Anak Muda di Partai Politik, Kenapa Tidak?
A
A
A
Dito Ariotedjo
Ketua Umum Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI)
AGAK sulit membayangkan demokrasi tanpa kehadiran partai politik. Setidaknya, dalam tataran teori politik, belum ada alternatif yang pas untuk meramu representasi politik selain dengan campur tangan partai. Representasi regional, yang kemudian terangkum ke dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD) misalnya, ternyata memiliki keterbatasan dalam hal wewenang. Itu pun hanya berlaku di pusat, bukan di daerah. Perwakilan-perwakilan rakyat di parlemen daerah praksis hanya diisi oleh wakil-wakil partai.
Karena itu, anak muda yang secara politik berpreferensi kepada demokrasi (keterbukaan, akuntabilitas publik, kebebasan, dan lain-lain), jika ingin secara nyata mengabdi untuk memperbaiki demokrasi, jalur partai adalah salah satu opsi yang mungkin dan layak. Kurang responsifnya partai-partai terhadap preferensi dan kepentingan politik anak muda, boleh jadi salah satunya memang karena anak muda kurang bersemangat untuk berjuang di dalam tubuh partai.
Sekalipun media sosial bisa diandalkan untuk beraspirasi, toh sampai hari ini partai tetap pada fungsinya sebagai salah satu penopang sistem politik yang demokratis. Dengan kata lain, sosial media bisa menjadi wadah beraspirasi, tapi agak sulit untuk menjadi tangga untuk melakukan aksi nyata. Faktanya, di dalam partailah kader-kader ditempa menjadi wakil-wakil pemilih. Dan di dalam partai pula, para kader bisa memengaruhi gerak langkah partai tersebut, baik dengan bersuara lantang di setiap pertemuan, atau dengan melibatkan diri di dalam kontestasi kepengurusan partai, lalu ikut duduk di tampuk pimpinan partai untuk menularkan ide-ide perubahan agar menjadi kebijakan partai.
Dengan kata lain, jika anak muda memandang partai dengan cara yang skeptis, sarang koruptor, sarang nepotisme, dan sejenisnya, kemudian ternyata hanya partai yang masih bisa diandalkan untuk menghasilkan kader-kader yang akan menjadi wakil rakyat dan pejabat publik, maka tak ada alasan bagi anak muda untuk melakukan perubahan dan reformasi sistem politik secara signifikan, tanpa melibatkan partai. Apatisme tak akan menjawab banyak persoalan yang dikeluhkan oleh anak muda. Bahkan, mendulang sukses di dunia yang jauh dari politik pun, pada akhirnya membutuhkan sentuhan politik agar sistem yang ada bisa bergerak lebih responsif terhadap kepentingan anak muda.
Saya kira, anak-anak muda yang berhasil mendulang sukses di partai politik, berhasil menularkan semangat baru dan ikut menelurkan berbagai perubahan di dalamnya, akan sangat berpotensi untuk menebar inspirasi kepada banyak anak muda lain. Pesan yang harus dibangun adalah bahwa berpolitik bisa dilakukan dengan jujur, mekanisme politik di dalam partai bisa dipengaruhi dengan cara ikut terlibat di dalamnya, dan wajah partai yang masih bopeng-bopeng di mata anak muda masih bisa diperbaiki, demi kelangsungan demokrasi ke depan.
Soekarno, yang kala itu masih sangat muda, menjadi semakin berbahaya setelah mendirikan Partai Nasional Indonesia dan Partindo. Bung Hatta menjadi semakin menggigit di era menjelang kemerdekaan, selain tintanya yang tajam di media-media, juga karena mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Bahkan mereka berhasil memosisikan diri dan partainya pada barisan yang benar-benar baru ketika itu, yakni barisan non cooperation alias tidak bekerja sama dengan Belanda, bahkan menolak kehadiran Volkstraad.
