Ribut-ribut Penuangan Pancasila
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SABTU 2 Desember 2017 ini, saya diundang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkumpul dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di Semarang untuk berseminar. Saya diminta berbicara tentang “Implementasi Pembukaan ke dalam UUD 1945”, topik yang selalu menarik untuk diperdebatkan. Pasalnya, banyak yang mengatakan UUD 1945 hasil amendemen yang ada sekarang ini bertentangan dengan Pancasila atau nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pembukaan.
Dikatakan, UUD 1945 yang berlaku sekarang tidak sesuai dengan Pancasila. Betulkah? Entahlah. Tetapi ada beberapa contoh yang disebutkan, misalnya pemilihan langsung, pemungutan suara (voting), penataan ekonomi.
Adanya pemilihan langsung dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi sebagaimana digariskan di dalam sila keempat Pancasila tentang “permusyawaratan/perwakilan”. Dikatakan oleh mereka, berdasarkan Pancasila seharusnya pemilihan (presiden dan kepala daerah) dilakukan oleh lembaga perwakilan, bukan langsung. Ini keliru karena sila keempat Pancasila itu tidak menggariskan keharusan pemilihan langsung atau tidak langsung.
Sila keempat itu hanya mengharuskan ada lembaga perwakilan yang bisa bermusyawarah untuk mengambil keputusan. Dan, lembaga-lembaga perwakilan untuk bermusyawarah itu sekarang sudah ada yakni DPR, DPD, MPR, DPRD. Adapun soal pemilihan presiden atau kepala daerah bisa dipilih langsung atau tidak langsung, bergantung pengaturannya oleh hasil musyawarah lembaga perwakilan yang ada bersama pemerintah.
Adapun masalah pemungutan suara (voting) dalam pengambilan keputusan, juga tidak salah dan tidak bertentangan dengan demokrasi Pancasila. Pandangan yang mengatakan keputusan harus dilakukan dengan musyawarah secara kekeluargaan tanpa ada voting bukan hanya tidak realistis, melainkan juga bertentangan dengan fakta sejarah tentang sikap para pendiri negara di BPUPKI dan PPKI pada 1945.
Para pendiri negara kita justru membentuk Negara Republik Indonesia melalui voting. Pilihan bentuk negara kesatuan merupakan hasil voting karena Bung Hatta mengusulkan bentuk negara federal. Begitu juga bentuk pemerintahan republik merupakan hasil voting setelah ada usul lain yang menghendaki bentuk kerajaan Indonesia.
Bahkan, para pendiri negara menyepakati Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 bahwa putusan MPR dilakukan dengan suara yang terbanyak (majority vote). Jadi voting itu halal adanya.
Demokrasi kita yang sering disebut sebagai deliberative democracy memang membawa semangat dan mendorong dilakukannya musyawarah mufakat untuk saling memberi dan menerima. Tetapi jika tidak berhasil, voting bisa dilakukan.
Konsekuensinya, semua pihak harus tunduk pada hasil voting dengan semangat kebersamaan. Yang menang tidak meninggalkan yang kalah, yang kalah tidak boleh merongrong yang menang. Di sanalah letak gotong royongnya sehingga tidak ada koalisi permanen maupun oposisi permanen antarkekuatan politik.
Di dalam bidang ekonomi sering juga ada tudingan bahwa Pembukaan UUD 1945 yang berintikan negara kesejahteraan dengan tujuan membangun keadilan sosial telah dituangkan secara salah dan menyimpang dalam UUD 1945. Frasa efisiensi yang yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (4) dianggap liberalistis dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat karena rakyat akan selalu dalam posisi lemah dan tidak akan bisa bersaing.
Tetapi para pendukung konsep efisiensi justru, sebaliknya, mengatakan bahwa ekonomi harus dikelola secara efisien agar produktivitasnya tinggi yang nantinya harus dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Begitu pun pengelolaan sumber daya alam yang menurut Pasal 33 UUD 1945 harus dipergunakan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sering dihadapkan pada dilema. Dalam bidang pertanahan, misalnya, dilema muncul karena jika tanah diserahkan kepada rakyat untuk dikelola begitu saja, bisa-bisa tidak produktif karena tidak tersedianya modal maupun lemahnya skill. Tetapi ketika diserahkan kepada investor agar dikelola secara produktif dan efisien, kemudian bisa dituding sebagai kebijakan liberal bahkan proasing.
