Ancaman Bencana
A
A
A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
MENJELANG pengujung 2017, kewaspadaan pastilah harus ditingkatkan. Konon pada saat ini cuaca tidak menentu, curah hujan sedang tinggi. Ancaman banjir dan longsor menjadi sesuatu yang berpotensi besar terjadi. Arus sungai menjadi besar pada sejumlah tempat. Ditambah sampah yang menyertainya, luapan akan berubah menjadi bencana. Pada saat itulah, alam sedang bereaksi atas tanaman manusia yang dilakukan secara intensif sebelumnya.
Bisa jadi pemerintah tidak belajar dari pengalaman buruk yang pernah melanda negeri yang subur makmur ini. Atau mungkin informasi sesat yang berdasarkan kepentingan memerkosanya sehingga melalui informasi tersebut pejabat mengambil keputusan salah seperti Kast (1986) tuliskan. Dengan demikian, secara berantai kekeliruan dalam membuat keputusan dapat terjadi. Dampaknya kerugian bencana menjadi lebih besar ketimbang keuntungan materi yang pernah dicicipi oknum pejabat dan pengusaha serakah.
Angker
Alam sebagai ruang bagi kehidupan manusia patut dirawat ibarat rumah. Setiap ancaman kerusakan patut ditafsirkan sebagai ancaman bagi kerusakan hidup manusianya. Keangkeran alam yang dipegang teguh leluhur menjadi positif untuk menjauhkannya dari kerusakan yang ditimbulkan manusia. Namun, perkembangan nalar serta kebutuhan manusianya, persemayaman air diganggunya sejalan dengan maraknya penebangan pohon. Sejumlah tempat rindang pun diubahnya menjadi hamparan rumah. Bahkan, tetumbuhan di perbukitan pun disingkirkannya untuk peristirahatan manusia berada. Alam pun tidak lagi kuat ketika harus dilanda hujan mengguyur sehingga bebannya semakin berat untuk menahan tanah agar tidak longsor. Pantaslah jika pemerintah harus superpower agar mampu menjadi benteng pertahanan alam.
Dalam membengkaknya tekanan kebutuhan atas penggunaan lahan, pemerintah harus seperti kru pesawat ruang angkasa yang tegas mengatur ketat serta tidak membolehkan sembarangan penumpangnya berbuat serakah seperti pernah Korten (1984) sampaikan. Dengan ketegasan dan bertumpu pada keselamatan manusia dalam jangka panjang, perambah hutan, penebang pohon, serta penambang liar bahkan perizinan industri patut ditertibkan. Dalam menangani alam, pemerintah harus mampu menerjemahkan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat setempat. Demikian halnya, evaluasi atas setiap izin yang pernah diberikan pun patut terus dilakukan agar dapat sewaktu-waktu mengoreksi izinnya ketika dampak yang ditimbulkannya membahayakan manusia akibat reaksi alam.
Untuk itu, pemerintah tidak boleh segan melibatkan pikiran praktisi dan akademisi yang memiliki tanggung jawab sosial. Dengan cara seperti itu, setiap rencana yang dibuat diperhitungkan aspek tersebut agar alam tidak dikorbankan seperti Mintzberg (1992) tuliskan. Menerjemahkan kearifan lokal dalam bentuk kebijakan, perencanaan, perizinan, dan pengawasan memerlukan composure seperti Borstein (1996) tuliskan. Pencernaan makna serta hakikat konsep lokal akan dapat dipahami secara mendalam dan ditularkan secara rasional kepada siapa pun yang menjadi ruang lingkup kerjanya. Tatkala hanya menerjemahkan kata atau kalimatnya, suasana batinnya menjadi dangkal dipahaminya.
