Stunting dan Kelembagaan Pangan
A
A
A
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
STUNTING merupakan persoalan serius. Akan tetapi, masalah anak bertubuh pendek ketimbang anak-anak seusianya itu belum mendapatkan penanganan memadai di negeri ini. Mungkin karena itu Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Mataram, 23-25 November 2017, memasukan masalah stunting dalam rekomendasi. Pemerintah diminta melakukan pelbagai upaya promotif guna mencegah dan menanggulangi masalah stunting. Sebab, ini menyangkut masa depan generasi bangsa.
Indonesia kini menghadapi beban ganda malanutrisi serius. Di satu sisi, impitan kemiskinan membatasi akses warga terhadap pangan beragam dan bergizi. Akibatnya, mereka kurang gizi, bahkan menderita gizi buruk. Di sisi lain, perbaikan pendapatan memungkinkan warga mengonsumsi kalori dan lemak jauh melebihi kebutuhan tubuh. Akibatnya, warga kelebihan berat badan atau kegemukan, bahkan mengalami obesitas.
Data Laporan Nutrisi Global 2016 menempatkan Indonesia dalam lima besar negara dengan masalah kekurangan gizi kronis tinggi: 36,4%. Survei pemantauan status gizi 2016 menemukan balita gizi kurang menurun dari 19,3% tahun 2014 menjadi 17,8%. Pada periode yang sama, balita stunting menurun dari 28,9% (2014) jadi 27,5% (2016), balita kurus turun dari 11,8% jadi 11,1%, dan angka kegemukan menurun dari 5,5% jadi 4,3%. Meskipun angka-angka masalah gizi ini menurun, porsinya masih tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi bisa dipacu cukup tinggi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berbanding lurus dengan perbaikan gizi warga. Padahal, beban ganda gizi ini membawa persoalan serius bagi bangsa di masa depan. Entah apa yang ada di benak pemimpin negeri ini. Mereka tak acuh dan abai, bahkan amnesia beban ganda malanutrisi. Subsidi energi dan belanja sosial dipangkas. Pada saat sama, belanja pegawai dan cicilan bunga utang terus meroket. Bahkan, untuk pertama kalinya pada 2016 alokasi pembayaran bunga utang lebih besar dari belanja subsidi.
Gizi kurang merupakan masalah multikompleks dengan beragam penyebab: dari keterbatasan ekonomi, lemah akses pangan, sosio-budaya, hingga pengetahuan gizi rendah. Namun, faktor utama gizi kurang adalah kemiskinan. Saat inflasi tinggi dan nilai tukar rupiah jatuh harga pangan terasa mahal. Warga miskin yang 73% pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan belanja dengan menekan pos nonpangan, seperti kesehatan dan pendidikan atau beralih ke pangan inferior, guna mengamankan isi perut.
Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Rendahnya kualitas asupan gizi berdampak panjang, bukan hanya pada kesehatan, tapi juga soal produktivitas dan kualitas SDM. Anak balita, ibu hamil, dan lansia merupakan tiga kelompok paling rentan kekurangan gizi. Anak balita memiliki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar. Jika asupan gizinya kurang, pertumbuhan terganggu. Anak bertumbuh pendek, kecerdasannya rendah, dan rentan menderita penyakit degeneratif saat mereka dewasa.
Kemiskinan dan gizi kurang seperti lingkaran setan tak berujung. Karena miskin, asupan gizi kurang memadai. Tidak hanya pertumbuhan terganggu, IQ-nya pun jongkok. Output-nya: produktivitas rendah, sakit-sakitan dan terjerat dalam kubangan kemiskinan. Apabila kita bangga karena memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh pada 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul. Sumber manusia unggul mustahil dicetak jika gizi kurang.
Krisis gizi, tanpa kita sadari, mendorong lahirnya bencana sosial dan budaya yang amat serius. Bagaimana mungkin ”bangsa kurang gizi” bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain? Bagaimana mungkin ”bangsa kurang gizi” bisa kreatif dan mengemban tampuk kepemimpinan yang membawa negeri ini ke posisi terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia. Peradaban bangsa dibangun melalui kebudayaan secara intens, kontinu, dan konsisten. Sebagai proses belajar yang tak pernah usai, kebudayaan butuh dukungan banyak faktor, salah satu yang penting adalah kecukupan gizi para pelakunya. Sejarah membuktikan, bangsa yang mampu menghasilkan peradaban tinggi umumnya memiliki badan dan jiwa yang sehat. Badan dan jiwa yang sehat dibangun dari kecukupan gizi.
