berkaitan dengan kebaikan budi. Budaya adalah hasil daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang tentu melahirkan perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Apalagi kita sudah mengklaim sendiri (bahkan sering diklaim oleh orang luar) sebagai bangsa yang mempunyai budaya adiluhung (unggul).
Bahkan di dalam tiga azimat revolusi yang dikemukakan oleh Bung Karno, bangsa Indonesia harus berkepribadian sesuai dengan budaya bangsa. Masa, Bung Karno akan menyuruh bangsa Indonesia berkepribadian korupsi? Tak mungkinlah korupsi itu menjadi budaya bangsa.
Kedua, kalau kita menganggap dan percaya bahwa korupsi merupakan bagian dari budaya maka berarti kita adalah bangsa yang pesimis dan takluk terhadap korupsi. Kalau kita percaya itu maka berati kita menganggap korupsi itu sebagai hal yang biasa dan amat sulit ditaklukkan dan diberantas, sebab yang namanya budaya itu sudah dihayati sebagai kebiasaan hidup yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad dan sulit dihentikan juga sampai berabad-abad ke depannya. Bagaimana kita akan memerangi korupsi kalau kita percaya bahwa korupsi itu budaya?
Ketiga, saya mencatat dan mempunyai hasil studi bahwa pernah dalam penggal-penggal waktu perjalanan bangsa Indonesia korupsi bisa diatasi atau diminimalisasikan melalui konfigurasi dan kebijakan-kebijakan politik tertentu. Pada awal kemerdekaan sampai menjelang tahun 1950-an, negara kita relatif bisa dengan cukup gagah memerangi korupsi.
Pada era itu, korupsi besar bisa dihitung dengan jari dan tetap mudah diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada menteri-menteri (seperti menteri agama dan menteri kehakiman) diajukan ke pengadilan dan dihukum karena tindak pidana korupsi di kala itu.
Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani pernah divonis hukuman dua bulan penjara karena sepulang dari luar negeri kedapatan membawa uang USD1.500, padahal saat itu ada kebijakan hukum bahwa untuk menjamin stabilisasi ekonomi nasional, siapa pun dilarang membawa keluar atau membawa masuk Indonesia uang yang nilainya lebih dari USD1.000. Pada waktu itu, Ruslan Abdulgani kedapatan membawa uang sebagai titipan dari temannya di luar negeri untuk disampaikan kepada seseorang di Madiun dengan identitas pengirim dan penerima yang jelas.
Namun, orang kesayangan Bung Karno ini tetap diadili, karena meskipun berniat baik menerima dan akan menyampaikan titipan, dia telah membawa uang sebesar lebih dari USD1.000. Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani diadili dan Bung Karno tidak melakukan intervensi apa pun ke pengadilan karena hal itu sudah menyangkut penegakan hukum.
Jadi pada era itu korupsi dan penegakan hukum-hukumnya benar-benar ditindak secara tegas oleh pemerintahan yang demokratis dengan pengadilan yang berintegritas. Pada masa itu, seorang anak akan merasa terus malu dan dipermalukan jika, misalnya, ketahuan mencuri pensil di sekolahnya. Agaknya susah untuk percaya jika dikatakan bahwa korupsi itu budaya kita.
Pada era 1950-an itu, di luar kasus tiga menteri yang dicontohkan di atas, memang ada juga korupsi di kalangan pegawai negeri, tetapi sebagian besar hal itu terjadi karena sangat terpaksa (by need) dan dalam jumlah sangat kecil. Pada era itu memang ada, misalnya, pegawai kantor pemerintah menjual dan membawa pulang alat-alat tulis seperti buku dan kertas, termasuk kertas koran yang kemudian dijual kiloan, karena kebutuhan dapur atau untuk keperluan biaya sekolah anaknya.
Tetapi berbeda dengan era sekarang ini yang korupsinya sudah masif dan gila-gilaan karena tamak dan rakus (by greed) dengan besaran korupsi sampai miliaran, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah. Korupsinya pun berjemaah pula.
