AM Fatwa Politisi Super Aktif
A
A
A
Dr Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ
Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
BILA disebut nama AM Fatwa, yang akan langsung terbayangkan adalah sosok yang tidak memiliki rasa takut dan khawatir menanggung risiko. Ia telah sejak lama menjadi ikon perlawanan terhadap rezim penguasa. Sejak masih pelajar dan mahasiswa, dengan menjalani aktivisme secara serius di PII dan HMI, ia telah menunjukkan sikap kritis terhadap rezim Orde Lama.
Keberaniannya dalam melancarkan kritik terhadap kebijakan politik juga ia tunjukkan saat rezim Orde Baru mulai menjadikan Presiden Soeharto sebagai personifikasi Pancasila. Ia lalu dikenal secara luas karena menjadi Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 bersama tokoh-tokoh sosial politik yang lain. Karena sikap kritisnya itu, ia tidak hanya harus sering masuk rumah sakit, tetapi bahkan harus mendekam di balik jeruji penjara.
AM Fatwa pernah divonis hukuman penjara 18 tahun (dan dijalani efektif 9 tahun, lalu dapat amnesti, dari tuntutan seumur hidup) karena kasus Tanjung Priok, 12 September 1984 dan khutbah-khutbah politiknya yang selalu kritis terhadap rezim Orde Baru. Namun hukuman yang diterimanya tidak mengubahnya menjadi manusia penakut, juga tidak menjadikannya sebagai pendendam.
Pada saat mantan Presiden Soeharto dirawat di rumah sakit, AM Fatwa menjenguknya dan diterima dengan baik. Fatwa bahkan mencium kening penguasa yang pernah menjebloskannya ke dalam penjara itu. Ini adalah teladan yang sangat baik bagi politisi dan semua pihak bahwa pertentangan politik tidak selayaknya dan bahkan tidak boleh memutuskan hubungan sebagai sesama manusia.
Pada sisi lain dari sikap yang sangat keras itu, AM Fatwa adalah seorang yang sangat ramah dan egaliter. Tidak ada undangan yang tidak dihadirinya selagi sempat dan tidak ada orang yang terlewat dari jabat erat tangannya. Ia tidak pernah membeda-bedakan antara senior dan yunior dalam menggali gagasan-gagasan kemajuan.
Para yunior diposisikan sebagai orang-orang yang memiliki gagasan-gagasan yang diharapkan bisa mendobrak kemapanan sehingga bisa lahir berbagai kreativitas baru yang bisa memberikan harapan baru. Adapun para senior diposisikan sebagai pengingat untuk tidak mengulang kekeliruan dan kegagalan di masa lalu.
Dalam berbagai forum kajian dan diskusi, baik formal maupun informal, penghargaan AM Fatwa terhadap setiap ide sangat tampak dari bahasa tubuhnya yang sangat bersahabat. Usianya yang sudah sangat matang tidak menghalanginya sama sekali untuk duduk dan berbincang santai tentang berbagai soal keumatan dan kebangsaan di masjid setelah salat berjamaah bersama dengan para dosen muda dan mahasiswa.
AM Fatwa bisa dikatakan sebagai sosok yang lengkap karena memiliki kemampuan berpikir ideologis, berwawasan politis-strategis, bertindak taktis, dan tak segan melakukan hal-hal yang kecil dan teknis. AM Fatwa berbeda dari kebanyakan politisi yang kebanyakan hanya fasih secara lisan karena ia juga sangat fasih dalam tulisan.
Karena kebiasaannya menulis inilah kalimat-kalimat yang keluar dari AM Fatwa mudah dicerna sehingga tidak menyulitkan wartawan untuk mengutipnya secara langsung. Lebih dari itu, AM Fatwa mendapatkan penghargaan dari MURI sebagai politisi di DPR yang paling banyak menghasilkan buku.
Pemikiran dan komitmennya kepada Pancasila tampak jelas dalam pemikiran-pemikirannya, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Baginya, pernyataan penerimaan umat Islam kepada Pancasila untuk NKRI bukan hanya basa-basi atau statement politik (political statement ), tetapi benar-benar statemen ideologis (ideological statement ).
AM Fatwa merupakan figur yang membuktikan bahwa ketaatan pada Islam sama sekali tidak menghalangi untuk menerima Pancasila. Bahkan ia sering menegaskan bahwa justru karena Islamlah ia menerima Pancasila.
Konsistensi pemikirannya tampak dalam pilihan dan langkah politiknya. Dalam pergantian era Orde Baru ke reformasi, AM Fatwa menjadi salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), sebuah partai politik yang didesain sebagai partai terbuka dengan asas akhlak politik berlandaskan agama.
Di dalam partai inilah gagasan nasionalisme religius yang dimilikinya ditransformasikan. Gagasan-gagasan politiknya mendapatkan saluran dengan menjadi anggota DPR dua periode, masing-masing sebagai wakil ketua DPR RI (1999-2004) dan wakil ketua MPR RI (2004-2009).
