Pelajaran dari Kasus Penolakan Klaim Flexi Care
A
A
A
Hotbonar Sinaga
Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko & Asuransi (STIMRA)
RABU 18 Oktober 2017 STIMRA bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Asuransi Indonesia (LPAI) menyelenggarakan seminar untuk membedah kasus penolakan klaim asuransi kesehatan Hospital Cash Plan. Seminar yang diselenggarakan dunia kampus ini bertujuan untuk memperoleh solusi dari kasus tersebut dengan meminta Dr Kornelius Simanjuntak, seorang doktor ilmu hukum, sebagai pembicara utama. Penyampaian makalahnya ditanggapi tiga orang panelis, yaitu Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Tulus Abadi SH dan dua praktisi hukum asuransi Dr Ketut Sendra serta Hendro Saryanto SH MH.
Selama ini rujukan Perjanjian Asuransi (”Polis”) masih mengacu pada KUHD yang telah berumur 170 tahun. Kita juga sudah memiliki UU Perasuransian No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. UU tersebut substansinya tentang bagaimana menjalankan usaha perasuransian dan tidak membahas secara khusus mengenai Perjanjian Asuransi. Konsep UU tentang Perjanjian Asuransi pernah disusun tahun 1990-an, namun belum ada berita kelanjutannya.
Pembicara utama yang sangat menguasai ilmu hukum asuransi dan berpengalaman sebagai praktisi asuransi lebih dari 40 tahun itu menyampaikan bahwa perjanjian atau kontrak asuransi pada dasarnya adalah kontrak indemnitas (contract of indemnity). Kontrak ini membatasi besarnya ganti kerugian yang harus dibayar perusahaan asuransi sebagai penanggung dalam hal terjadinya kerugian tertanggung (klaim), maksimum sebesar kerugian yang diderita oleh tertanggung. Posisi atau kondisi keuangan tertanggung sesudah dan sebelum terjadinya klaim tidak boleh diuntungkan. Ini yang disebut ganti rugi yang berimbang. Pengecualian adalah dalam polis asuransi jiwa yang berkaitan dengan mati-hidupnya seseorang bukanlah kontrak indemnitas, melainkan kontrak manfaat (contract of benefit).
Selain Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan badan hukum publik BPJS Kesehatan, kita kenal juga dua jenis asuransi kesehatan yang dijual badan usaha asuransi. Pertama adalah asuransi kesehatan sebagai top-up program JKN yang memberikan tambahan ekstra manfaat nonmedis. Kategori pertama ini memerlukan koordinasi manfaat (coordination of benefit atau COB) dengan penyelenggara JKN.Asuransi kesehatan jenis ini menerapkan prinsip indemnitas yang berarti pihak asuransi akan memberikan ganti rugi (to indemnify) kepada tertanggungnya (”claimant”) sebatas kerugian atau biaya ”real” yang dibayarkannya kepada penyedia pelayanan kesehatan.
Jenis kedua adalah asuransi bernama generik Hospital Cash Plan dengan berbagai nama ”dagang” lainnya seperti Flexi Care, Daily Hospital Benefit, Hospitalization Income Insurance dsb. Untuk jenis yang kedua ini, prinsip indemnitas tidak diberlakukan sehingga seseorang dapat membeli polis dari beberapa perusahaan asuransi. Inilah yang menjadi biang kerok permasalahan yang terjadi baru-baru ini.
Menurut Dr Kornelius, hal ini bertentangan dengan hakikat dan prinsip hukum asuransi, antara lain karena terbuka kemungkinan tertanggung mengambil keuntungan dari klaim yang timbul sehingga memperoleh pembayaran ganti rugi melampaui biaya yang dikeluarkannya. Konsultan hukum Hendro Saryanto menyebut produk asuransi kesehatan ini ”cacat hukum”. Produk jenis kedua ini cukup banyak peminatnya. Dr Ketut Sendra menyebut jenis asuransi ini mudah dijual karena simpel serta memang dibutuhkan untuk menutup biaya tambahan selama dirawat di rumah sakit sehingga wajar bila prosedur pengajuan dan penyelesaian klaimnya seharusnya juga mudah.
Kelemahan produk ini secara mendasar menciptakan peluang besar untuk mengakali perusahaan asuransi. Konsultan hukum dan investigator Hendro Saryanto menyampaikan memang ada ”sindikat” yang mengorganisasi beberapa orang bahkan melalui perusahaan sebagai tertanggung kelompok untuk membobol perusahaan asuransi. Nilai klaim yang diajukan memang secara relatif kecil-kecil karena manfaat yang diberikan dibatasi jumlah hari maupun nilai rupiah penggantiannya per hari. Akan tetapi, akumulasi jumlah klaim yang diajukan kepada beberapa perusahaan asuransi yang berbeda mencapai miliaran rupiah.