Dengan demikian, sejumlah langkah pemerintah yang berbuntut kerusakan alam bisa berangkat dari kedangkalan pemahaman konsepsi yang ada atau mungkin juga mengabaikannya karena dianggap usang. Boleh jadi seluruh program pemerintah yang berkaitan dengan perlakuan terhadap alam menjadi penting disosialisasikan terhadap stakeholder yang memahami alam sekitarnya untuk mendapat input penting dan koreksian atas kelemahannya. Input pun jangan dibiarkan menghiasi laci pejabat, atau sekadar bagian tahapan yang secara formal perlu ditempuh. Bila hal terakhir yang dilakukan, oknum pejabat seperti itu pun secara berjamaah menjadi perusak alam melalui izin atau pembiarannya.
Takhta Tatkala Dananjaya (1986) meneorikan pertarungan nilai dengan kebutuhan, hal demikian menjadi mengenai tatkala kebutuhan untuk merebut tahta menjadi tinggi. Hal yang sama pun berlaku bagi sejumlah oknum pejabat lainnya yang membutuhkan modal untuk kariernya. Dampaknya, pelacuran kekuasaan pun dapat berkembang demi setumpuk dana yang diperlukannya. Boleh jadi untuk hal seperti itu nilai hanya digunakan untuk menarik simpati warga agar dirinya dipandang sebagai manusia yang agamais. Bila semakin banyak petinggi seperti itu, tidak ubahnya seperti serigala yang berbulu domba. Bisa jadi warga mulai mengerti akan keculasan sejumlah elitenya. Hanya, kemampuan untuk menghentikannya sangat lemah. Bisa jadi karena control social dilumpuhlayukan agar keserakahan pejabatnya tidak dapat dihentikan.
Celakanya, kesadaran sejumlah pejabat atas pihak yang merengek meminta izin menggunakan alam di hulu sungai sering kali tertutupi dengan sejumlah sogokan yang membuatnya buta. Oleh sebab itu, izin menjadi langkah pertama untuk dilihat dari prosedur serta konten yang akan dilakukan atas alam yang dijadikan objeknya. Bisa jadi amdal menjadi penjaga gawang yang harus ditempatkan sebagai prasyarat penting dan bukan pelengkap agar informasi dangkal dan sesat dari peminta izin dapat dikoreksi melalui kajian tersebut. Dengan demikian, percepatan perizinan yang dicanangkan pemerintah menjadi penting untuk dikoreksi tatkala kerusakan lingkungan semakin besar.
Kerusakan DAS yang menimbulkan banjir di sejumlah tempat, tampaknya berkaitan dengan kemudahan pemberian izin atas usaha yang berdekatan dengan kerusakan alam. Pantas jika alam menjadi murka karena pengusaha dengan penguasa setali tiga uang. Jika elite pemerintah mengenal karakteristik good governance UNDP, pastilah participation dan rule of law-nya patut dikedepankan agar perusak lingkungan tidak bebas dari hukuman dan keterlibatan masyarakat untuk mengawal alam menguat. Pantas jika untuk itu diperlukan elite yang strong will dan courage seperti Snyder (1994) tawarkan.
Untuk itu, Ki Hajar Dewantara menyarankannya agar sung tulodo harus terus membengkak. Agar alam tidak mengeluarkan aura negatifnya, keteraturan hidup elite, social control harus digalakkan. Bencana yang senantiasa mengancam menjadi pelajaran berharga sebagai bukti alam bereaksi atas keserakahan segelintir manusia perkasanya.
Manajemen pemerintahan, etika, lingkungan, struktur organisasi serta kinerja pemerintahan seperti Keban (2008) sampaikan patut dibenahi agar keramahan manusia terhadap alam menimbulkan kenyamanan hidup bagi manusianya. Pelestarian alam di hulu sungai dan perawatan hutan lindungnya bisa jadi bagian penting dari keramahan tersebut agar alam membalasnya dengan sejumlah kebaikan bagi manusia di lingkungan sekitarnya. Bila tidak, bakal banyak anggota tubuh alam yang protes atas perlakuan yang keterlaluan dan mengancam manusia melalui bencana.
