Hari Nusantara dan Poros Maritim Dunia

Rabu, 13 Desember 2017 - 02:59 WIB
Hari Nusantara dan Poros...
Hari Nusantara dan Poros Maritim Dunia
A A A
Prof Dr Rokhmin Dahuri, MS
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Ketua Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia

KENDATI Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 sangat penting bagi kejayaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, kita baru memperingatinya sejak Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tepatnya 13 Desember 2000. Kemudian melalui Keppres Nomor 126/2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember sebagai Hari Nasional, yang diperingati setiap tahun.

Tanpa Deklarasi Juanda, potensi kekayaan laut Indonesia hanya sekitar 1/3 dari potensi yang kita miliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau kita. Artinya, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional), yang memisahkan satu pulau dengan lainnya, memisahkan kita. Kondisi semacam itu berarti ancaman bagi persatuan dan kesatuan NKRI.

Kita patut bersyukur bahwa Ir H Juanda, perdana manteri pada waktu itu, dengan berani pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas itu, seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939 . Wilayah laut Indonesia termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Deklarasi Juanda tidak langsung diterima oleh masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat dan Australia menentangnya. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi oleh para penerusnya seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr Hasyim Djalal, deklarasi yang berisikan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state ) tersebut diterima oleh masyarakat dunia, dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea, UNCLOS) 1982.

***
Kini Indonesia memiliki wilayah laut (termasuk ZEEI) sangat luas, sekitar 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat 17.504 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Di sinilah Deklarasi Juanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat mendasar bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia. Sebagai generasi penerus, kita harus bisa memaksimalkan apa yang kita punya untuk kemakmuran bangsa.

Salah satu gagasan cemerlang Presiden Jokowi yang mendapat dukungan publik dengan penuh antusiasme adalah tekadnya untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yakni sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim. Selain itu, Indonesia kelak diharapkan menjadi rujukan (role model ) bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance ).

Pada dasarnya ada lima kelompok kebijakan dan program pembangunan utama yang mesti dikerjakan: (1) penegakan kedaulatan, termasuk penuntasan batas wilayah laut dengan negara-negara tetangga, pemberantasan illegal fishing dan berbagai kegiatan ilegal lainnya; (2) pembangunan ekonomi kelautan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi berkeadilan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan; (3) memelihara kelestarian SDA dan lingkungan kelautan; (4) pengembangan kapasitas SDM, iptek, dan inovasi kelautan; dan (5) peningkatan budaya maritim bangsa.

Mengacu pada definisi tentang PMD dan kebijakan serta program yang seharusnya dikerjakan pemerintah di atas, yang sudah mulai terlihat nyata adalah aspek penegakan kedaulatan berupa penenggelaman kapal ikan ilegal, pemberantasan illegal fishing , dan moratorium eks kapal asing. Dan, aspek konservasi berupa pelarangan memperjualbelikan kepiting, lobster, dan biota laut lain dalam ukuran tertentu; dan larangan penggunaan alat penangkapan ikan berupa pukat hela dan pukat tarik, termasuk cantrang.

Sayang, kebijakan itu tidak didahului dengan sosialisasi dan penyiapan alternatif solusinya sehingga kebijakan tersebut justru menyulut gelombang demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di mana-mana. Akibatnya, ratusan ribu nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, dan Bitung) mengalami mati suri, ribuan ton kerapu dan kepiting soka tidak terjual dan mati membusuk, impor berbagai jenis ikan meningkat, nilai ekspor menurun drastis, dan sejumlah dampak negatif lainnya.

Agaknya kita harus segera sadar, aspek pembangunan ekonomi kelautan, peningkatan daya saing, dan kesejahteraan nelayan serta masyarakat kelautan lainnya belum mendapatkan perhatian yang memadai. Bahkan, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagian besar justru menghancurkan ekonomi perikanan, dan menyengsarakan nelayan, pembudi daya ikan, pengusaha pengolahan hasil perikanan, dan pedagang perikanan.

Padahal, sejatinya aspek pembangunan ekonomi ini yang harus diprioritaskan dan pertama dikerjakan. Pasalnya, masalah utama bangsa saat ini adalah soal tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat lebar, malanutirisi dan gizi buruk akibat rendahnya kedaulatan pangan, daya saing dan Indeks Pembangunan Manusia yang rendah. Buruknya implementasi pembangunan ekonomi kelautan itu ditengarai turut mengakibatkan terkendalanya pertumbuhan ekonomi nasional, yang rata-rata hanya 5% per tahun dalam tiga tahun terakhir, jauh dari target Kabinet Kerja yang telah mematok 7% per tahun.

