Ancaman Bencana

Kamis, 14 Desember 2017 - 07:20 WIB
Ancaman Bencana
Ancaman Bencana
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad

MENJELANG pengujung 2017, kewaspadaan pastilah harus diting­katkan. Konon pada saat ini cuaca tidak menentu, curah hujan sedang tinggi. Ancaman banjir dan longsor menjadi sesuatu yang berpotensi besar terjadi. Arus sungai menjadi besar pada sejumlah tempat. Ditambah sam­pah yang me­nyertainya, luapan akan ber­ubah menjadi bencana. Pada saat itulah, alam sedang be­reaksi atas tanaman manusia yang dilakukan secara intensif sebelumnya.

Bisa jadi pemerintah tidak belajar dari pengalaman buruk yang pernah melanda negeri yang subur makmur ini. Atau mungkin informasi sesat yang berdasarkan kepentingan me­merkosanya sehingga melalui informasi tersebut pejabat mengambil keputusan salah seperti Kast (1986) tuliskan. Dengan demikian, secara be­rantai kekeliruan dalam mem­buat keputusan dapat terjadi. Dampaknya kerugian bencana menjadi lebih besar ketimbang keuntungan materi yang per­nah dicicipi oknum pejabat dan pengusaha serakah.

Angker
Alam sebagai ruang bagi ke­hidupan manusia patut di­rawat ibarat rumah. Setiap ancaman kerusakan patut ditafsirkan se­bagai ancaman bagi kerusakan hidup manusianya. Keangker­an alam yang dipegang teguh leluhur menjadi positif untuk menjauhkannya dari kerusak­an yang ditimbulkan manusia. Namun, perkembangan nalar serta kebutuhan manusianya, persemayaman air di­gang­gu­nya sejalan dengan maraknya penebangan pohon. Sejumlah tempat rindang pun diubahnya menjadi hamparan rumah. Bah­kan, tetumbuhan di perbukitan pun disingkirkannya untuk peristirahatan manusia berada. Alam pun tidak lagi kuat ketika harus dilanda hujan mengguyur sehingga bebannya semakin berat untuk menahan tanah agar tidak longsor. Pantaslah jika pemerintah harus super­power agar mampu menjadi benteng pertahanan alam.

Dalam mem­beng­kak­nya te­kan­an ke­butuh­an atas peng­guna­an lahan, pemerintah harus seperti kru pe­sawat ruang angkasa yang tegas mengatur ke­tat serta tidak mem­boleh­kan sembarangan pe­num­pang­nya berbuat sera­kah se­perti per­nah Korten (1984) sam­pai­kan. De­ngan ketegas­an dan bertumpu pada kesela­mat­an manusia da­lam jangka panjang, perambah hutan, pe­nebang pohon, serta penam­bang liar bahkan per­izinan in­dustri patut ditertib­kan. Dalam menangani alam, pemerintah harus mampu me­nerjemahkan kearifan lokal yang berkembang di masya­ra­kat setempat. Demi­kian hal­nya, evaluasi atas setiap izin yang pernah diberikan pun patut terus dilakukan agar dapat se­waktu-waktu me­ngoreksi izinn­ya ketika dampak yang di­timbulkannya mem­bahayakan manusia akibat reaksi alam.

Untuk itu, pemerintah tidak boleh segan melibatkan pikiran praktisi dan akademisi yang memiliki tanggung jawab sosial. Dengan cara seperti itu, setiap rencana yang dibuat diper­hitungkan aspek tersebut agar alam tidak dikorbankan seperti Mintzberg (1992) tuliskan. Menerjemahkan kearifan lokal dalam bentuk kebijakan, peren­canaan, perizinan, dan peng­awasan memerlukan composure seperti Borstein (1996) tulis­kan. Pencernaan makna serta hakikat konsep lokal akan dapat dipahami secara mendalam dan ditularkan secara rasional kepada siapa pun yang menjadi ruang lingkup kerjanya. Tatkala hanya menerjemahkan kata atau kalimatnya, suasana batin­nya menjadi dangkal di­pahaminya.

