Demam FGD
A
A
A
Elfrindi
Profesor Ekonomi SDM Unand dan Sekretaris Majelis Riset, DPT Kemenristek-Dikti
AKHIR-akhir ini banyak pertemuan yang dibuat oleh pemerintah daerah, dengan bertemakan kelompok diskusi terfokus (focus group discussion disingkat FGD). Tahun demi tahun aktivitas FGD tetap saja berjalan. Jarang yang mencoba melihat bahwa FGD ini dilaksanakan sering sebagai sebuah demam panggung.
Cukup ramai di media sosial memperbincangkan, dan mempermasalahkan pelaksanaan FGD ini. Bahkan ada yang mempertanyakan, apakah pihak penyelenggara paham akan makna dari FGD itu? Apakah cocok dan dimengerti?
Kenapa dikatakan demam panggung, karena makna dari FGD sering disalahpahami. Bahwa FGD adalah sering digunakan pada penelitian sosiologi dan antropologi; sebagai salah satu metode dalam penelitian kualitatif.
Metode ini digunakan untuk menemukan pemahaman, kecenderungan pemahaman terhadap persoalan yang dihadapi oleh kelompok. Teknik FGD digunakan kadang kala yang tidak terjelaskan oleh metode yang menggunakan statistik dalam menjelaskan sesuatu fenomena. Tetapi tidak jarang pula FGD digunakan oleh lembaga donor, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM), untuk menilai terhadap kebijakan yang diambil dalam menangani suatu masalah.
Metode FGD semula dihasilkan oleh Zeitlin. Pada mulanya Zeitlin bingung dalam menentukan persepsi ibu-ibu dalam hal makanan yang diberikan, metode memberikan susu dan makanan pengganti air susu ibu, agar dengan makanan dan kombinasinya yang pas dapat memperbaiki gizi anak-anak. Kemudian Krueger, R.A. (1988) membuatkannya ke dalam buku Focus Groups: A Practical Guide for applied research, yang diterbitkan oleh Sage di United Kingdom.
FGD memiliki berbagai syarat; di mana dihadiri 6-12 orang, yang berasal dari stakeholders. Sewaktu FGD dilaksanakan, dipimpin oleh seorang moderator, yang sebelumnya telah menyusun panduan pertanyaan. Setiap pertanyaan kemudian dijawab oleh anggota yang hadir.
Kemudian dari pertanyaan demi pertanyaan akan ketemu sebuah jawaban, yang tidak dapat dilakukan dengan metode lainnya, seperti in-debt interview, atau participant observation, dan blended metodology, yang sering juga digunakan dalam penelitian ilmu sosial.
FGD kemudian dilakukan untuk lebih satu kelompok bisa tiga sampai lima kelompok di tempat yang berbeda. Hasilnya kemudian akan dijadikan semakin sahih, ketika variasi perbedaan pandangan dapat menunjukkan perbedaan.
FGD Tahun 1991
Penulis pernah menggunakan FGD dalam mengungkap kenapa pada rumah tangga yang sama secara karakter sosial ekonominya di dua tempat tahun 1991, Kecamatan Bonjol dan Kecamatan Tilatang Kamang, Sumatera Barat. Di Tilatang Kamang, persentase anak kurang gizi relatif rendah; berlawanan dengan yang terjadi di Bonjol, ketika itu angka kurang gizi anak relatif tinggi.
Dengan FGD, penulis menemukan bahwa kendatipun rumah tangga di Kecamatan Bonjol relatif banyak yang menggunakan air pipa PAM piped water, dibandingkan dengan rumah tangga di Kecamatan Tilatang Kamang, rumah tangga di Kecamatan Bonjol cenderung salah dalam menempatkan air yang ditampung ke dalam baskom yang sudah ”terkontaminasi” dengan air sungai.
Air itu kemudian digunakan untuk mencuci ëutensilsí anak, seperti piring dan sendok, yang kemudian bisa sebagai faktor patogen penyebab terjadinya penyakit diare. Selain melakukan observasi, penulis berhasil menemukan perbedaan jawaban dan pandangan dalam diskusi FGD di dua kecamatan yang berbeda itu. Konfirmasi atas kemungkinan kesalahan dalam menggunakan air oleh orang tua, dan kemudian bisa berakibat terhadap kejadian diare, dan kemudian bisa kekurangan gizi anak-anak balita tinggi.