Di sisi lain, kegemukan dan obesitas akibat konsumsi kalori berlebih berdampak buruk pada tekanan darah. Orang lebih rentan terkena hipertensi. Hipertensi dan kegemukan adalah penyumbang risiko munculnya penyakit jantung koroner yang rentan kematian. Dewasa ini kian banyak kasus penyakit tidak menular di Indonesia. Ini antara lain akibat pola makan salah. Penyakit tidak menular ini jadi penyebab 60% kematian. Pengeluaran pemerintah, khususnya untuk jaminan kesehatan nasional, melonjak. Biaya tertinggi jaminan kesehatan nasional terkuras untuk perawatan stroke, diabetes, dan gagal ginjal. Beban ganda malanutrisi ini jadi masalah bangsa dan memerlukan perhatian serius.
Hilangnya isu gizi dalam pembangunan harus dicegah dengan menjadikan gizi sebagai isu politik. Caranya, pemerintah, baik pusat maupun daerah, wajib memastikan anak balita, ibu hamil, dan lansia memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup. Negara harus hadir sebagai penjamin terpenuhinya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti amanat UU Nomor 18/ 2012 tentang Pangan. Ini dilakukan lewat beragam aksi: revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu hamil, program tambahan makanan anak sekolah, subsidi dan stabilisasi harga pangan, dan penganekaragaman pangan lokal.
Gizi merupakan bagian ”kecil” dari urusan kesehatan. Barangkali karena dianggap ”kecil” maka tidak perlu ada Kementerian Pangan dan Gizi. Soal pangan dan gizi cukup diurus birokrasi setingkat direktorat. Sejak Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, hingga kini tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan (dan gizi). Pangan (dan gizi) yang kemudian diurus Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan justru menjadi tak terurus. Sudah saatnya dibentuk kelembagaan yang mengurus pangan (dan gizi), seperti amanat Pasal 126-129 UU Nomor 18/2012.
Keberadaan kelembagaan pangan penting karena dua hal. Pertama, pemerintah bisa dinilai abai dan melanggar undang-undang jika kelembagaan pangan tidak dibentuk. Sesuai Pasal 151 UU Nomor 18/2012, lembaga pemerintah yang menangani pangan harus terbentuk paling lambat 3 tahun sejak undang-undang ditetapkan alias paling lambat November 2015. Jadi, sudah 2 tahun melebihi tenggat.
Kedua, kelembagaan pangan jadi keniscayaan guna mengisi kevakuman. Kelembagaan yang ada saat ini tidak memadai sebagai penggerak dan dirigen pangan, baik mengoordinasikan, mengintegrasikan, menyelaraskan dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan pangan nasional dan daerah, karena powerless. Tanpa kelembagaan pangan yang powerful, masalah gizi bangsa tidak akan tertangani.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
STUNTING merupakan persoalan serius. Akan tetapi, masalah anak bertubuh pendek ketimbang anak-anak seusianya itu belum mendapatkan penanganan memadai di negeri ini. Mungkin karena itu Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Mataram, 23-25 November 2017, memasukan masalah stunting dalam rekomendasi. Pemerintah diminta melakukan pelbagai upaya promotif guna mencegah dan menanggulangi masalah stunting. Sebab, ini menyangkut masa depan generasi bangsa.
Indonesia kini menghadapi beban ganda malanutrisi serius. Di satu sisi, impitan kemiskinan membatasi akses warga terhadap pangan beragam dan bergizi. Akibatnya, mereka kurang gizi, bahkan menderita gizi buruk. Di sisi lain, perbaikan pendapatan memungkinkan warga mengonsumsi kalori dan lemak jauh melebihi kebutuhan tubuh. Akibatnya, warga kelebihan berat badan atau kegemukan, bahkan mengalami obesitas.
Data Laporan Nutrisi Global 2016 menempatkan Indonesia dalam lima besar negara dengan masalah kekurangan gizi kronis tinggi: 36,4%. Survei pemantauan status gizi 2016 menemukan balita gizi kurang menurun dari 19,3% tahun 2014 menjadi 17,8%. Pada periode yang sama, balita stunting menurun dari 28,9% (2014) jadi 27,5% (2016), balita kurus turun dari 11,8% jadi 11,1%, dan angka kegemukan menurun dari 5,5% jadi 4,3%. Meskipun angka-angka masalah gizi ini menurun, porsinya masih tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi bisa dipacu cukup tinggi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berbanding lurus dengan perbaikan gizi warga. Padahal, beban ganda gizi ini membawa persoalan serius bagi bangsa di masa depan. Entah apa yang ada di benak pemimpin negeri ini. Mereka tak acuh dan abai, bahkan amnesia beban ganda malanutrisi. Subsidi energi dan belanja sosial dipangkas. Pada saat sama, belanja pegawai dan cicilan bunga utang terus meroket. Bahkan, untuk pertama kalinya pada 2016 alokasi pembayaran bunga utang lebih besar dari belanja subsidi.