Dulu Presiden Soekarno dikritik karena membuat politik hukum agraria yang berkeseimbangan melalui UU Pokok Agraria dan UU Landreform dengan menggariskan bahwa setiap orang boleh mempunyai hak milik atas tanah tetapi luasannya dibatasi” karena hak milik mempunyai fungsi sosial. Oleh kaum komunis, Bung Karno dikritik karena mengakui hak milik atas tanah yang menurut komunisme adalah haram, tetapi di sisi lain Bung Karno juga dikritik karena membatasi luasan kepemilikan atas tanah yang menurut kaum liberal merupakan bagian dari hak asasi.
Tudingan yang sama dialami Presiden Soeharto ketika membuat kebijakan pemanfaatan tanah untuk pembangunan dengan memberlakukan mekanisme “pembebasan” sebagai pengganti “pencabutan” hak atas tanah. Pak Harto dikritik tidak prorakyat.
Padahal, menurut pemerintah pada waktu itu, jika tidak mengambil kebijakan itu maka pembangunan infrastruktur tidak bisa lancar dan investasi akan sulit masuk ke Indonesia. Lalu timbul pertanyaan, penuangan ke dalam pasal-pasal UUD dan kebijakan hukum yang seperti apakah yang bisa dianggap sesuai Pembukaan UUD 1945?
Menurut saya, secara filosofis sebenarnya tidak ada yang secara kategoris harus dianggap salah sebagai penuangan Pancasila ke dalam UUD 1945 maupun ke dalam kebijakan turunannya. Sebagai ideologi terbuka, implementasi Pancasila itu bisa berubah-ubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi dan pilihan rezim pemerintahannya serta pilihan lembaga pembentuknya. Dasar teorinya, bisa memakai teori Resultante dari KC Wheare dan teori Prismatic dari Fred Riggs.
Sebenarnya masalah kita bukan terletak pada penuangan konsep dan pilihan kebijakan (legal policy), melainkan kerap terletak pada bobroknya mental penyelenggara negara. Itulah sebabnya yang kita tunggu sebenarnya adalah peta jalan (road map) revolusi mental.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SABTU 2 Desember 2017 ini, saya diundang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkumpul dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di Semarang untuk berseminar. Saya diminta berbicara tentang “Implementasi Pembukaan ke dalam UUD 1945”, topik yang selalu menarik untuk diperdebatkan. Pasalnya, banyak yang mengatakan UUD 1945 hasil amendemen yang ada sekarang ini bertentangan dengan Pancasila atau nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pembukaan.
Dikatakan, UUD 1945 yang berlaku sekarang tidak sesuai dengan Pancasila. Betulkah? Entahlah. Tetapi ada beberapa contoh yang disebutkan, misalnya pemilihan langsung, pemungutan suara (voting), penataan ekonomi.
Adanya pemilihan langsung dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi sebagaimana digariskan di dalam sila keempat Pancasila tentang “permusyawaratan/perwakilan”. Dikatakan oleh mereka, berdasarkan Pancasila seharusnya pemilihan (presiden dan kepala daerah) dilakukan oleh lembaga perwakilan, bukan langsung. Ini keliru karena sila keempat Pancasila itu tidak menggariskan keharusan pemilihan langsung atau tidak langsung.
Sila keempat itu hanya mengharuskan ada lembaga perwakilan yang bisa bermusyawarah untuk mengambil keputusan. Dan, lembaga-lembaga perwakilan untuk bermusyawarah itu sekarang sudah ada yakni DPR, DPD, MPR, DPRD. Adapun soal pemilihan presiden atau kepala daerah bisa dipilih langsung atau tidak langsung, bergantung pengaturannya oleh hasil musyawarah lembaga perwakilan yang ada bersama pemerintah.
Adapun masalah pemungutan suara (voting) dalam pengambilan keputusan, juga tidak salah dan tidak bertentangan dengan demokrasi Pancasila. Pandangan yang mengatakan keputusan harus dilakukan dengan musyawarah secara kekeluargaan tanpa ada voting bukan hanya tidak realistis, melainkan juga bertentangan dengan fakta sejarah tentang sikap para pendiri negara di BPUPKI dan PPKI pada 1945.