Kembali ke Demam FGD
Oleh karena itu, jika pemerintah daerah ingin menggunakan tools penelitian, metode FGD dalam menemukan persepsi atau pandangan serta usulan peserta untuk memecahkan persoalan tertentu, maka tentunya FGD sah-sah saja digunakan sebagai sebuah metode.
Jika FGD bukan dimaknai sebagai salah satu metodologi dalam memahami persoalan tertentu, ini perlu diluruskan agar suatu kelak anak-cucu kita tidak menertawakan bahwa ada zaman kakeknya dulu, di mana pemerintah daerah melakukan FGD, tetapi sebenarnya mereka tidak memahami apa makna FGD yang mereka dilakukan.
Persoalan kemudian kenapa sering kali pertemuan yang dikelola oleh masing-masing dinas teknis melakukan FGD yang sama, baik dari pusat sana, sampai ke kabupaten/ kota?
Beberapa alasan penting adalah, pertama ketika dalam menyusun sebuah program, jarang perencananya menyusun program kerja dengan memperhatikan secara saksama, apa hasil dan luaran kegiatan. Bagaimana mekanisme dan desain dari kegiatan, agar mampu menghasilkan tujuan yang diinginkan.
Pimpinan di suatu instansi, sering juga tidak terlalu mengecek bagaimana mekanisme dan desain kegiatan, secara rinci yang tertuang di dalam Terms of References (TOR) sehingga sering juga kita lihat ketika sebuah pertemuan dilakukan, pembicaranya tidak siap, pembicara tanpa working paper yang ditulis secara baik, bahkan sering berebut menjadi pembicara, apalagi pembicaranya kuat mental, berasal dari unsur pimpinan. Sehingga ketika mereka menggelar pertemuan, yang disampaikan ngawur ke sana-kemari.
Peserta juga tidak terlalu peduli, karena mereka juga banyak yang tidak terlalu berkeinginan untuk berkontribusi dalam pertemuan. Fenomena ini sering terjadi dan berulang. Oleh karena itu, penyusunan TOR kegiatan menjadi sarat mutlak agar kegiatan bisa menghasilkan output yang optimal, sesuai dengan uang yang digunakan untuk terlaksananya kegiatan tersebut.
Kedua, proses pemeriksaan kegiatan asal jadi. Pemeriksa kegiatan juga tidak terlalu kritis terhadap kegiatan, desain kegiatan, dan outcomes kegiatan. Sering masing-masing kegiatan yang diaudit adalah berapa peserta, mana bukti fisik tanda tangan yang hadir, dan blangko pengeluaran sewa hotel, honorarium, dan bundle pertanggungjawaban fisik yang dicetak bagus dan rapi.
Sementara hasil dan bagaimana tindak lanjut kegiatan, jarang yang serius melanjutkannya menjadi sebuah rencana besar, atau setidaknya menjadi rencana keiatan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, sangat diperlukan proses audit kegiatan yang benar sehingga akan menghasilkan efisiensi anggaran, dan program FGD yang demam panggung bisa dialihkan ke pos kegiatan yang lain, yang lebih benar dilaksanakan.
Ketiga adalah kembali kepada persoalan sumber daya manusia aparatur pemerintah. Bahwa untuk membuat kegiatan jalan, mungkin sudah banyak di antara pegawai pemerintah yang bisa melakukan, termasuk mempertanggungjawabkan kegiatan dengan standar-standar yang ditetapkan. Namun, jelas bahwa untuk melaksanakan kegiatan secara benar dan bermutu diperlukan sumber daya manusia yang mau berkorban, gigih, dan memiliki integritas bahwa aktivitas pertemuan adalah bagus, namun memerlukan keseriusan dalam menyiapkannya.