Gizi kurang merupakan masalah multikompleks dengan beragam penyebab: dari keterbatasan ekonomi, lemah akses pangan, sosio-budaya, hingga pengetahuan gizi rendah. Namun, faktor utama gizi kurang adalah kemiskinan. Saat inflasi tinggi dan nilai tukar rupiah jatuh harga pangan terasa mahal. Warga miskin yang 73% pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan belanja dengan menekan pos nonpangan, seperti kesehatan dan pendidikan atau beralih ke pangan inferior, guna mengamankan isi perut.
Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Rendahnya kualitas asupan gizi berdampak panjang, bukan hanya pada kesehatan, tapi juga soal produktivitas dan kualitas SDM. Anak balita, ibu hamil, dan lansia merupakan tiga kelompok paling rentan kekurangan gizi. Anak balita memiliki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar. Jika asupan gizinya kurang, pertumbuhan terganggu. Anak bertumbuh pendek, kecerdasannya rendah, dan rentan menderita penyakit degeneratif saat mereka dewasa.
Kemiskinan dan gizi kurang seperti lingkaran setan tak berujung. Karena miskin, asupan gizi kurang memadai. Tidak hanya pertumbuhan terganggu, IQ-nya pun jongkok. Output-nya: produktivitas rendah, sakit-sakitan dan terjerat dalam kubangan kemiskinan. Apabila kita bangga karena memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh pada 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul. Sumber manusia unggul mustahil dicetak jika gizi kurang.
Krisis gizi, tanpa kita sadari, mendorong lahirnya bencana sosial dan budaya yang amat serius. Bagaimana mungkin ”bangsa kurang gizi” bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain? Bagaimana mungkin ”bangsa kurang gizi” bisa kreatif dan mengemban tampuk kepemimpinan yang membawa negeri ini ke posisi terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia. Peradaban bangsa dibangun melalui kebudayaan secara intens, kontinu, dan konsisten. Sebagai proses belajar yang tak pernah usai, kebudayaan butuh dukungan banyak faktor, salah satu yang penting adalah kecukupan gizi para pelakunya. Sejarah membuktikan, bangsa yang mampu menghasilkan peradaban tinggi umumnya memiliki badan dan jiwa yang sehat. Badan dan jiwa yang sehat dibangun dari kecukupan gizi.
Di sisi lain, kegemukan dan obesitas akibat konsumsi kalori berlebih berdampak buruk pada tekanan darah. Orang lebih rentan terkena hipertensi. Hipertensi dan kegemukan adalah penyumbang risiko munculnya penyakit jantung koroner yang rentan kematian. Dewasa ini kian banyak kasus penyakit tidak menular di Indonesia. Ini antara lain akibat pola makan salah. Penyakit tidak menular ini jadi penyebab 60% kematian. Pengeluaran pemerintah, khususnya untuk jaminan kesehatan nasional, melonjak. Biaya tertinggi jaminan kesehatan nasional terkuras untuk perawatan stroke, diabetes, dan gagal ginjal. Beban ganda malanutrisi ini jadi masalah bangsa dan memerlukan perhatian serius.
Hilangnya isu gizi dalam pembangunan harus dicegah dengan menjadikan gizi sebagai isu politik. Caranya, pemerintah, baik pusat maupun daerah, wajib memastikan anak balita, ibu hamil, dan lansia memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup. Negara harus hadir sebagai penjamin terpenuhinya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti amanat UU Nomor 18/ 2012 tentang Pangan. Ini dilakukan lewat beragam aksi: revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu hamil, program tambahan makanan anak sekolah, subsidi dan stabilisasi harga pangan, dan penganekaragaman pangan lokal.
Gizi merupakan bagian ”kecil” dari urusan kesehatan. Barangkali karena dianggap ”kecil” maka tidak perlu ada Kementerian Pangan dan Gizi. Soal pangan dan gizi cukup diurus birokrasi setingkat direktorat. Sejak Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, hingga kini tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan (dan gizi). Pangan (dan gizi) yang kemudian diurus Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan justru menjadi tak terurus. Sudah saatnya dibentuk kelembagaan yang mengurus pangan (dan gizi), seperti amanat Pasal 126-129 UU Nomor 18/2012.
Keberadaan kelembagaan pangan penting karena dua hal. Pertama, pemerintah bisa dinilai abai dan melanggar undang-undang jika kelembagaan pangan tidak dibentuk. Sesuai Pasal 151 UU Nomor 18/2012, lembaga pemerintah yang menangani pangan harus terbentuk paling lambat 3 tahun sejak undang-undang ditetapkan alias paling lambat November 2015. Jadi, sudah 2 tahun melebihi tenggat.
Kedua, kelembagaan pangan jadi keniscayaan guna mengisi kevakuman. Kelembagaan yang ada saat ini tidak memadai sebagai penggerak dan dirigen pangan, baik mengoordinasikan, mengintegrasikan, menyelaraskan dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan pangan nasional dan daerah, karena powerless. Tanpa kelembagaan pangan yang powerful, masalah gizi bangsa tidak akan tertangani.
(kri)