Bukankah kita memang merindukan sosok-sosok yang demikian muda, ikut berjuang bersama partai, ikut memengaruhi sikap-sikap partai, kemudian berbuat sesuatu yang besar untuk Indonesia, untuk segenap masyarakat pemilih, dan untuk masa depan generasi-generasi selanjutnya? Saya secara pribadi justru sangat berharap akan banyak anak muda yang semakin skeptis dengan partai politik di satu sisi, di sisi lain malah semakin getol pula berjuang memperbaikinya dari dalam. Tak salah rasanya harapan ini jika kita benturkan dengan tesis awal tadi, bahwa mustahil rasanya berdemokrasi tanpa partai politik.
Dengan semangat baru, energi yang jauh lebih kuat, serta spirit yang berkobar-kobar, partai akan mendapat darah baru untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Partai akan semakin energik dalam menopang demokrasi, mengagregasi dan mengalirkan aspirasi publik ke forum pengambil kebijakan, menularkan pendidikan politik kebangsaan kepada publik dan kader-kader, dan terus-menerus ikut menyegarkan politik Indonesia dari waktu ke waktu. Anak muda di dalam partai akan menjadi warning bagi generasi-generasi di atasnya untuk terus beradaptasi dengan zaman, untuk terus mengingat bahwa regenerasi adalah keniscayaan, untuk terus menyimpan pandangan bahwa kekuasaan yang berlebihan tidak baik untuk demokrasi, dan lain-lain.
Masalahnya, jika anak muda lebih mengedepankan ego skeptisismenya terhadap partai politik di satu sisi, tapi sangat berpreferensi terhadap demokrasi di sisi lain, maka proses politik akan pindah ke arena yang lain, katakan saja arena media sosial dan sejenisnya. Anak muda akan terjauhkan dari proses institusionalisasi politik demokratis. Bakat-bakat politik akan bertebaran secara cuma-cuma di tempat yang tak semestinya. Nah, ikut berjuang di partai politik adalah ikut beraksi, ikut ambil bagian, dan ikut menentukan sikap aksi di dalam gelora perubahan, dengan cara-cara yang sesuai, termasuk menggunakan sosial media.
Boleh jadi pada awalnya mendapat banyak tantangan, halangan, ataupun godaan, tapi itulah bagian dari perjuangan. Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, dan banyak lagi, berani membayarnya dengan penjara dan diasingkan ke berbagai pelosok. Jika konsistensi untuk melakukan perubahan memang teruji dan tak perlu diragukan lagi, maka hasilnya lambat laun akan terlihat juga. Fakta historisnya bahwa waktu terus berputar, generasi terus berganti, isu baru dan lama terus muncul dan tenggelam, dan waktu itu akan datang.
Bukankah kata-kata bijaknya berbunyi, "setiap manusia ada masanya"? Maka yakinlah, jika terus konsisten berjuang, masa itu akan datang. Anak muda akan mendapat gelanggang juga. Mimpi dan aspirasinya akan mendapat balasan setimpal. Dan karena proses itulah Indonesia tetap ada. Generasi-generasi baru dengan gembira menyambut estafet-estafet kepemimpinan yang ada dan partai yang baik, yang lurus, yang terus diperjuangkan untuk lurus oleh generasi-generasi muda baru di dalamnya akan melahirkan penerus-penerus estafet itu.
Jika masa depan demokrasi ada di tangan anak muda, maka masa depan partai pun demikian, maka tak ada salahnya partai-partai merangkul generasi-generasi baru di satu sisi. Di sisi lain, tak ada salahnya pula generasi-generasi baru mulai melirik partai sebagai wadah perjuangan untuk memperbaiki demokrasi dan membenahi segala sesuatu yang dibutuhkan di negeri ini. Negeri ini tak perlu lagi menyaksikan titik krisis pertentangan orde dan generasi dalam gerak sejarahnya. Ketika generasi lama dan baru bisa berkomunikasi dengan baik di dalam partai-partai untuk mempersiapkan estafet-estafet kepemimpinan politik nasional, di saat itulah perubahan tak perlu memakan banyak korban. Semoga.