Diklat perencanaan kegiatan sangat perlu, tidak asal jadi, tetapi benar-benar melahirkan banyak para pegawai pemerintah yang benar dalam menyusun kegiatan. Termasuk menyusun TOR yang membuat kegiatan dapat optimal, efisiensi anggaran terwujud. *
Profesor Ekonomi SDM Unand dan Sekretaris Majelis Riset, DPT Kemenristek-Dikti
AKHIR-akhir ini banyak pertemuan yang dibuat oleh pemerintah daerah, dengan bertemakan kelompok diskusi terfokus (focus group discussion disingkat FGD). Tahun demi tahun aktivitas FGD tetap saja berjalan. Jarang yang mencoba melihat bahwa FGD ini dilaksanakan sering sebagai sebuah demam panggung.
Cukup ramai di media sosial memperbincangkan, dan mempermasalahkan pelaksanaan FGD ini. Bahkan ada yang mempertanyakan, apakah pihak penyelenggara paham akan makna dari FGD itu? Apakah cocok dan dimengerti?
Kenapa dikatakan demam panggung, karena makna dari FGD sering disalahpahami. Bahwa FGD adalah sering digunakan pada penelitian sosiologi dan antropologi; sebagai salah satu metode dalam penelitian kualitatif.
Metode ini digunakan untuk menemukan pemahaman, kecenderungan pemahaman terhadap persoalan yang dihadapi oleh kelompok. Teknik FGD digunakan kadang kala yang tidak terjelaskan oleh metode yang menggunakan statistik dalam menjelaskan sesuatu fenomena. Tetapi tidak jarang pula FGD digunakan oleh lembaga donor, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM), untuk menilai terhadap kebijakan yang diambil dalam menangani suatu masalah.
Metode FGD semula dihasilkan oleh Zeitlin. Pada mulanya Zeitlin bingung dalam menentukan persepsi ibu-ibu dalam hal makanan yang diberikan, metode memberikan susu dan makanan pengganti air susu ibu, agar dengan makanan dan kombinasinya yang pas dapat memperbaiki gizi anak-anak. Kemudian Krueger, R.A. (1988) membuatkannya ke dalam buku Focus Groups: A Practical Guide for applied research, yang diterbitkan oleh Sage di United Kingdom.
FGD memiliki berbagai syarat; di mana dihadiri 6-12 orang, yang berasal dari stakeholders. Sewaktu FGD dilaksanakan, dipimpin oleh seorang moderator, yang sebelumnya telah menyusun panduan pertanyaan. Setiap pertanyaan kemudian dijawab oleh anggota yang hadir.
Kemudian dari pertanyaan demi pertanyaan akan ketemu sebuah jawaban, yang tidak dapat dilakukan dengan metode lainnya, seperti in-debt interview, atau participant observation, dan blended metodology, yang sering juga digunakan dalam penelitian ilmu sosial.
FGD kemudian dilakukan untuk lebih satu kelompok bisa tiga sampai lima kelompok di tempat yang berbeda. Hasilnya kemudian akan dijadikan semakin sahih, ketika variasi perbedaan pandangan dapat menunjukkan perbedaan.
FGD Tahun 1991
Penulis pernah menggunakan FGD dalam mengungkap kenapa pada rumah tangga yang sama secara karakter sosial ekonominya di dua tempat tahun 1991, Kecamatan Bonjol dan Kecamatan Tilatang Kamang, Sumatera Barat. Di Tilatang Kamang, persentase anak kurang gizi relatif rendah; berlawanan dengan yang terjadi di Bonjol, ketika itu angka kurang gizi anak relatif tinggi.
Dengan FGD, penulis menemukan bahwa kendatipun rumah tangga di Kecamatan Bonjol relatif banyak yang menggunakan air pipa PAM piped water, dibandingkan dengan rumah tangga di Kecamatan Tilatang Kamang, rumah tangga di Kecamatan Bonjol cenderung salah dalam menempatkan air yang ditampung ke dalam baskom yang sudah ”terkontaminasi” dengan air sungai.
Air itu kemudian digunakan untuk mencuci ëutensilsí anak, seperti piring dan sendok, yang kemudian bisa sebagai faktor patogen penyebab terjadinya penyakit diare. Selain melakukan observasi, penulis berhasil menemukan perbedaan jawaban dan pandangan dalam diskusi FGD di dua kecamatan yang berbeda itu. Konfirmasi atas kemungkinan kesalahan dalam menggunakan air oleh orang tua, dan kemudian bisa berakibat terhadap kejadian diare, dan kemudian bisa kekurangan gizi anak-anak balita tinggi.