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
MENJELANG pengujung 2017, kewaspadaan pastilah harus ditingkatkan. Konon pada saat ini cuaca tidak menentu, curah hujan sedang tinggi. Ancaman banjir dan longsor menjadi sesuatu yang berpotensi besar terjadi. Arus sungai menjadi besar pada sejumlah tempat. Ditambah sampah yang menyertainya, luapan akan berubah menjadi bencana. Pada saat itulah, alam sedang bereaksi atas tanaman manusia yang dilakukan secara intensif sebelumnya.
Bisa jadi pemerintah tidak belajar dari pengalaman buruk yang pernah melanda negeri yang subur makmur ini. Atau mungkin informasi sesat yang berdasarkan kepentingan memerkosanya sehingga melalui informasi tersebut pejabat mengambil keputusan salah seperti Kast (1986) tuliskan. Dengan demikian, secara berantai kekeliruan dalam membuat keputusan dapat terjadi. Dampaknya kerugian bencana menjadi lebih besar ketimbang keuntungan materi yang pernah dicicipi oknum pejabat dan pengusaha serakah.
Angker
Alam sebagai ruang bagi kehidupan manusia patut dirawat ibarat rumah. Setiap ancaman kerusakan patut ditafsirkan sebagai ancaman bagi kerusakan hidup manusianya. Keangkeran alam yang dipegang teguh leluhur menjadi positif untuk menjauhkannya dari kerusakan yang ditimbulkan manusia. Namun, perkembangan nalar serta kebutuhan manusianya, persemayaman air diganggunya sejalan dengan maraknya penebangan pohon. Sejumlah tempat rindang pun diubahnya menjadi hamparan rumah. Bahkan, tetumbuhan di perbukitan pun disingkirkannya untuk peristirahatan manusia berada. Alam pun tidak lagi kuat ketika harus dilanda hujan mengguyur sehingga bebannya semakin berat untuk menahan tanah agar tidak longsor. Pantaslah jika pemerintah harus superpower agar mampu menjadi benteng pertahanan alam.
Dalam membengkaknya tekanan kebutuhan atas penggunaan lahan, pemerintah harus seperti kru pesawat ruang angkasa yang tegas mengatur ketat serta tidak membolehkan sembarangan penumpangnya berbuat serakah seperti pernah Korten (1984) sampaikan. Dengan ketegasan dan bertumpu pada keselamatan manusia dalam jangka panjang, perambah hutan, penebang pohon, serta penambang liar bahkan perizinan industri patut ditertibkan. Dalam menangani alam, pemerintah harus mampu menerjemahkan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat setempat. Demikian halnya, evaluasi atas setiap izin yang pernah diberikan pun patut terus dilakukan agar dapat sewaktu-waktu mengoreksi izinnya ketika dampak yang ditimbulkannya membahayakan manusia akibat reaksi alam.
Untuk itu, pemerintah tidak boleh segan melibatkan pikiran praktisi dan akademisi yang memiliki tanggung jawab sosial. Dengan cara seperti itu, setiap rencana yang dibuat diperhitungkan aspek tersebut agar alam tidak dikorbankan seperti Mintzberg (1992) tuliskan. Menerjemahkan kearifan lokal dalam bentuk kebijakan, perencanaan, perizinan, dan pengawasan memerlukan composure seperti Borstein (1996) tuliskan. Pencernaan makna serta hakikat konsep lokal akan dapat dipahami secara mendalam dan ditularkan secara rasional kepada siapa pun yang menjadi ruang lingkup kerjanya. Tatkala hanya menerjemahkan kata atau kalimatnya, suasana batinnya menjadi dangkal dipahaminya.
