Agama dan Kewarganegaraan Tidak Bertentangan
A
A
A
Lukman Hakim Saifuddin
Menteri Agama
Dalam beberapa hari terakhir ini muncul diskursus yang mempertentangkan agama dan kewarganegaraan. Argumen yang dimunculkan adalah dalam agama Islam tidak dikenal nasionalisme dan kewarganegaraan.
Dan, Nabi Muhammad sekalipun tidak pernah memberikan sabda dan fatwa seputar nasionalisme dan citizenship . Benarkah demikian? Tampaknya asumsi tersebut perlu ditinjau ulang.
Pada dasarnya kewarganegaraan muncul dari loyalitas atas dasar kesamaan tempat tinggal, tanah air tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Lebih dari itu, cinta dan loyal kepada tanah air merupakan fitrah kemanusiaan yang diakui dan diapresiasi oleh agama mana pun.
Dalam tradisi kaum santri terdapat ungkapan sangat populer hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Meski itu bukan Hadits, makna dan substansinya sejalan dan sangat dianjurkan oleh agama (masyru').
Anjuran ini sangat populer digunakan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mengobarkan semangat santri dan masyarakat berjuang melawan penjajah Belanda.
Tanah air adalah tempat warga bangsa menjalankan ajaran agama. Membela dan mempertahankan tanah air adalah bagian dari upaya menegakkan agama.
Bahkan ibadah mahdhah pun semisal salat dan haji menjadi tidak wajib ketika keadaan (negara) sedang dalam kondisi tidak aman. Dengan kata lain, membela tanah air dan menjaga keutuhannya merupakan kewajiban agama.
Dalam Kaidah Fikih disebutkan: ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpa ada faktor pendukung, maka faktor pendukung itu sifatnya menjadi wajib.
Praktisnya, bagaimana masyarakat dapat menjalankan ajaran agama dengan baik jika negara tercabik-cabik, hancur porak-poranda, dan selalu dalam kondisi tidak aman. Karena itu, setiap umat beragama yang diikat dalam kesamaan warga negara berkewajiban menciptakan suasana damai dan harmoni di tengah keragaman yang ada.
Lebih dari itu, dalam kajian Maqashidus Syariah, ajaran Islam datang untuk melindungi hak-hak kemanusiaan antara lain agama (hifzhu al-din ) dan jiwa (hifzh u al-nafs ).
Kesepakatan sebagai bangsa dan warga negara untuk hidup aman dan damai, sehingga terhindar dari perpecahan dan peperangan antarwarga, harus dijunjung tinggi agar kehidupan beragama dapat senantiasa terjaga rukun dan harmoni.
Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh kalangan terutama para agamawan, cendekiawan, dan intelektual muslim untuk terus mengkaji formula yang terbaik dalam mendudukkan agama, identitas, dan kewarganegaraan pada posisi yang tepat, tidak harus vis-a-vis, dengan tetap mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan seperti yang dilakukan para pendahulu bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, diskusi ini menjadi relevan di tengah potensi munculnya berbagai konflik politik di banyak wilayah yang dipicu oleh keragaman identitas; agama, etnik, budaya, dan sebagainya dalam masyarakat. Tidak jarang konflik tersebut berujung pada kekerasan etnik atau kekerasan atas nama agama.
Diskursus mengenai relasi antarumat beragama pernah dan akan terus menjadi perdebatan, terutama di kalangan akademisi dan pengamat hubungan internasional.
Samuel Huntington (1993) pernah mencoba mengemukakan statement provokatif dengan tesisnya bahwa Islam akan menjadi kompetitor Barat setelah Uni Soviet runtuh dan perang dingin berakhir.
Berbeda dengan Huntington, Bernard Lewis (1993) lebih memilih menggunakan istilah Islam and the West untuk mendudukkan posisi antara Islam dan dunia Barat secara egaliter karena sebenarnya memiliki akar sejarah yang sama, terutama secara filosofis, yaitu filsafat Yunani.
Demikian juga dengan Richard Bulliet (2005) yang memperkenalkan istilah Islamo-Cristian Civilization untuk menjembatani bahwa Islam dan Barat (atau Kristen) pada masa lalu memiliki peradaban yang sama (shared civilization ).
Salah satu sejarawan juga menulis bahwa Nabi Muhammad begitu rindu pada tanah kelahirannya, Mekkah, saat mereka harus berhijrah ke Madinah karena Mekkah sudah tidak lagi memberikan kenyamanan dan keamanan untuk melaksanakan ajaran agama. Bukankah itu menunjukkan bahwa Nabi juga memiliki nasionalisme?
Dalam konteks yang lebih luas lagi, sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pada zaman Nabi Muhammad pernah dikenal adanya agreement yang disebut dengan Piagam Madinah (Medina Charter) yang secara jelas mengakui hak-hak kewarganegaraan bagi seluruh komponen masyarakat Madinah, terlepas dari perbedaan agama, suku, dan ras yang ada saat itu.