Karena saat itu PAN mendorong sirkulasi politisi, AM Fatwa membatasi dirinya untuk tidak maju lagi menjadi anggota DPR untuk memberikan ruang kepada kader-kader partai yang lebih muda. Namun AM Fatwa juga tidak mau langsung berhenti berpolitik karena politik adalah alat perjuangan yang dianggapnya paling efektif. Pilihannya adalah beralih kamar dengan merebut posisi sebagai anggota DPD RI pada periode 2009-2014 dan 2014-2019 mewakili DKI Jakarta.
AM Fatwa tidak pernah menolak siapa pun yang ingin bertemu dan meminta bantuan yang ia mampu melakukannya. AM Fatwa merupakan tipe politisi yang tidak mau mengecewakan siapa pun yang memerlukan bantuannya walaupun untuk urusan-urusan yang sangat kecil.
Karena terlalu banyak orang yang datang, baik untuk menyampaikan aspirasi maupun karena memerlukan bantuan komunikasi dengan pihak-pihak yang bagi mereka sulit ditembus, bisa dikatakan hampir semua pejabat dan tokoh penting pernah mendapatkan kiriman pesan SMS atau WA darinya. Sebab ia memandang bahwa tidak jarang hal-hal yang sangat kecil dan dianggap sepele pada suatu saat kemudian berpengaruh sangat signifikan.
Menjelang akhir hayatnya, dia sangat getol memperjuangkan beberapa tokoh politik sebagai pahlawan nasional, di antaranya M Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara. Dan untuk melahirkan generasi pejuang di masa depan, bersama para aktivis senior dan yunior, AM Fatwa menambah lahan perjuangan dengan mengembangkan Yayasan Putra Fatahillah.
Dalam naungan yayasan ini, didirikan perguruan tinggi dengan paradigma perkaderan untuk kaum muda mahasiswa bernama Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan (STEBANK) Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara. AM Fatwa sering menyatakan harapan bahwa dari yayasan dan perguruan tinggi ini bisa lahir kader-kader muslim yang memiliki daya juang tinggi. Dengan ekonomi yang kuat, para kader akan menjadi politisi yang selesai dengan dirinya sendiri sehingga hanya fokus untuk membangun umat dan bangsa dalam NKRI.
Selamat jalan, Pak Fatwa. Semoga engkau memasuki surga Allah dengan bahagia. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ
Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
BILA disebut nama AM Fatwa, yang akan langsung terbayangkan adalah sosok yang tidak memiliki rasa takut dan khawatir menanggung risiko. Ia telah sejak lama menjadi ikon perlawanan terhadap rezim penguasa. Sejak masih pelajar dan mahasiswa, dengan menjalani aktivisme secara serius di PII dan HMI, ia telah menunjukkan sikap kritis terhadap rezim Orde Lama.
Keberaniannya dalam melancarkan kritik terhadap kebijakan politik juga ia tunjukkan saat rezim Orde Baru mulai menjadikan Presiden Soeharto sebagai personifikasi Pancasila. Ia lalu dikenal secara luas karena menjadi Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 bersama tokoh-tokoh sosial politik yang lain. Karena sikap kritisnya itu, ia tidak hanya harus sering masuk rumah sakit, tetapi bahkan harus mendekam di balik jeruji penjara.
AM Fatwa pernah divonis hukuman penjara 18 tahun (dan dijalani efektif 9 tahun, lalu dapat amnesti, dari tuntutan seumur hidup) karena kasus Tanjung Priok, 12 September 1984 dan khutbah-khutbah politiknya yang selalu kritis terhadap rezim Orde Baru. Namun hukuman yang diterimanya tidak mengubahnya menjadi manusia penakut, juga tidak menjadikannya sebagai pendendam.
Pada saat mantan Presiden Soeharto dirawat di rumah sakit, AM Fatwa menjenguknya dan diterima dengan baik. Fatwa bahkan mencium kening penguasa yang pernah menjebloskannya ke dalam penjara itu. Ini adalah teladan yang sangat baik bagi politisi dan semua pihak bahwa pertentangan politik tidak selayaknya dan bahkan tidak boleh memutuskan hubungan sebagai sesama manusia.
Pada sisi lain dari sikap yang sangat keras itu, AM Fatwa adalah seorang yang sangat ramah dan egaliter. Tidak ada undangan yang tidak dihadirinya selagi sempat dan tidak ada orang yang terlewat dari jabat erat tangannya. Ia tidak pernah membeda-bedakan antara senior dan yunior dalam menggali gagasan-gagasan kemajuan.
Para yunior diposisikan sebagai orang-orang yang memiliki gagasan-gagasan yang diharapkan bisa mendobrak kemapanan sehingga bisa lahir berbagai kreativitas baru yang bisa memberikan harapan baru. Adapun para senior diposisikan sebagai pengingat untuk tidak mengulang kekeliruan dan kegagalan di masa lalu.