Koruptor sekarang ini sudah kaya raya dan jika mereka pejabat semua kebutuhannya sudah dipenuhi oleh negara. Sekarang ini, berdasarkan kasus-kasus yang ada, semakin tinggi jabatannya, semakin besar pula korupsinya.
Masalahnya, mengapa ada era korupsi bisa diperangi dengan efektif dan ada era lain saat mana korupsi menjadi kanker yang menggurita seperti sekarang ini. Jika dilihat dari konfigurasi politik maka jawabannya menjadi agak sederhana, yakni korupsi bisa diperangi secara lebih efektif jika konfigurasi politik benar-benar demokratis.
Ada penilaian bahwa masifikasi dan mengguritanya korupsi pada saat ini disebabkan oleh karena bergesernya konfigurasi politik dari konfigurasi politik yang demokratis pada awal reformasi ke konfigurasi politik yang oligarkis dan poliarkis selepas periode pertama era reformasi. Alhasil, kita tidak boleh percaya bahwa korupsi itu budaya kita.
Pernyataan Bung Hatta itu harus dimaknai bahwa Sang Proklamator hanya ingin mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menyelenggarakan negara sehingga tidak lalai dan membiarkan berkembangnya korupsi.
Kalau kita percaya bahwa korupsi itu budaya kita, berarti kita adalah bangsa yang pesimistis dan takluk kepada korupsi. Padahal, korupsi itu bisa dilawan oleh hadirnya konfigurasi politik yang baik, yakni konfigurasi yang mampu membuat jaringan instrumen untuk menegakkan hukum.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
DALAM seminar yang dipandu oleh Najwa Shihab di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (8-12-17) pekan lalu, muncul semacam kekhawatiran yang menimbulkan pesimisme terkait korupsi.
Pada seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Anti-Korupsi (PUKAT) UGM itu, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief mengatakan, sejak kecil di berbagai level warga masyarakat, kita sudah biasa dilakukan kecurangan-kecurangan tanpa beban seperti nyontek di sekolah, menembak SIM, menerobos jalan, menyuap petugas, dan sebagainya. Itu semua adalah bentuk atau sekurang-kurangnya benih korupsi.
Banyak orang yang kemudian teringat kepada apa yang pernah dikatakan oleh Mohammad Hatta bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Orang juga bisa teringat kepada apa yang pernah dikemukakan oleh Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia itu mempunyai sifat-sifat buruk yang intinya adalah koruptif.
Dengan segala hormat kepada Bung Hatta, saya sendiri tidak sependapat dengan pandangannya jika benar beliau mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya kita. Menurut saya, tidak korupsi itu menjadi budaya Indonesia dengan tiga alasan.
Pertama, yang namanya budaya itu selalu berkaitan dengan kebaikan budi. Budaya adalah hasil daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang tentu melahirkan perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Apalagi kita sudah mengklaim sendiri (bahkan sering diklaim oleh orang luar) sebagai bangsa yang mempunyai budaya adiluhung (unggul).
Bahkan di dalam tiga azimat revolusi yang dikemukakan oleh Bung Karno, bangsa Indonesia harus berkepribadian sesuai dengan budaya bangsa. Masa, Bung Karno akan menyuruh bangsa Indonesia berkepribadian korupsi? Tak mungkinlah korupsi itu menjadi budaya bangsa.
Kedua, kalau kita menganggap dan percaya bahwa korupsi merupakan bagian dari budaya maka berarti kita adalah bangsa yang pesimis dan takluk terhadap korupsi. Kalau kita percaya itu maka berati kita menganggap korupsi itu sebagai hal yang biasa dan amat sulit ditaklukkan dan diberantas, sebab yang namanya budaya itu sudah dihayati sebagai kebiasaan hidup yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad dan sulit dihentikan juga sampai berabad-abad ke depannya. Bagaimana kita akan memerangi korupsi kalau kita percaya bahwa korupsi itu budaya?
Ketiga, saya mencatat dan mempunyai hasil studi bahwa pernah dalam penggal-penggal waktu perjalanan bangsa Indonesia korupsi bisa diatasi atau diminimalisasikan melalui konfigurasi dan kebijakan-kebijakan politik tertentu. Pada awal kemerdekaan sampai menjelang tahun 1950-an, negara kita relatif bisa dengan cukup gagah memerangi korupsi.