Dengan tegas dinyatakan dalam piagam itu, "anna al- y ahud a ummah, wa al- muslimin a ummah " (orang Yahudi dan Islam adalah umat dalam ikatan identitas agama masing-masing), tetapi pada saat yang sama, "anna al- muslimina wa al- yahuda ummah" (kaum Islam dan Yahudi adalah satu umat yang diikat oleh kesamaan sebagai warga negara).
Montgomerry Watt (1961) menyatakan bahwa Piagam Madinah merupakan"first ever written constitution in the world", konstitusi tertulis yang pertama di dunia, bukan piagam Magna Charta sebagaimana diakui beberapa cendekiawan. Prinsipnya jelas, sebagaimana dikemukakan Rasulullah, "lahum mâ lanâ wa `alayhim mâ `alayna " (mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita).
Hal ini juga, masih menurut Watt, yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad bukan hanya pemimpin agama, namun juga negarawan (statesman ). Dalam berbagai perspektif mengenai teori kewarganegaraan (misalnya Michael Lister, 2008) salah satu poin kuncinya adalah ada persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara tanpa memandang latar belakang agama, ras, suku, dan etnisitas.
Dan, tidak dikenal ada minoritas dan mayoritas. Tidak ada yang membedakan antara individu sebagai bagian dari kelompok mayoritas atau minoritas dalam hal hak dan kewajiban.
Dalam konteks Indonesia, konsep hampir serupa dibuat para pendiri bangsa yang terdiri atas berbagai komponen masyarakat ini. Mereka bersepakat menetapkan Pancasila sebagai dasar dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dengan prinsip "Bhinneka Tunggal Ika", dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila diakui sebagai wujud nyata pengakuan akan realitas keragaman suku, agama, ras, dan etnis yang ada di negeri ini. Termasuk dengan dihilangkannya tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi bukti konkret bahwa persatuan seluruh warga negara telah dijunjung tinggi di atas kepentingan golongan atau kelompok tertentu.
Inilah yang kemudian menginspirasi kita bahwa kewarganegaraan bukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya, justru kewarganegaraan perlu diperjuangkan demi terlaksananya ibadah mahdhah sekaligus ibadah sosial bagi para pemeluk berbagai agama.
Terakhir, bagi kita yang meyakini sebagai pemeluk Islam, satu hal harus selalu ingat bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan umat Islam yang ada di Indonesia.
Dengan begitu, kita sebagai warga negara akan senantiasa melihat Indonesia sebagai sebuah entitas yang plural dari sisi agama, ras, suku, etnisitas, dan lain-lain sehingga semangat persatuan akan selalu dijunjung tinggi.
Menteri Agama
Dalam beberapa hari terakhir ini muncul diskursus yang mempertentangkan agama dan kewarganegaraan. Argumen yang dimunculkan adalah dalam agama Islam tidak dikenal nasionalisme dan kewarganegaraan.
Dan, Nabi Muhammad sekalipun tidak pernah memberikan sabda dan fatwa seputar nasionalisme dan citizenship . Benarkah demikian? Tampaknya asumsi tersebut perlu ditinjau ulang.
Pada dasarnya kewarganegaraan muncul dari loyalitas atas dasar kesamaan tempat tinggal, tanah air tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Lebih dari itu, cinta dan loyal kepada tanah air merupakan fitrah kemanusiaan yang diakui dan diapresiasi oleh agama mana pun.
Dalam tradisi kaum santri terdapat ungkapan sangat populer hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Meski itu bukan Hadits, makna dan substansinya sejalan dan sangat dianjurkan oleh agama (masyru').
Anjuran ini sangat populer digunakan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mengobarkan semangat santri dan masyarakat berjuang melawan penjajah Belanda.
Tanah air adalah tempat warga bangsa menjalankan ajaran agama. Membela dan mempertahankan tanah air adalah bagian dari upaya menegakkan agama.
Bahkan ibadah mahdhah pun semisal salat dan haji menjadi tidak wajib ketika keadaan (negara) sedang dalam kondisi tidak aman. Dengan kata lain, membela tanah air dan menjaga keutuhannya merupakan kewajiban agama.
Dalam Kaidah Fikih disebutkan: ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpa ada faktor pendukung, maka faktor pendukung itu sifatnya menjadi wajib.
Praktisnya, bagaimana masyarakat dapat menjalankan ajaran agama dengan baik jika negara tercabik-cabik, hancur porak-poranda, dan selalu dalam kondisi tidak aman. Karena itu, setiap umat beragama yang diikat dalam kesamaan warga negara berkewajiban menciptakan suasana damai dan harmoni di tengah keragaman yang ada.
Lebih dari itu, dalam kajian Maqashidus Syariah, ajaran Islam datang untuk melindungi hak-hak kemanusiaan antara lain agama (hifzhu al-din ) dan jiwa (hifzh u al-nafs ).
Kesepakatan sebagai bangsa dan warga negara untuk hidup aman dan damai, sehingga terhindar dari perpecahan dan peperangan antarwarga, harus dijunjung tinggi agar kehidupan beragama dapat senantiasa terjaga rukun dan harmoni.
Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh kalangan terutama para agamawan, cendekiawan, dan intelektual muslim untuk terus mengkaji formula yang terbaik dalam mendudukkan agama, identitas, dan kewarganegaraan pada posisi yang tepat, tidak harus vis-a-vis, dengan tetap mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan seperti yang dilakukan para pendahulu bangsa Indonesia.
Dalam konteks ini, diskusi ini menjadi relevan di tengah potensi munculnya berbagai konflik politik di banyak wilayah yang dipicu oleh keragaman identitas; agama, etnik, budaya, dan sebagainya dalam masyarakat. Tidak jarang konflik tersebut berujung pada kekerasan etnik atau kekerasan atas nama agama.
Diskursus mengenai relasi antarumat beragama pernah dan akan terus menjadi perdebatan, terutama di kalangan akademisi dan pengamat hubungan internasional.
Samuel Huntington (1993) pernah mencoba mengemukakan statement provokatif dengan tesisnya bahwa Islam akan menjadi kompetitor Barat setelah Uni Soviet runtuh dan perang dingin berakhir.
Berbeda dengan Huntington, Bernard Lewis (1993) lebih memilih menggunakan istilah Islam and the West untuk mendudukkan posisi antara Islam dan dunia Barat secara egaliter karena sebenarnya memiliki akar sejarah yang sama, terutama secara filosofis, yaitu filsafat Yunani.
Demikian juga dengan Richard Bulliet (2005) yang memperkenalkan istilah Islamo-Cristian Civilization untuk menjembatani bahwa Islam dan Barat (atau Kristen) pada masa lalu memiliki peradaban yang sama (shared civilization ).
Salah satu sejarawan juga menulis bahwa Nabi Muhammad begitu rindu pada tanah kelahirannya, Mekkah, saat mereka harus berhijrah ke Madinah karena Mekkah sudah tidak lagi memberikan kenyamanan dan keamanan untuk melaksanakan ajaran agama. Bukankah itu menunjukkan bahwa Nabi juga memiliki nasionalisme?
Dalam konteks yang lebih luas lagi, sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pada zaman Nabi Muhammad pernah dikenal adanya agreement yang disebut dengan Piagam Madinah (Medina Charter) yang secara jelas mengakui hak-hak kewarganegaraan bagi seluruh komponen masyarakat Madinah, terlepas dari perbedaan agama, suku, dan ras yang ada saat itu.
Dengan tegas dinyatakan dalam piagam itu, "anna al- y ahud a ummah, wa al- muslimin a ummah " (orang Yahudi dan Islam adalah umat dalam ikatan identitas agama masing-masing), tetapi pada saat yang sama, "anna al- muslimina wa al- yahuda ummah" (kaum Islam dan Yahudi adalah satu umat yang diikat oleh kesamaan sebagai warga negara).
Montgomerry Watt (1961) menyatakan bahwa Piagam Madinah merupakan"first ever written constitution in the world", konstitusi tertulis yang pertama di dunia, bukan piagam Magna Charta sebagaimana diakui beberapa cendekiawan. Prinsipnya jelas, sebagaimana dikemukakan Rasulullah, "lahum mâ lanâ wa `alayhim mâ `alayna " (mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita).
Hal ini juga, masih menurut Watt, yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad bukan hanya pemimpin agama, namun juga negarawan (statesman ). Dalam berbagai perspektif mengenai teori kewarganegaraan (misalnya Michael Lister, 2008) salah satu poin kuncinya adalah ada persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara tanpa memandang latar belakang agama, ras, suku, dan etnisitas.
Dan, tidak dikenal ada minoritas dan mayoritas. Tidak ada yang membedakan antara individu sebagai bagian dari kelompok mayoritas atau minoritas dalam hal hak dan kewajiban.
Dalam konteks Indonesia, konsep hampir serupa dibuat para pendiri bangsa yang terdiri atas berbagai komponen masyarakat ini. Mereka bersepakat menetapkan Pancasila sebagai dasar dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dengan prinsip "Bhinneka Tunggal Ika", dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila diakui sebagai wujud nyata pengakuan akan realitas keragaman suku, agama, ras, dan etnis yang ada di negeri ini. Termasuk dengan dihilangkannya tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi bukti konkret bahwa persatuan seluruh warga negara telah dijunjung tinggi di atas kepentingan golongan atau kelompok tertentu.
Inilah yang kemudian menginspirasi kita bahwa kewarganegaraan bukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya, justru kewarganegaraan perlu diperjuangkan demi terlaksananya ibadah mahdhah sekaligus ibadah sosial bagi para pemeluk berbagai agama.
Terakhir, bagi kita yang meyakini sebagai pemeluk Islam, satu hal harus selalu ingat bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan umat Islam yang ada di Indonesia.
Dengan begitu, kita sebagai warga negara akan senantiasa melihat Indonesia sebagai sebuah entitas yang plural dari sisi agama, ras, suku, etnisitas, dan lain-lain sehingga semangat persatuan akan selalu dijunjung tinggi.
(nag)