Petani Kekinian Sebagai Alternatif Upaya Penanggulangan Kemiskinan
A
A
A
Ibrahim Adrian Nugroho
Analisis pada Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia
HAMPIR di setiap akhir tahun kita banyak mendengar berita demonstrasi buruh yang terkait dengan
ketidakpuasan mereka terhadap Upah Minimum Regional (UMR). Demontrasi tersebut sebagian besar terjadi di kota-kota besar yang merupakan pusat industri dan perdagangan.
Bila ditelisik lebih lanjut, hampir sebagian besar buruh yang bekerja di perkotaan merupakan tenaga kerja migran yang berasal dari pedesaan. Di sisi lain, jumlah petani yang ada di pedesaan terus berkurang. Data
statistik yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah petani yang ada di Indonesia cenderung terus menurun setiap tahunnya. Pada
Agustus 2012, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 38,88 juta orang bekerja sebagai petani. Namun demikian, jumlah tersebut kini telah jauh berkurang menjadi hanya sebanyak 35,93 juta orang berdasarkan data BPS per Agustus 2017. Dengan kata lain, jumlah petani di Indonesia telah mengalami penurunan sebanyak 2,95 juta orang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Fenomena ini tidak bisa dianggap ‘sepele’ karena petani memiliki peran yang penting bagi ketersediaan pangan masyarakat. Bila kita mencermati kinerja sektor pertanian di Indonesia yang masih terbilang lemah, keengganan generasi muda untuk bekerja sebagai petani sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi. Anggapan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang kurang ‘menghasilkan’ memang tidak sepenuhnya salah. Data BPS menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor ekonomi dengan produktivitas (rasio antara PDB dan jumlah tenaga kerja) terendah.
Pada tahun 2016, produktivitas sektor pertanian tercatat sebesar 44 juta Rupiah; jauh di bawah sektor industri dan perdagangan dengan produktivitas masing-masing sebesar 164 juta dan 61 juta Rupiah. Rendahnya
produktivitas tersebut pada akhirnya juga menyebabkan rendahnya kesejahteraan petani. Hal tersebut
tercermin dari angka Nilai Tukar Petani (NTP) BPS yang seringkali berada di bawah 100. Artinya, daya tukar dari produk pertanian lebih rendah dibandingkan barang dan jasa lainnyayang dikonsumsi oleh petani.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian ialah intensifikasi permodalan. Hingga saat ini, kita dapat melihat bahwa kondisi sektor pertanian di Indonesia masih sangat tradisional. Minimnya penggunaan teknologi serta terbatasnya kemampuan teknis petani menyebabkan rendahnya produktivitas yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya kesejahteraan petani.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pangsa kredit yang diberikan perbankan kepada sektor pertanian per September 2017 hanya tercatat sebesar 6,95%; jauh lebih kecil dari sektor industri dan perdagangan yang masing-masing memiliki pangsa kredit sebesar 17,43% dan 20,95%. Padahal, sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Per Agustus 2017, BPS mencatat 29,69% atau hampir sepertiga dari seluruh tenaga kerja yang ada di Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Tingginya risiko kredit merupakan salah satu concern utama yang menyebabkan bank cenderung enggan
menyalurkan modalnya ke sektor pertanian. Masih banyaknya lahan pertanian yang belum tersertifikasi dengan baik menyebabkan perbankan sulit untuk mendapatkan agunan yang berkualitas sebagai salah satu
persyaratan administrasi yang wajib dipenuhi. Di lain pihak, tingkat kesadaran dan kemauan dari petani untuk mendapatkan kredit juga masih rendah karena terbatasnya pengetahuan petani mengenai produk-produk perbankan.
Dengan melihat berbagai kendala tersebut, saat ini sudah muncul inisiatif dari beberapa perusahaan besar untuk menyalurkan modal kepada petani melalui skema kerja sama. Melalui kerja sama tersebut, perusahaan bertindak sebagai ‘pembina’ para petani dengan memberikan suntikan modal maupun alat dan mesin pertanian (alsintan) yang ‘kekinian’. Tidak jarang pula perusahaan pembina memberikan pelatihan teknis bersama dengan tenaga penyuluh pertanian untuk meningkatkan kemampuan petani.