Dengan demikian, sejumlah langkah pemerintah yang ber­buntut kerusakan alam bisa be­rangkat dari kedangkalan pe­ma­haman konsepsi yang ada atau mungkin juga mengabai­kan­nya karena dianggap usang. Boleh jadi seluruh program pemerintah yang berkaitan de­ngan perlakuan terhadap alam menjadi penting disosiali­sasi­kan terhadap stakeholder yang me­mahami alam sekitarnya untuk mendapat input penting dan koreksian atas kelemah­an­nya. Input pun jangan dibiarkan menghiasi laci pejabat, atau sekadar bagian tahapan yang secara formal perlu ditempuh. Bila hal terakhir yang dilaku­kan, oknum pejabat seperti itu pun secara berjamaah menjadi perusak alam melalui izin atau pembiarannya.

Takhta Tatkala Dananjaya (1986) meneorikan per­tarung­an nilai dengan kebutuhan, hal demikian menjadi mengenai tatkala kebutuhan untuk merebut tahta menjadi tinggi. Hal yang sama pun berlaku bagi sejumlah oknum pejabat lain­nya yang membutuhkan modal untuk kariernya. Dampaknya, pelacuran kekuasaan pun dapat berkembang demi setumpuk dana yang diperlukannya. Boleh jadi untuk hal seperti itu nilai hanya digunakan untuk menarik simpati warga agar diri­nya dipandang se­bagai ma­nusia yang aga­mais. Bila se­makin ba­nyak pe­tinggi seperti itu, tidak ubahnya seperti seri­gala yang berbulu domba. Bisa jadi warga mulai mengerti akan ke­culasan sejumlah elitenya. Hanya, kemampuan untuk meng­hentikannya sangat lemah. Bisa jadi karena control social dilumpuhlayukan agar keserakahan pejabatnya tidak dapat dihentikan.

Celakanya, kesadaran se­jum­lah pejabat atas pihak yang merengek meminta izin meng­gunakan alam di hulu sungai sering kali tertutupi dengan se­jumlah sogokan yang mem­buatnya buta. Oleh sebab itu, izin menjadi langkah pertama untuk dilihat dari prosedur serta konten yang akan dilaku­kan atas alam yang dijadikan objeknya. Bisa jadi amdal men­jadi penjaga gawang yang harus ditempatkan sebagai prasyarat penting dan bukan pelengkap agar informasi dangkal dan sesat dari peminta izin dapat di­koreksi melalui kajian tersebut. Dengan demikian, percepatan perizinan yang dicanangkan pemerintah menjadi penting untuk dikoreksi tatkala ke­rusak­an lingkungan semakin besar.

Kerusakan DAS yang me­nimbulkan banjir di sejumlah tempat, tampaknya berkaitan dengan kemudahan pemberian izin atas usaha yang berdekatan dengan kerusakan alam. Pan­tas jika alam menjadi murka ka­rena pengusaha dengan pe­nguasa setali tiga uang. Jika elite pe­me­rintah mengenal karakteristik good governance UNDP, pastilah participation dan rule of law-nya patut di­ke­depankan agar pe­rusak ling­kungan tidak bebas dari hu­kum­an dan keterlibatan ma­sya­rakat untuk mengawal alam menguat. Pantas jika untuk itu diperlukan elite yang strong will dan courage seperti Snyder (1994) tawarkan.

Untuk itu, Ki Hajar Dewantara menyarankannya agar sung tulodo harus terus membengkak. Agar alam tidak mengeluarkan aura negatifnya, keteraturan hidup elite, social control harus digalakkan. Bencana yang se­nan­tiasa mengancam menjadi pelajaran berharga sebagai bukti alam bereaksi atas kese­rakahan segelintir manusia perkasanya.

Manajemen pemerintahan, etika, lingkungan, struktur orga­nisasi serta kinerja peme­rintahan seperti Keban (2008) sampaikan patut dibenahi agar keramahan manusia terhadap alam menimbulkan ke­nya­man­­an hidup bagi manusia­nya. Pelestarian alam di hulu sungai dan perawatan hutan lin­dung­nya bisa jadi bagian pen­ting dari keramahan ter­sebut agar alam membalasnya dengan sejumlah kebaikan bagi manusia di ling­kungan se­kitar­nya. Bila tidak, bakal banyak anggota tubuh alam yang protes atas perlakuan yang keterlaluan dan meng­ancam manusia me­lalui bencana.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0791 seconds (0.1#10.140)