Ketua Umum Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI)
AGAK sulit membayangkan demokrasi tanpa kehadiran partai politik. Setidaknya, dalam tataran teori politik, belum ada alternatif yang pas untuk meramu representasi politik selain dengan campur tangan partai. Representasi regional, yang kemudian terangkum ke dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD) misalnya, ternyata memiliki keterbatasan dalam hal wewenang. Itu pun hanya berlaku di pusat, bukan di daerah. Perwakilan-perwakilan rakyat di parlemen daerah praksis hanya diisi oleh wakil-wakil partai.
Karena itu, anak muda yang secara politik berpreferensi kepada demokrasi (keterbukaan, akuntabilitas publik, kebebasan, dan lain-lain), jika ingin secara nyata mengabdi untuk memperbaiki demokrasi, jalur partai adalah salah satu opsi yang mungkin dan layak. Kurang responsifnya partai-partai terhadap preferensi dan kepentingan politik anak muda, boleh jadi salah satunya memang karena anak muda kurang bersemangat untuk berjuang di dalam tubuh partai.
Sekalipun media sosial bisa diandalkan untuk beraspirasi, toh sampai hari ini partai tetap pada fungsinya sebagai salah satu penopang sistem politik yang demokratis. Dengan kata lain, sosial media bisa menjadi wadah beraspirasi, tapi agak sulit untuk menjadi tangga untuk melakukan aksi nyata. Faktanya, di dalam partailah kader-kader ditempa menjadi wakil-wakil pemilih. Dan di dalam partai pula, para kader bisa memengaruhi gerak langkah partai tersebut, baik dengan bersuara lantang di setiap pertemuan, atau dengan melibatkan diri di dalam kontestasi kepengurusan partai, lalu ikut duduk di tampuk pimpinan partai untuk menularkan ide-ide perubahan agar menjadi kebijakan partai.
Dengan kata lain, jika anak muda memandang partai dengan cara yang skeptis, sarang koruptor, sarang nepotisme, dan sejenisnya, kemudian ternyata hanya partai yang masih bisa diandalkan untuk menghasilkan kader-kader yang akan menjadi wakil rakyat dan pejabat publik, maka tak ada alasan bagi anak muda untuk melakukan perubahan dan reformasi sistem politik secara signifikan, tanpa melibatkan partai. Apatisme tak akan menjawab banyak persoalan yang dikeluhkan oleh anak muda. Bahkan, mendulang sukses di dunia yang jauh dari politik pun, pada akhirnya membutuhkan sentuhan politik agar sistem yang ada bisa bergerak lebih responsif terhadap kepentingan anak muda.
Saya kira, anak-anak muda yang berhasil mendulang sukses di partai politik, berhasil menularkan semangat baru dan ikut menelurkan berbagai perubahan di dalamnya, akan sangat berpotensi untuk menebar inspirasi kepada banyak anak muda lain. Pesan yang harus dibangun adalah bahwa berpolitik bisa dilakukan dengan jujur, mekanisme politik di dalam partai bisa dipengaruhi dengan cara ikut terlibat di dalamnya, dan wajah partai yang masih bopeng-bopeng di mata anak muda masih bisa diperbaiki, demi kelangsungan demokrasi ke depan.
Soekarno, yang kala itu masih sangat muda, menjadi semakin berbahaya setelah mendirikan Partai Nasional Indonesia dan Partindo. Bung Hatta menjadi semakin menggigit di era menjelang kemerdekaan, selain tintanya yang tajam di media-media, juga karena mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Bahkan mereka berhasil memosisikan diri dan partainya pada barisan yang benar-benar baru ketika itu, yakni barisan non cooperation alias tidak bekerja sama dengan Belanda, bahkan menolak kehadiran Volkstraad.
