Target Kredit Meleset
A
A
A
KINERJA sektor jasa keuangan terus membaik menyusul kinerja makroekonomi domestik yang makin kinclong hingga Oktober lalu. Dalam publikasi terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinyatakan bahwa intermediasi lembaga jasa keuangan masih dalam level moderat.
Sebagaimana disampaikan Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK Imansyah dalam media briefing yang digelar kemarin, kondisi menggembirakan tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi hingga kuartal ketiga 2017 yang membaik ditandai kinerja ekspor dan investasi dalam dan luar negeri meningkat. Dan, didukung laju inflasi yang rendah serta defisit transaksi berjalan yang melandai.
Selain itu, pihak OJK mengklaim risiko kredit perbankan cenderung menurun. Tercatat kredit perbankan sebesar Rp183 triliun per Oktober 2017 atau lebih tinggi dibandingkan September 2017 yang hanya mencapai Rp166 triliun. Untuk dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 326 triliun.
Sementara itu, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio /CAR) perbankan tercetak sekitar 23,54% pada Oktober 2017 atau meningkat tipis dibandingkan September 2017 yang berada pada kisaran 23,25%. Adapun total pertumbuhan kredit perbankan mencapai 8,18% secara tahunan hingga Oktober lalu.
Bagaimana dengan rasio kredit bermasalah (non-performing loan /NPL)? Untuk posisi rasio kredit bermasalah, beritanya sedikit kurang menggembirakan karena terjadi kenaikan meski sangat tipis, yakni dari 2,93% (gross ) pada September 2017 menjadi 2,96% (gross ) pada Oktober 2017.
Lebih jauh pihak OJK mengakui secara sektoral pertumbuhan kredit perbankan masih meleset dari target yang telah dipatok sebelumnya. Data OJK menunjukkan bahwa kredit untuk konstruksi sebesar 19,07%, rumah tangga sekitar 11,26%, pertanian, perburuan, dan kehutanan tercatat 8,37%, industri pengolahan sekitar 6,93%, transportasi tercatat 5,9%, perdagangan besar dan eceran 4,94%, dan pertambangan dan penggalian malah tercatat minus atau -5,15%.
Melambatnya penyaluran kredit, OJK menduga salah satu penyebabnya pihak perbankan sedang berkonsolidasi untuk mengurangi risiko kredit, di antaranya restrukturisasi kredit dan hapus buku kredit bermasalah.
Sementara itu, kredit perbankan yang belum disalurkan (undibursed loan ) tercatat Rp1.400 triliun per September 2017 atau naik tipis dari Rp1.392 triliun pada Agustus 2017.
Yang menarik, sebagian besar dari angka yang tersaji tersebut adalah berupa undibursed loan committed, yang berarti perbankan telah menyiapkan dana segera disalurkan. Kenaikan angka kredit perbankan yang belum disalurkan sebagaimana dicatat OJK terjadi sejak Juni tahun lalu, dan sempat mencapai angka tertinggi yang melewati Rp1.400 triliun pada April 2017.
Meski dana kredit perbankan tersedia memadai, harapan pemerintah untuk meraih target pertumbuhan penyaluran kredit yang dipatok mencapai sebesar 11% sulit untuk direalisasikan hingga akhir tahun ini.
Pihak OJK hanya memprediksi pertumbuhan penyaluran kredit perbankan tidak lebih dari 10% hingga akhir tahun dengan catatan dibutuhkan upaya luar biasa mengingat waktu yang sangat terbatas. Sebelumnya, target pertumbuhan penyaluran kredit dipasang 13%, lalu dikoreksi menjadi 11%. Meski target sudah dikecilkan, fakta di lapangan tetap sulit untuk merealisasikan target tersebut.
Adapun proyeksi Bank Indonesia (BI) atas pertumbuhan penyaluran kredit perbankan lebih rendah daripada pihak OJK. Bank sentral hanya berani memasang prediksi pertumbuhan penyaluran kredit sekitar 8% hingga akhir tahun ini. Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo menyebutkan ada dua faktor yang menyebabkan pertumbuhan kredit melamban.
Pertama , permintaan kredit yang masih melemah. Hal itu disebabkan sebagian besar korporasi masih menahan diri mencairkan kredit sambil mencermati kondisi perekonomian dunia dan perkembangan harga komoditas. Kedua , pihak perbankan masih menimbang kecenderungan meningkatnya NPL dan risiko kredit. Dengan melihat pertumbuhan penyaluran kredit yang rendah, bank sentral menetapkan tambahan modal sebagai penyanggah (Countercyclical Capital Buffer /CCB) tetap 0%. Pihak BI berharap perbankan dapat terus meningkatkan fungsi intermediasi.
Bagaimana dengan proyeksi pertumbuhan penyaluran kredit perbankan tahun depan? Pihak OJK lebih optimistis akan jauh lebih baik dibandingkan tahun ini. Tengok saja, OJK memasang proyeksi pertumbuhan kredit sebesar 12%.
Tahun depan meski sebagai tahun politik (penyelenggaraan pilkada serentak) yang dikhawatirkan sejumlah kalangan bisa berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, pihak OJK tetap melihat pilkada salah satu momen mendorong pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, selain faktor pertumbuhan ekonomi tahun depan yang diramalkan lebih baik dari tahun ini.