Para pendiri negara kita justru membentuk Negara Republik Indonesia melalui voting. Pilihan bentuk negara kesatuan merupakan hasil voting karena Bung Hatta mengusulkan bentuk negara federal. Begitu juga bentuk pemerintahan republik merupakan hasil voting setelah ada usul lain yang menghendaki bentuk kerajaan Indonesia.
Bahkan, para pendiri negara menyepakati Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 bahwa putusan MPR dilakukan dengan suara yang terbanyak (majority vote). Jadi voting itu halal adanya.
Demokrasi kita yang sering disebut sebagai deliberative democracy memang membawa semangat dan mendorong dilakukannya musyawarah mufakat untuk saling memberi dan menerima. Tetapi jika tidak berhasil, voting bisa dilakukan.
Konsekuensinya, semua pihak harus tunduk pada hasil voting dengan semangat kebersamaan. Yang menang tidak meninggalkan yang kalah, yang kalah tidak boleh merongrong yang menang. Di sanalah letak gotong royongnya sehingga tidak ada koalisi permanen maupun oposisi permanen antarkekuatan politik.
Di dalam bidang ekonomi sering juga ada tudingan bahwa Pembukaan UUD 1945 yang berintikan negara kesejahteraan dengan tujuan membangun keadilan sosial telah dituangkan secara salah dan menyimpang dalam UUD 1945. Frasa efisiensi yang yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (4) dianggap liberalistis dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat karena rakyat akan selalu dalam posisi lemah dan tidak akan bisa bersaing.
Tetapi para pendukung konsep efisiensi justru, sebaliknya, mengatakan bahwa ekonomi harus dikelola secara efisien agar produktivitasnya tinggi yang nantinya harus dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Begitu pun pengelolaan sumber daya alam yang menurut Pasal 33 UUD 1945 harus dipergunakan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sering dihadapkan pada dilema. Dalam bidang pertanahan, misalnya, dilema muncul karena jika tanah diserahkan kepada rakyat untuk dikelola begitu saja, bisa-bisa tidak produktif karena tidak tersedianya modal maupun lemahnya skill. Tetapi ketika diserahkan kepada investor agar dikelola secara produktif dan efisien, kemudian bisa dituding sebagai kebijakan liberal bahkan proasing.
Dulu Presiden Soekarno dikritik karena membuat politik hukum agraria yang berkeseimbangan melalui UU Pokok Agraria dan UU Landreform dengan menggariskan bahwa setiap orang boleh mempunyai hak milik atas tanah tetapi luasannya dibatasi” karena hak milik mempunyai fungsi sosial. Oleh kaum komunis, Bung Karno dikritik karena mengakui hak milik atas tanah yang menurut komunisme adalah haram, tetapi di sisi lain Bung Karno juga dikritik karena membatasi luasan kepemilikan atas tanah yang menurut kaum liberal merupakan bagian dari hak asasi.
Tudingan yang sama dialami Presiden Soeharto ketika membuat kebijakan pemanfaatan tanah untuk pembangunan dengan memberlakukan mekanisme “pembebasan” sebagai pengganti “pencabutan” hak atas tanah. Pak Harto dikritik tidak prorakyat.
Padahal, menurut pemerintah pada waktu itu, jika tidak mengambil kebijakan itu maka pembangunan infrastruktur tidak bisa lancar dan investasi akan sulit masuk ke Indonesia. Lalu timbul pertanyaan, penuangan ke dalam pasal-pasal UUD dan kebijakan hukum yang seperti apakah yang bisa dianggap sesuai Pembukaan UUD 1945?
Menurut saya, secara filosofis sebenarnya tidak ada yang secara kategoris harus dianggap salah sebagai penuangan Pancasila ke dalam UUD 1945 maupun ke dalam kebijakan turunannya. Sebagai ideologi terbuka, implementasi Pancasila itu bisa berubah-ubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi dan pilihan rezim pemerintahannya serta pilihan lembaga pembentuknya. Dasar teorinya, bisa memakai teori Resultante dari KC Wheare dan teori Prismatic dari Fred Riggs.
Sebenarnya masalah kita bukan terletak pada penuangan konsep dan pilihan kebijakan (legal policy), melainkan kerap terletak pada bobroknya mental penyelenggara negara. Itulah sebabnya yang kita tunggu sebenarnya adalah peta jalan (road map) revolusi mental.
(poe)