Dalam berbagai forum kajian dan diskusi, baik formal maupun informal, penghargaan AM Fatwa terhadap setiap ide sangat tampak dari bahasa tubuhnya yang sangat bersahabat. Usianya yang sudah sangat matang tidak menghalanginya sama sekali untuk duduk dan berbincang santai tentang berbagai soal keumatan dan kebangsaan di masjid setelah salat berjamaah bersama dengan para dosen muda dan mahasiswa.
AM Fatwa bisa dikatakan sebagai sosok yang lengkap karena memiliki kemampuan berpikir ideologis, berwawasan politis-strategis, bertindak taktis, dan tak segan melakukan hal-hal yang kecil dan teknis. AM Fatwa berbeda dari kebanyakan politisi yang kebanyakan hanya fasih secara lisan karena ia juga sangat fasih dalam tulisan.
Karena kebiasaannya menulis inilah kalimat-kalimat yang keluar dari AM Fatwa mudah dicerna sehingga tidak menyulitkan wartawan untuk mengutipnya secara langsung. Lebih dari itu, AM Fatwa mendapatkan penghargaan dari MURI sebagai politisi di DPR yang paling banyak menghasilkan buku.
Pemikiran dan komitmennya kepada Pancasila tampak jelas dalam pemikiran-pemikirannya, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Baginya, pernyataan penerimaan umat Islam kepada Pancasila untuk NKRI bukan hanya basa-basi atau statement politik (political statement ), tetapi benar-benar statemen ideologis (ideological statement ).
AM Fatwa merupakan figur yang membuktikan bahwa ketaatan pada Islam sama sekali tidak menghalangi untuk menerima Pancasila. Bahkan ia sering menegaskan bahwa justru karena Islamlah ia menerima Pancasila.
Konsistensi pemikirannya tampak dalam pilihan dan langkah politiknya. Dalam pergantian era Orde Baru ke reformasi, AM Fatwa menjadi salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), sebuah partai politik yang didesain sebagai partai terbuka dengan asas akhlak politik berlandaskan agama.
Di dalam partai inilah gagasan nasionalisme religius yang dimilikinya ditransformasikan. Gagasan-gagasan politiknya mendapatkan saluran dengan menjadi anggota DPR dua periode, masing-masing sebagai wakil ketua DPR RI (1999-2004) dan wakil ketua MPR RI (2004-2009).
Karena saat itu PAN mendorong sirkulasi politisi, AM Fatwa membatasi dirinya untuk tidak maju lagi menjadi anggota DPR untuk memberikan ruang kepada kader-kader partai yang lebih muda. Namun AM Fatwa juga tidak mau langsung berhenti berpolitik karena politik adalah alat perjuangan yang dianggapnya paling efektif. Pilihannya adalah beralih kamar dengan merebut posisi sebagai anggota DPD RI pada periode 2009-2014 dan 2014-2019 mewakili DKI Jakarta.
AM Fatwa tidak pernah menolak siapa pun yang ingin bertemu dan meminta bantuan yang ia mampu melakukannya. AM Fatwa merupakan tipe politisi yang tidak mau mengecewakan siapa pun yang memerlukan bantuannya walaupun untuk urusan-urusan yang sangat kecil.
Karena terlalu banyak orang yang datang, baik untuk menyampaikan aspirasi maupun karena memerlukan bantuan komunikasi dengan pihak-pihak yang bagi mereka sulit ditembus, bisa dikatakan hampir semua pejabat dan tokoh penting pernah mendapatkan kiriman pesan SMS atau WA darinya. Sebab ia memandang bahwa tidak jarang hal-hal yang sangat kecil dan dianggap sepele pada suatu saat kemudian berpengaruh sangat signifikan.
Menjelang akhir hayatnya, dia sangat getol memperjuangkan beberapa tokoh politik sebagai pahlawan nasional, di antaranya M Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara. Dan untuk melahirkan generasi pejuang di masa depan, bersama para aktivis senior dan yunior, AM Fatwa menambah lahan perjuangan dengan mengembangkan Yayasan Putra Fatahillah.
Dalam naungan yayasan ini, didirikan perguruan tinggi dengan paradigma perkaderan untuk kaum muda mahasiswa bernama Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan (STEBANK) Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara. AM Fatwa sering menyatakan harapan bahwa dari yayasan dan perguruan tinggi ini bisa lahir kader-kader muslim yang memiliki daya juang tinggi. Dengan ekonomi yang kuat, para kader akan menjadi politisi yang selesai dengan dirinya sendiri sehingga hanya fokus untuk membangun umat dan bangsa dalam NKRI.
Selamat jalan, Pak Fatwa. Semoga engkau memasuki surga Allah dengan bahagia. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(maf)