Setelah menerima bantuan, hasil panen dari petani-petani tersebut dijual kepada perusahaan sesuai dengan harga yang telah disepakati. Dengan adanya fasilitas dan kemampuan yang memadai, produktivitas petani menjadi lebih tinggi sehingga volume produksi pun meningkat. Hal ini pada gilirannya mampu mampu
mendatangkan penghasilan yang lebih besar bagi petani.
Tidak hanya petani, skema kerja sama seperti ini juga memberikan keuntungan tersendiri bagi perusahaan pembina. Beberapa keuntungan yang dapat dipetik oleh perusahaan diantaranya kemudahan untuk
mendapatkan bahan baku yang sesuai dengan standar kualitas, proses seleksi bahan baku yang lebih efisien, serta ketersediaan bahan baku yang lebih stabil. Perbankan pun merasa lebih nyaman untuk menyalurkan modal kepada petani secara tidak langsung melalui perusahaan pembinanya.
Beberapa contoh perusahaan yang telah sukses menerapkan model kerjasama seperti ini diantaranya PT Charoen Phokpand, PT Tiga Pilar Sejahtera, dan PT Sido Muncul yang berlokasi Jawa Tengah. Sampai saat ini jumlah tersebut masih terus bertambah sejalan dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang
mulai menerapkan model kerja sama serupa, khususnya bagi mereka yang bergerak di bidang makanan
olahan.
Ke depannya, petani-petani yang sudah maju diharapkan dapat mengembangkan pasar di luar perusahaan pembinanya. Melihat hal tersebut, perusahaan pembina juga perlu memberikan pelatihan kepada petani untuk meningkatkan value added produk-produk pertanian mereka sehingga manfaat yang diperoleh petani semakin besar.
Dengan semakin banyaknya contoh petani yang sukses, generasi muda akan semakin tertarik untuk menjadi petani. Dengan demikian, fenomena urbanisasi akan dapat berkurang dengan sendirinya. Anggapan masyarakat yang selama ini memandang bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang tidak dapat memberikan penghidupan yang layak lama kelamaan dapat bergeser. Lebih jauh lagi, stabilitas harga pangan akan dapat tercapai sehingga laju inflasi nasional dapat semakin terjaga.
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Analisis pada Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia
HAMPIR di setiap akhir tahun kita banyak mendengar berita demonstrasi buruh yang terkait dengan
ketidakpuasan mereka terhadap Upah Minimum Regional (UMR). Demontrasi tersebut sebagian besar terjadi di kota-kota besar yang merupakan pusat industri dan perdagangan.
Bila ditelisik lebih lanjut, hampir sebagian besar buruh yang bekerja di perkotaan merupakan tenaga kerja migran yang berasal dari pedesaan. Di sisi lain, jumlah petani yang ada di pedesaan terus berkurang. Data
statistik yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah petani yang ada di Indonesia cenderung terus menurun setiap tahunnya. Pada
Agustus 2012, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 38,88 juta orang bekerja sebagai petani. Namun demikian, jumlah tersebut kini telah jauh berkurang menjadi hanya sebanyak 35,93 juta orang berdasarkan data BPS per Agustus 2017. Dengan kata lain, jumlah petani di Indonesia telah mengalami penurunan sebanyak 2,95 juta orang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Fenomena ini tidak bisa dianggap ‘sepele’ karena petani memiliki peran yang penting bagi ketersediaan pangan masyarakat. Bila kita mencermati kinerja sektor pertanian di Indonesia yang masih terbilang lemah, keengganan generasi muda untuk bekerja sebagai petani sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi. Anggapan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang kurang ‘menghasilkan’ memang tidak sepenuhnya salah. Data BPS menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor ekonomi dengan produktivitas (rasio antara PDB dan jumlah tenaga kerja) terendah.