Pada era itu, korupsi besar bisa dihitung dengan jari dan tetap mudah diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada menteri-menteri (seperti menteri agama dan menteri kehakiman) diajukan ke pengadilan dan dihukum karena tindak pidana korupsi di kala itu.
Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani pernah divonis hukuman dua bulan penjara karena sepulang dari luar negeri kedapatan membawa uang USD1.500, padahal saat itu ada kebijakan hukum bahwa untuk menjamin stabilisasi ekonomi nasional, siapa pun dilarang membawa keluar atau membawa masuk Indonesia uang yang nilainya lebih dari USD1.000. Pada waktu itu, Ruslan Abdulgani kedapatan membawa uang sebagai titipan dari temannya di luar negeri untuk disampaikan kepada seseorang di Madiun dengan identitas pengirim dan penerima yang jelas.
Namun, orang kesayangan Bung Karno ini tetap diadili, karena meskipun berniat baik menerima dan akan menyampaikan titipan, dia telah membawa uang sebesar lebih dari USD1.000. Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani diadili dan Bung Karno tidak melakukan intervensi apa pun ke pengadilan karena hal itu sudah menyangkut penegakan hukum.
Jadi pada era itu korupsi dan penegakan hukum-hukumnya benar-benar ditindak secara tegas oleh pemerintahan yang demokratis dengan pengadilan yang berintegritas. Pada masa itu, seorang anak akan merasa terus malu dan dipermalukan jika, misalnya, ketahuan mencuri pensil di sekolahnya. Agaknya susah untuk percaya jika dikatakan bahwa korupsi itu budaya kita.
Pada era 1950-an itu, di luar kasus tiga menteri yang dicontohkan di atas, memang ada juga korupsi di kalangan pegawai negeri, tetapi sebagian besar hal itu terjadi karena sangat terpaksa (by need) dan dalam jumlah sangat kecil. Pada era itu memang ada, misalnya, pegawai kantor pemerintah menjual dan membawa pulang alat-alat tulis seperti buku dan kertas, termasuk kertas koran yang kemudian dijual kiloan, karena kebutuhan dapur atau untuk keperluan biaya sekolah anaknya.
Tetapi berbeda dengan era sekarang ini yang korupsinya sudah masif dan gila-gilaan karena tamak dan rakus (by greed) dengan besaran korupsi sampai miliaran, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah. Korupsinya pun berjemaah pula.
Koruptor sekarang ini sudah kaya raya dan jika mereka pejabat semua kebutuhannya sudah dipenuhi oleh negara. Sekarang ini, berdasarkan kasus-kasus yang ada, semakin tinggi jabatannya, semakin besar pula korupsinya.
Masalahnya, mengapa ada era korupsi bisa diperangi dengan efektif dan ada era lain saat mana korupsi menjadi kanker yang menggurita seperti sekarang ini. Jika dilihat dari konfigurasi politik maka jawabannya menjadi agak sederhana, yakni korupsi bisa diperangi secara lebih efektif jika konfigurasi politik benar-benar demokratis.
Ada penilaian bahwa masifikasi dan mengguritanya korupsi pada saat ini disebabkan oleh karena bergesernya konfigurasi politik dari konfigurasi politik yang demokratis pada awal reformasi ke konfigurasi politik yang oligarkis dan poliarkis selepas periode pertama era reformasi. Alhasil, kita tidak boleh percaya bahwa korupsi itu budaya kita.
Pernyataan Bung Hatta itu harus dimaknai bahwa Sang Proklamator hanya ingin mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menyelenggarakan negara sehingga tidak lalai dan membiarkan berkembangnya korupsi.
Kalau kita percaya bahwa korupsi itu budaya kita, berarti kita adalah bangsa yang pesimistis dan takluk kepada korupsi. Padahal, korupsi itu bisa dilawan oleh hadirnya konfigurasi politik yang baik, yakni konfigurasi yang mampu membuat jaringan instrumen untuk menegakkan hukum.
(poe)