Bukankah kita memang merindukan sosok-sosok yang demikian muda, ikut berjuang bersama partai, ikut memengaruhi sikap-sikap partai, kemudian berbuat sesuatu yang besar untuk Indonesia, untuk segenap masyarakat pemilih, dan untuk masa depan generasi-generasi selanjutnya? Saya secara pribadi justru sangat berharap akan banyak anak muda yang semakin skeptis dengan partai politik di satu sisi, di sisi lain malah semakin getol pula berjuang memperbaikinya dari dalam. Tak salah rasanya harapan ini jika kita benturkan dengan tesis awal tadi, bahwa mustahil rasanya berdemokrasi tanpa partai politik.
Dengan semangat baru, energi yang jauh lebih kuat, serta spirit yang berkobar-kobar, partai akan mendapat darah baru untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Partai akan semakin energik dalam menopang demokrasi, mengagregasi dan mengalirkan aspirasi publik ke forum pengambil kebijakan, menularkan pendidikan politik kebangsaan kepada publik dan kader-kader, dan terus-menerus ikut menyegarkan politik Indonesia dari waktu ke waktu. Anak muda di dalam partai akan menjadi warning bagi generasi-generasi di atasnya untuk terus beradaptasi dengan zaman, untuk terus mengingat bahwa regenerasi adalah keniscayaan, untuk terus menyimpan pandangan bahwa kekuasaan yang berlebihan tidak baik untuk demokrasi, dan lain-lain.
Masalahnya, jika anak muda lebih mengedepankan ego skeptisismenya terhadap partai politik di satu sisi, tapi sangat berpreferensi terhadap demokrasi di sisi lain, maka proses politik akan pindah ke arena yang lain, katakan saja arena media sosial dan sejenisnya. Anak muda akan terjauhkan dari proses institusionalisasi politik demokratis. Bakat-bakat politik akan bertebaran secara cuma-cuma di tempat yang tak semestinya. Nah, ikut berjuang di partai politik adalah ikut beraksi, ikut ambil bagian, dan ikut menentukan sikap aksi di dalam gelora perubahan, dengan cara-cara yang sesuai, termasuk menggunakan sosial media.
Boleh jadi pada awalnya mendapat banyak tantangan, halangan, ataupun godaan, tapi itulah bagian dari perjuangan. Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, dan banyak lagi, berani membayarnya dengan penjara dan diasingkan ke berbagai pelosok. Jika konsistensi untuk melakukan perubahan memang teruji dan tak perlu diragukan lagi, maka hasilnya lambat laun akan terlihat juga. Fakta historisnya bahwa waktu terus berputar, generasi terus berganti, isu baru dan lama terus muncul dan tenggelam, dan waktu itu akan datang.
Bukankah kata-kata bijaknya berbunyi, "setiap manusia ada masanya"? Maka yakinlah, jika terus konsisten berjuang, masa itu akan datang. Anak muda akan mendapat gelanggang juga. Mimpi dan aspirasinya akan mendapat balasan setimpal. Dan karena proses itulah Indonesia tetap ada. Generasi-generasi baru dengan gembira menyambut estafet-estafet kepemimpinan yang ada dan partai yang baik, yang lurus, yang terus diperjuangkan untuk lurus oleh generasi-generasi muda baru di dalamnya akan melahirkan penerus-penerus estafet itu.
Jika masa depan demokrasi ada di tangan anak muda, maka masa depan partai pun demikian, maka tak ada salahnya partai-partai merangkul generasi-generasi baru di satu sisi. Di sisi lain, tak ada salahnya pula generasi-generasi baru mulai melirik partai sebagai wadah perjuangan untuk memperbaiki demokrasi dan membenahi segala sesuatu yang dibutuhkan di negeri ini. Negeri ini tak perlu lagi menyaksikan titik krisis pertentangan orde dan generasi dalam gerak sejarahnya. Ketika generasi lama dan baru bisa berkomunikasi dengan baik di dalam partai-partai untuk mempersiapkan estafet-estafet kepemimpinan politik nasional, di saat itulah perubahan tak perlu memakan banyak korban. Semoga.
(pur)