Menyadari kemudaratan yang diakibatkan oleh kebijakan dan regulasi dari KKP tersebut, Presiden Jokowi telah menerbitkan Inpres Nomor 7/2016 dan Keppres Nomor 3/2017 tentang Percepatan Industrialisasi Perikanan Nasional. Pada intinya kebijakan tersebut menginstruksikan KKP dan kementerian terkait untuk merevisi seluruh kebijakannya yang menghambat investasi dan usaha di bidang perikanan tangkap, perikanan budi daya, dan industri pengolahan serta perdagangan hasil perikanan. Namun, hingga kini KKP belum melaksanakan inpres dan keppres tersebut sebagaimana mestinya.

Karena itu, peringatan Hari Nusantara pada 13 Desember tahun ini harus dijadikan momentum untuk meluruskan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan di bidang kemaritiman. Dari pola pembangunan yang terlalu dominan pada penegakan hukum dan konservasi yang "membabi buta" ke pola pembangunan kelautan berkelanjutan (sustainable maritime development ). Suatu pola pembangunan untuk meningkatkan daya saing bangsa, pertumbuhan ekonomi berkeadilan, dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, tanpa mengorbankan kelestarian SDA dan lingkungan serta kedaulatan NKRI.

***
Industri pengolahan hasil perikanan harus terus diperkuat dan dikembangkan melalui peningkatan kualitas produk, diversifikasi produk olahan, dan sertifikasi produk sesuai persyaratan pasar domestik maupun global. Setiap pabrik harus bermitra dengan produsen komoditas perikanan, baik nelayan maupun pembudi daya secara saling menguntungkan. Pasar domestik maupun ekspor untuk produk perikanan harus terus dikembangkan. Demikian juga halnya dengan sistem transportasi dan logistik perikanan nasional.

Kinerja sektor pariwisata bahari yang sudah baik harus terus ditingkatkan melalui revitalisasi seluruh destinasi wisata bahari yang ada, pengembangan destinasi baru, product development , peningkatan aksesabilitas, perbaikan dan pengembangan infrastruktur dan sarana di daerah destinasi; peningkatan kapasitas dan kualitas SDM, termasuk masyarakat lokal agar kondusif terhadap kedatangan wisatawan nasional maupun asing; dan promosi serta pemasaran di dalam dan luar negeri.

Program pembangunan tol laut yang mencakup pengembangan pelabuhan dan kapal angkut harus dibarengi dengan pembangunan kawasan-kawasan industri dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa. Khususnya di wilayah pesisir di sepanjang ALKI-I, II, dan III. Selain untuk mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah, program ini juga krusial untuk mengapitalisasi posisi geoekonomi Indonesia yang sangat strategis di jantung perdagangan (rantai suplai) global.

Industri bioteknologi kelautan juga bisa kita kembangkan sebagai sumber pertumbuhan baru. Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi dari industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Sektor industri dan jasa maritim yang sudah ada, seperti galangan kapal, pabrik jaring, dan kabel optik harus terus ditingkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saingnya. Pada saat yang sama, kita kembangkan industri dan jasa maritim lain, yang selama ini kita impor seperti kincir air tambak, mesin dan peralatan kapal, mesin dan peralatan pelabuhan, perangkat lunak manajemen pelabuhan, perangkat lunak prakiraan cuaca, dan coastal and ocean engineering . Selain itu, industri dan jasa maritim baru berbasis SDA kelautan nonkonvensional juga mesti kita kembangkan.

Untuk menjalankan agenda pembangunan kelautan di atas, kita tingkatkan kualitas SDM kelautan yang ada melalui pelatihan dan magang di berbagai SMK dan politeknik kelautan, balai latihan kerja, dan perusahaan industri kelautan yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Dalam jangka panjang, kita perkuat dan kembangkan sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, serta R&D untuk menyiapkan SDM berkualitas dan menghasilkan inovasi teknologi kelautan.

Kini saatnya, pemerintah menyediakan skema kredit perbankan khusus dengan suku bunga dan persyaratan pinjam yang relatif murah dan lunak untuk sektor-sektor ekonomi kelautan, seperti yang dilakukan untuk perkebunan dan industri sawit sejak Orba yang terbukti sukses. Selain itu, iklim investasi, kemudahan berbisnis, kebijakan fiskal dan moneter, dan kebijakan politik-ekonomi pun harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan di seluruh wilayah NKRI.

Dengan mengimplementasikan roadmap pembangunan kelautan di atas secara berkesinambungan, pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan dan 2019 niscaya akan mencapai 6-7%, dan pada 2030 Indonesia bakal menjadi Poros Maritim Dunia yang maju, adil, makmur, dan berdaulat.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0743 seconds (0.1#10.140)