Pada tahun 2016, produktivitas sektor pertanian tercatat sebesar 44 juta Rupiah; jauh di bawah sektor industri dan perdagangan dengan produktivitas masing-masing sebesar 164 juta dan 61 juta Rupiah. Rendahnya
produktivitas tersebut pada akhirnya juga menyebabkan rendahnya kesejahteraan petani. Hal tersebut
tercermin dari angka Nilai Tukar Petani (NTP) BPS yang seringkali berada di bawah 100. Artinya, daya tukar dari produk pertanian lebih rendah dibandingkan barang dan jasa lainnyayang dikonsumsi oleh petani.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian ialah intensifikasi permodalan. Hingga saat ini, kita dapat melihat bahwa kondisi sektor pertanian di Indonesia masih sangat tradisional. Minimnya penggunaan teknologi serta terbatasnya kemampuan teknis petani menyebabkan rendahnya produktivitas yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya kesejahteraan petani.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pangsa kredit yang diberikan perbankan kepada sektor pertanian per September 2017 hanya tercatat sebesar 6,95%; jauh lebih kecil dari sektor industri dan perdagangan yang masing-masing memiliki pangsa kredit sebesar 17,43% dan 20,95%. Padahal, sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Per Agustus 2017, BPS mencatat 29,69% atau hampir sepertiga dari seluruh tenaga kerja yang ada di Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Tingginya risiko kredit merupakan salah satu concern utama yang menyebabkan bank cenderung enggan
menyalurkan modalnya ke sektor pertanian. Masih banyaknya lahan pertanian yang belum tersertifikasi dengan baik menyebabkan perbankan sulit untuk mendapatkan agunan yang berkualitas sebagai salah satu
persyaratan administrasi yang wajib dipenuhi. Di lain pihak, tingkat kesadaran dan kemauan dari petani untuk mendapatkan kredit juga masih rendah karena terbatasnya pengetahuan petani mengenai produk-produk perbankan.
Dengan melihat berbagai kendala tersebut, saat ini sudah muncul inisiatif dari beberapa perusahaan besar untuk menyalurkan modal kepada petani melalui skema kerja sama. Melalui kerja sama tersebut, perusahaan bertindak sebagai ‘pembina’ para petani dengan memberikan suntikan modal maupun alat dan mesin pertanian (alsintan) yang ‘kekinian’. Tidak jarang pula perusahaan pembina memberikan pelatihan teknis bersama dengan tenaga penyuluh pertanian untuk meningkatkan kemampuan petani.
Setelah menerima bantuan, hasil panen dari petani-petani tersebut dijual kepada perusahaan sesuai dengan harga yang telah disepakati. Dengan adanya fasilitas dan kemampuan yang memadai, produktivitas petani menjadi lebih tinggi sehingga volume produksi pun meningkat. Hal ini pada gilirannya mampu mampu
mendatangkan penghasilan yang lebih besar bagi petani.
Tidak hanya petani, skema kerja sama seperti ini juga memberikan keuntungan tersendiri bagi perusahaan pembina. Beberapa keuntungan yang dapat dipetik oleh perusahaan diantaranya kemudahan untuk
mendapatkan bahan baku yang sesuai dengan standar kualitas, proses seleksi bahan baku yang lebih efisien, serta ketersediaan bahan baku yang lebih stabil. Perbankan pun merasa lebih nyaman untuk menyalurkan modal kepada petani secara tidak langsung melalui perusahaan pembinanya.
Beberapa contoh perusahaan yang telah sukses menerapkan model kerjasama seperti ini diantaranya PT Charoen Phokpand, PT Tiga Pilar Sejahtera, dan PT Sido Muncul yang berlokasi Jawa Tengah. Sampai saat ini jumlah tersebut masih terus bertambah sejalan dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang
mulai menerapkan model kerja sama serupa, khususnya bagi mereka yang bergerak di bidang makanan
olahan.
Ke depannya, petani-petani yang sudah maju diharapkan dapat mengembangkan pasar di luar perusahaan pembinanya. Melihat hal tersebut, perusahaan pembina juga perlu memberikan pelatihan kepada petani untuk meningkatkan value added produk-produk pertanian mereka sehingga manfaat yang diperoleh petani semakin besar.
Dengan semakin banyaknya contoh petani yang sukses, generasi muda akan semakin tertarik untuk menjadi petani. Dengan demikian, fenomena urbanisasi akan dapat berkurang dengan sendirinya. Anggapan masyarakat yang selama ini memandang bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang tidak dapat memberikan penghidupan yang layak lama kelamaan dapat bergeser. Lebih jauh lagi, stabilitas harga pangan akan dapat tercapai sehingga laju inflasi nasional dapat semakin terjaga.
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
(rhs)