Sebagaimana disampaikan Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK Imansyah dalam media briefing yang digelar kemarin, kondisi menggembirakan tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi hingga kuartal ketiga 2017 yang membaik ditandai kinerja ekspor dan investasi dalam dan luar negeri meningkat. Dan, didukung laju inflasi yang rendah serta defisit transaksi berjalan yang melandai.
Selain itu, pihak OJK mengklaim risiko kredit perbankan cenderung menurun. Tercatat kredit perbankan sebesar Rp183 triliun per Oktober 2017 atau lebih tinggi dibandingkan September 2017 yang hanya mencapai Rp166 triliun. Untuk dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 326 triliun.
Sementara itu, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio /CAR) perbankan tercetak sekitar 23,54% pada Oktober 2017 atau meningkat tipis dibandingkan September 2017 yang berada pada kisaran 23,25%. Adapun total pertumbuhan kredit perbankan mencapai 8,18% secara tahunan hingga Oktober lalu.
Bagaimana dengan rasio kredit bermasalah (non-performing loan /NPL)? Untuk posisi rasio kredit bermasalah, beritanya sedikit kurang menggembirakan karena terjadi kenaikan meski sangat tipis, yakni dari 2,93% (gross ) pada September 2017 menjadi 2,96% (gross ) pada Oktober 2017.
Lebih jauh pihak OJK mengakui secara sektoral pertumbuhan kredit perbankan masih meleset dari target yang telah dipatok sebelumnya. Data OJK menunjukkan bahwa kredit untuk konstruksi sebesar 19,07%, rumah tangga sekitar 11,26%, pertanian, perburuan, dan kehutanan tercatat 8,37%, industri pengolahan sekitar 6,93%, transportasi tercatat 5,9%, perdagangan besar dan eceran 4,94%, dan pertambangan dan penggalian malah tercatat minus atau -5,15%.
Melambatnya penyaluran kredit, OJK menduga salah satu penyebabnya pihak perbankan sedang berkonsolidasi untuk mengurangi risiko kredit, di antaranya restrukturisasi kredit dan hapus buku kredit bermasalah.
Sementara itu, kredit perbankan yang belum disalurkan (undibursed loan ) tercatat Rp1.400 triliun per September 2017 atau naik tipis dari Rp1.392 triliun pada Agustus 2017.
Yang menarik, sebagian besar dari angka yang tersaji tersebut adalah berupa undibursed loan committed, yang berarti perbankan telah menyiapkan dana segera disalurkan. Kenaikan angka kredit perbankan yang belum disalurkan sebagaimana dicatat OJK terjadi sejak Juni tahun lalu, dan sempat mencapai angka tertinggi yang melewati Rp1.400 triliun pada April 2017.
Meski dana kredit perbankan tersedia memadai, harapan pemerintah untuk meraih target pertumbuhan penyaluran kredit yang dipatok mencapai sebesar 11% sulit untuk direalisasikan hingga akhir tahun ini.
Pihak OJK hanya memprediksi pertumbuhan penyaluran kredit perbankan tidak lebih dari 10% hingga akhir tahun dengan catatan dibutuhkan upaya luar biasa mengingat waktu yang sangat terbatas. Sebelumnya, target pertumbuhan penyaluran kredit dipasang 13%, lalu dikoreksi menjadi 11%. Meski target sudah dikecilkan, fakta di lapangan tetap sulit untuk merealisasikan target tersebut.
Adapun proyeksi Bank Indonesia (BI) atas pertumbuhan penyaluran kredit perbankan lebih rendah daripada pihak OJK. Bank sentral hanya berani memasang prediksi pertumbuhan penyaluran kredit sekitar 8% hingga akhir tahun ini. Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo menyebutkan ada dua faktor yang menyebabkan pertumbuhan kredit melamban.
Pertama , permintaan kredit yang masih melemah. Hal itu disebabkan sebagian besar korporasi masih menahan diri mencairkan kredit sambil mencermati kondisi perekonomian dunia dan perkembangan harga komoditas. Kedua , pihak perbankan masih menimbang kecenderungan meningkatnya NPL dan risiko kredit. Dengan melihat pertumbuhan penyaluran kredit yang rendah, bank sentral menetapkan tambahan modal sebagai penyanggah (Countercyclical Capital Buffer /CCB) tetap 0%. Pihak BI berharap perbankan dapat terus meningkatkan fungsi intermediasi.
Bagaimana dengan proyeksi pertumbuhan penyaluran kredit perbankan tahun depan? Pihak OJK lebih optimistis akan jauh lebih baik dibandingkan tahun ini. Tengok saja, OJK memasang proyeksi pertumbuhan kredit sebesar 12%.
Tahun depan meski sebagai tahun politik (penyelenggaraan pilkada serentak) yang dikhawatirkan sejumlah kalangan bisa berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, pihak OJK tetap melihat pilkada salah satu momen mendorong pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, selain faktor pertumbuhan ekonomi tahun depan yang diramalkan lebih baik dari tahun ini.
(maf)