Stunting dan Kelembagaan Pangan

Jum'at, 08 Desember 2017 - 08:09 WIB
Stunting dan Kelembagaan...
Stunting dan Kelembagaan Pangan
A A A
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)


STUNTING merupakan per­soal­an serius. Akan tetapi, ma­salah anak bertubuh pen­dek ketimbang anak-anak se­usianya itu belum me­n­da­pat­kan penanganan memadai di ne­ge­ri ini. Mungkin karena itu Mu­nas Alim Ulama dan Kon­fe­ren­si Besar Nahdlatul Ulama di Ma­taram, 23-25 November 2017, memasukan masalah stunt­ing dalam rekomendasi. Pe­m­erintah diminta me­la­ku­kan pelbagai upaya promotif gu­na mencegah dan menang­gu­langi masalah stunting. Sebab, ini menyangkut masa depan ge­ne­rasi bangsa.

Indonesia kini menghadapi be­ban ganda malanutrisi serius. Di satu sisi, impitan kemiskinan mem­batasi akses warga ter­ha­dap pangan beragam dan ber­gi­zi. Akibatnya, mereka kurang gi­zi, bahkan menderita gizi bu­ruk. Di sisi lain, perbaikan pen­da­pat­an memungkinkan warga me­ngonsumsi kalori dan lemak jauh melebihi kebutuhan tu­buh. Aki­batnya, warga ke­le­bih­an be­rat badan atau ke­ge­muk­an, bah­kan mengalami obesitas.

Data Laporan Nutrisi Global 2016 menempatkan Indonesia da­lam lima besar negara dengan mas­alah kekurangan gizi kronis ting­gi: 36,4%. Survei pe­man­tau­an status gizi 2016 me­ne­mu­kan balita gizi kurang me­nu­run dari 19,3% tahun 2014 men­jadi 17,8%. Pada periode yang sama, balita stunting m­e­nu­run dari 28,9% (2014) jadi 27,5% (2016), balita kurus tu­run dari 11,8% jadi 11,1%, dan ang­ka kege­muk­an menurun dari 5,5% jadi 4,3%. Mes­kipun angka-angka ma­sa­lah gizi ini me­­nurun, porsinya ma­sih tinggi.

Dalam beberapa tahun ter­akhir pertumbuhan ekonomi bi­sa dipacu cukup tinggi. Na­mun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berbanding lu­rus dengan perbaikan gizi war­ga. Padahal, beban ganda gizi ini mem­bawa persoalan serius bagi bang­sa di masa depan. Entah apa yang ada di benak pem­im­pin negeri ini. Mereka tak acuh dan abai, bahkan amnesia be­ban ganda malanutrisi. Subsidi ener­gi dan belanja sosial di­pang­kas. Pada saat sama, be­lan­ja pegawai dan cicilan bunga utang terus meroket. Bahkan, un­tuk pertama kalinya pada 2016 alokasi pembayaran bu­nga utang lebih besar dari be­lan­ja subsidi.

Gizi kurang merupakan ma­sa­lah multikompleks dengan be­ragam penyebab: dari ke­te­r­ba­tasan ekonomi, lemah akses pa­ngan, sosio-budaya, hingga pe­ngetahuan gizi rendah. Na­mun, faktor utama gizi kurang adalah kemiskinan. Saat inflasi ting­gi dan nilai tukar rupiah ja­tuh harga pangan terasa mahal. War­ga miskin yang 73% pen­da­pat­annya untuk pangan harus me­realokasikan belanja dengan me­nekan pos nonpangan, se­per­ti kesehatan dan pendidikan atau beralih ke pangan inferior, g­u­na mengamankan isi perut.

Dampaknya, konsumsi ener­gi dan protein menurun. Ren­dahnya kualitas asupan gizi be­rdampak panjang, bukan ha­nya pada kesehatan, tapi juga soal produktivitas dan kualitas SDM. Anak balita, ibu hamil, dan lansia merupakan tiga ke­lom­pok paling rentan ke­ku­rang­­a­n gizi. Anak balita memi­liki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar. Ji­ka asupan gizinya kurang, per­tumbuhan terganggu. Anak ber­tumbuh pendek, ke­ce­r­da­s­an­nya rendah, dan rentan men­de­rita penyakit degeneratif saat me­reka dewasa.

Kemiskinan dan gizi kurang se­­perti lingkaran setan tak ber­ujung. Karena miskin, asupan gi­­zi kurang memadai. Tidak h­a­nya pertumbuhan terganggu, IQ-nya pun jongkok. Output-nya: pro­duktivitas rendah, sa­kit-sakitan dan terjerat da­lam ku­bang­an kemiskinan. Apa­bila ki­ta bang­ga karena me­mi­liki bo­nus d­e­mografi yang akan mem­ba­wa In­donesia men­ja­di negara de­ngan ekonomi ter­be­sar ke­t­u­juh pa­da 2030, itu me­n­­sya­rat­kan sum­ber daya ma­nusia ung­gul. Sum­ber ma­nu­sia unggul mus­ta­hil dicetak jika gizi kurang.