Kembali ke Demam FGD
Oleh karena itu, jika pemerintah daerah ingin menggunakan tools penelitian, metode FGD dalam menemukan persepsi atau pandangan serta usulan peserta untuk memecahkan persoalan tertentu, maka tentunya FGD sah-sah saja digunakan sebagai sebuah metode.
Jika FGD bukan dimaknai sebagai salah satu metodologi dalam memahami persoalan tertentu, ini perlu diluruskan agar suatu kelak anak-cucu kita tidak menertawakan bahwa ada zaman kakeknya dulu, di mana pemerintah daerah melakukan FGD, tetapi sebenarnya mereka tidak memahami apa makna FGD yang mereka dilakukan.
Persoalan kemudian kenapa sering kali pertemuan yang dikelola oleh masing-masing dinas teknis melakukan FGD yang sama, baik dari pusat sana, sampai ke kabupaten/ kota?
Beberapa alasan penting adalah, pertama ketika dalam menyusun sebuah program, jarang perencananya menyusun program kerja dengan memperhatikan secara saksama, apa hasil dan luaran kegiatan. Bagaimana mekanisme dan desain dari kegiatan, agar mampu menghasilkan tujuan yang diinginkan.
Pimpinan di suatu instansi, sering juga tidak terlalu mengecek bagaimana mekanisme dan desain kegiatan, secara rinci yang tertuang di dalam Terms of References (TOR) sehingga sering juga kita lihat ketika sebuah pertemuan dilakukan, pembicaranya tidak siap, pembicara tanpa working paper yang ditulis secara baik, bahkan sering berebut menjadi pembicara, apalagi pembicaranya kuat mental, berasal dari unsur pimpinan. Sehingga ketika mereka menggelar pertemuan, yang disampaikan ngawur ke sana-kemari.
Peserta juga tidak terlalu peduli, karena mereka juga banyak yang tidak terlalu berkeinginan untuk berkontribusi dalam pertemuan. Fenomena ini sering terjadi dan berulang. Oleh karena itu, penyusunan TOR kegiatan menjadi sarat mutlak agar kegiatan bisa menghasilkan output yang optimal, sesuai dengan uang yang digunakan untuk terlaksananya kegiatan tersebut.
Kedua, proses pemeriksaan kegiatan asal jadi. Pemeriksa kegiatan juga tidak terlalu kritis terhadap kegiatan, desain kegiatan, dan outcomes kegiatan. Sering masing-masing kegiatan yang diaudit adalah berapa peserta, mana bukti fisik tanda tangan yang hadir, dan blangko pengeluaran sewa hotel, honorarium, dan bundle pertanggungjawaban fisik yang dicetak bagus dan rapi.
Sementara hasil dan bagaimana tindak lanjut kegiatan, jarang yang serius melanjutkannya menjadi sebuah rencana besar, atau setidaknya menjadi rencana keiatan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, sangat diperlukan proses audit kegiatan yang benar sehingga akan menghasilkan efisiensi anggaran, dan program FGD yang demam panggung bisa dialihkan ke pos kegiatan yang lain, yang lebih benar dilaksanakan.
Ketiga adalah kembali kepada persoalan sumber daya manusia aparatur pemerintah. Bahwa untuk membuat kegiatan jalan, mungkin sudah banyak di antara pegawai pemerintah yang bisa melakukan, termasuk mempertanggungjawabkan kegiatan dengan standar-standar yang ditetapkan. Namun, jelas bahwa untuk melaksanakan kegiatan secara benar dan bermutu diperlukan sumber daya manusia yang mau berkorban, gigih, dan memiliki integritas bahwa aktivitas pertemuan adalah bagus, namun memerlukan keseriusan dalam menyiapkannya.
Diklat perencanaan kegiatan sangat perlu, tidak asal jadi, tetapi benar-benar melahirkan banyak para pegawai pemerintah yang benar dalam menyusun kegiatan. Termasuk menyusun TOR yang membuat kegiatan dapat optimal, efisiensi anggaran terwujud. *
(wib)