Dengan demikian, sejumlah langkah pemerintah yang berbuntut kerusakan alam bisa berangkat dari kedangkalan pemahaman konsepsi yang ada atau mungkin juga mengabaikannya karena dianggap usang. Boleh jadi seluruh program pemerintah yang berkaitan dengan perlakuan terhadap alam menjadi penting disosialisasikan terhadap stakeholder yang memahami alam sekitarnya untuk mendapat input penting dan koreksian atas kelemahannya. Input pun jangan dibiarkan menghiasi laci pejabat, atau sekadar bagian tahapan yang secara formal perlu ditempuh. Bila hal terakhir yang dilakukan, oknum pejabat seperti itu pun secara berjamaah menjadi perusak alam melalui izin atau pembiarannya.
Takhta Tatkala Dananjaya (1986) meneorikan pertarungan nilai dengan kebutuhan, hal demikian menjadi mengenai tatkala kebutuhan untuk merebut tahta menjadi tinggi. Hal yang sama pun berlaku bagi sejumlah oknum pejabat lainnya yang membutuhkan modal untuk kariernya. Dampaknya, pelacuran kekuasaan pun dapat berkembang demi setumpuk dana yang diperlukannya. Boleh jadi untuk hal seperti itu nilai hanya digunakan untuk menarik simpati warga agar dirinya dipandang sebagai manusia yang agamais. Bila semakin banyak petinggi seperti itu, tidak ubahnya seperti serigala yang berbulu domba. Bisa jadi warga mulai mengerti akan keculasan sejumlah elitenya. Hanya, kemampuan untuk menghentikannya sangat lemah. Bisa jadi karena control social dilumpuhlayukan agar keserakahan pejabatnya tidak dapat dihentikan.
Celakanya, kesadaran sejumlah pejabat atas pihak yang merengek meminta izin menggunakan alam di hulu sungai sering kali tertutupi dengan sejumlah sogokan yang membuatnya buta. Oleh sebab itu, izin menjadi langkah pertama untuk dilihat dari prosedur serta konten yang akan dilakukan atas alam yang dijadikan objeknya. Bisa jadi amdal menjadi penjaga gawang yang harus ditempatkan sebagai prasyarat penting dan bukan pelengkap agar informasi dangkal dan sesat dari peminta izin dapat dikoreksi melalui kajian tersebut. Dengan demikian, percepatan perizinan yang dicanangkan pemerintah menjadi penting untuk dikoreksi tatkala kerusakan lingkungan semakin besar.
Kerusakan DAS yang menimbulkan banjir di sejumlah tempat, tampaknya berkaitan dengan kemudahan pemberian izin atas usaha yang berdekatan dengan kerusakan alam. Pantas jika alam menjadi murka karena pengusaha dengan penguasa setali tiga uang. Jika elite pemerintah mengenal karakteristik good governance UNDP, pastilah participation dan rule of law-nya patut dikedepankan agar perusak lingkungan tidak bebas dari hukuman dan keterlibatan masyarakat untuk mengawal alam menguat. Pantas jika untuk itu diperlukan elite yang strong will dan courage seperti Snyder (1994) tawarkan.
Untuk itu, Ki Hajar Dewantara menyarankannya agar sung tulodo harus terus membengkak. Agar alam tidak mengeluarkan aura negatifnya, keteraturan hidup elite, social control harus digalakkan. Bencana yang senantiasa mengancam menjadi pelajaran berharga sebagai bukti alam bereaksi atas keserakahan segelintir manusia perkasanya.
Manajemen pemerintahan, etika, lingkungan, struktur organisasi serta kinerja pemerintahan seperti Keban (2008) sampaikan patut dibenahi agar keramahan manusia terhadap alam menimbulkan kenyamanan hidup bagi manusianya. Pelestarian alam di hulu sungai dan perawatan hutan lindungnya bisa jadi bagian penting dari keramahan tersebut agar alam membalasnya dengan sejumlah kebaikan bagi manusia di lingkungan sekitarnya. Bila tidak, bakal banyak anggota tubuh alam yang protes atas perlakuan yang keterlaluan dan mengancam manusia melalui bencana.
(mhd)