Krisis gizi, tanpa kita sadari, men­dorong lahirnya bencana so­s­ial dan budaya yang amat se­rius. Bagaimana mungkin ”bang­sa kurang gizi” bisa ber­saing dengan bangsa-bangsa lain? Bagaimana mungkin ”bang­sa kurang gizi” bisa kreatif dan mengemban tampuk ke­pe­mim­pinan yang membawa ne­ge­ri ini ke posisi terhormat di an­ta­ra bangsa-bangsa di dunia. Per­adaban bangsa dibangun me­lalui kebudayaan secara in­tens, kontinu, dan konsisten. Se­ba­gai proses belajar yang tak per­nah usai, kebudayaan butuh du­k­ungan banyak faktor, salah satu yang penting adalah ke­cu­kup­an gizi para pelakunya. Se­ja­rah membuktikan, bangsa yang mam­pu menghasilkan per­adab­an tinggi umumnya me­mi­liki badan dan jiwa yang sehat. Ba­dan dan jiwa yang sehat di­ba­ngun dari kecukupan gizi.

Di sisi lain, kegemukan dan obe­sitas akibat konsumsi kalori ber­lebih berdampak buruk pa­da tekanan darah. Orang lebih ren­tan terkena hipertensi. Hi­per­ten­si dan kegemukan adalah pe­nyumbang risiko munculnya pe­nya­kit jantung koroner yang ren­­tan kematian. Dewasa ini kian banyak kasus penyakit ti­dak menular di Indonesia. Ini an­tara lain akibat pola makan sa­lah. Penyakit tidak menular ini jadi penyebab 60% ke­ma­ti­an. Pengeluaran pemerintah, khu­susnya untuk jaminan ke­se­hat­an nasional, melonjak. Biaya ter­tinggi jaminan kesehatan na­sio­nal terkuras untuk pe­ra­wat­an stroke, diabetes, dan ga­gal gin­jal. Beban ganda ma­la­nutrisi ini ja­di masalah bangsa dan me­mer­­lukan perhatian serius.

Hilangnya isu gizi dalam pem­bangunan harus dicegah de­ngan menjadikan gizi sebagai isu politik. Caranya, pemeri­n­tah, baik pusat maupun daerah, wa­jib memastikan anak balita, ibu hamil, dan lansia memiliki ak­ses pada gizi yang baik dan cu­kup. Negara harus hadir sebagai pen­jamin terpenuhinya hak pa­ngan hingga di tingkat individu, se­perti amanat UU Nomor 18/ 2012 tentang Pangan. Ini di­la­ku­kan lewat beragam aksi: re­vi­ta­lisasi posyandu, bantuan pa­ngan bagi balita dan ibu hamil, prog­ram tambahan makanan anak sekolah, subsidi dan sta­bi­li­sasi harga pangan, dan pe­ng­ane­karagaman pangan lokal.

Gizi merupakan bagian ”ke­cil” dari urusan kesehatan. Ba­rang­kali karena dianggap ”ke­cil” maka tidak perlu ada Ke­men­terian Pangan dan Gizi. Soal pangan dan gizi cukup d­i­urus birokrasi setingkat di­rek­to­rat. Sejak Menteri Negara Urus­an Pangan dibubarkan pa­d­a 1999, hingga kini tidak ada la­gi lembaga yang bertugas me­ru­muskan kebijakan, me­ngoor­di­nasikan, dan mengarahkan pem­bangunan pangan (dan gi­zi). Pangan (dan gizi) yang ke­mu­dian diurus Kementerian Ke­­sehatan, Kementerian Per­ta­ni­an dan Kementerian K­elaut­an dan Perikanan justru men­ja­d­i tak terurus. Sudah saatnya di­ben­tuk kelembagaan yang meng­urus pangan (dan gizi), se­per­ti amanat Pasal 126-129 UU No­mor 18/2012.

Keberadaan kelembagaan pa­­­ngan penting karena dua hal. Per­­tama, pemerintah bisa di­ni­lai abai dan melanggar undang-undang jika kelembagaan p­a­ngan tidak dibentuk. Sesuai Pa­sal 151 UU Nomor 18/2012, lem­­ba­ga pemerintah yang me­na­ngani pangan harus ter­ben­tuk pa­ling lambat 3 tahun sejak undang-undang ditetapkan alias paling lambat November 2015. Jadi, sudah 2 tahun me­le­bihi tenggat.

Kedua, ke­lem­ba­ga­­an pangan jadi ke­nis­ca­ya­an gu­na mengisi kevakuman. Ke­lem­bagaan yang ada saat ini ti­dak memadai sebagai peng­ge­rak dan dirigen pangan, baik me­­ngoordinasikan, meng­in­te­gra­sikan, menyelaraskan dan me­ngendalikan pelak­sa­na­an ke­bijakan pangan na­sio­nal dan dae­rah, karena po­wer­less. Tan­pa kelembagaan pa­ngan yang po­werful, masalah gi­zi bangsa ti­dak akan tertangani.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0646 seconds (0.1#10.140)