Terlepas dari masalah teknis produk asuransi kesehatan tersebut, pihak tertanggung melalui pengacaranya menggunakan UU Perlindungan Konsumen (UU No 8 Tahun 1999) untuk memidanakan perusahaan asuransi. Lazimnya yang dijadikan rujukan adalah UU Perasuransian sehingga menjadi kasus perdata. Dalam UU ini ketentuan pidana disebutkan dalam pasal 73 s/d 82 dan tidak terkait sama sekali dengan penolakan klaim. Untuk klaim perorangan, dalam catatan polis dijelaskan seandainya terjadi sengketa, Tertanggung dapat mengajukannya kepada Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia atau BMAI yang sengaja dibentuk guna mencari solusi ”win-win” untuk kasus klaim perorangan tidak melebihi nilai Rp500 juta per kasus.
Pembicara Utama menyampaikan bahwa UU Perlindungan Konsumen pada awalnya hanya dikhususkan untuk konsumen barang dan kata ”jasa” ditambahkan setelah kata ”barang” dengan ditambah garis miring. Hal ini diamini oleh Tulus Abadi dari YLKI. Ketua Pengurus Harian YLKI tersebut menyatakan bahwa konstruksi hukum UU Perlindungan Konsumen memang bukan untuk jasa.
Penulis yang menjadi moderator dalam seminar tersebut menyampaikan beberapa kesimpulan seminar, yaitu: Pertama, perusahaan asuransi diimbau untuk ekstrahati-hati dalam menjual produk asuransi Hospital Cash Plan dengan pembatasan yang lebih ketat dan menerapkan prinsip know your customer (KYC). Kedua, untuk menghindari kecurangan, perusahaan asuransi yang saat ini sudah menjual produk Hospital Cash Plan perlu mempertimbangkan untuk menghentikan penjualannya atau paling tidak memperketat persyaratan seperti disebutkan pada butir 1.
Ketiga, perlu dilakukan upaya untuk segera mengamandemen UU Perlindungan Konsumen yang konstruksi hukumnya bukan untuk jasa. Keempat, UU Perjanjian Asuransi yang masih berupa draf dan saat ini ada di tangan BPHN Kemenkumham, segera didesak oleh Dewan Asuransi Indonesia dengan dukungan OJK bidang IKNB untuk segera masuk Prolegnas di DPR. Kelima, untuk mencari solusi atas beberapa kasus yang tengah berjalan, diharapkan peran OJK, khususnya bidang Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) maupun Edukasi & Perlindungan Konsumen (EPK), memberikan pemahaman kepada pihak kepolisian tanpa bermaksud melakukan intervensi.
Hal ini sangat diperlukan bagi perusahaan asuransi untuk mencegah efek domino kasus pemidanaan perusahaan asuransi akibat penolakan klaim. Keenam, perlu dilaksanakan seminar lanjutan sehubungan dengan perkembangan terakhir, yakni pencabutan laporan oleh tertanggung dan pengalihan hak tagih klaim kepada pihak ketiga. Proses penyidikan pun dengan sendirinya dihentikan.
Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko & Asuransi (STIMRA)
RABU 18 Oktober 2017 STIMRA bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Asuransi Indonesia (LPAI) menyelenggarakan seminar untuk membedah kasus penolakan klaim asuransi kesehatan Hospital Cash Plan. Seminar yang diselenggarakan dunia kampus ini bertujuan untuk memperoleh solusi dari kasus tersebut dengan meminta Dr Kornelius Simanjuntak, seorang doktor ilmu hukum, sebagai pembicara utama. Penyampaian makalahnya ditanggapi tiga orang panelis, yaitu Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Tulus Abadi SH dan dua praktisi hukum asuransi Dr Ketut Sendra serta Hendro Saryanto SH MH.
Selama ini rujukan Perjanjian Asuransi (”Polis”) masih mengacu pada KUHD yang telah berumur 170 tahun. Kita juga sudah memiliki UU Perasuransian No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. UU tersebut substansinya tentang bagaimana menjalankan usaha perasuransian dan tidak membahas secara khusus mengenai Perjanjian Asuransi. Konsep UU tentang Perjanjian Asuransi pernah disusun tahun 1990-an, namun belum ada berita kelanjutannya.
Pembicara utama yang sangat menguasai ilmu hukum asuransi dan berpengalaman sebagai praktisi asuransi lebih dari 40 tahun itu menyampaikan bahwa perjanjian atau kontrak asuransi pada dasarnya adalah kontrak indemnitas (contract of indemnity). Kontrak ini membatasi besarnya ganti kerugian yang harus dibayar perusahaan asuransi sebagai penanggung dalam hal terjadinya kerugian tertanggung (klaim), maksimum sebesar kerugian yang diderita oleh tertanggung. Posisi atau kondisi keuangan tertanggung sesudah dan sebelum terjadinya klaim tidak boleh diuntungkan. Ini yang disebut ganti rugi yang berimbang. Pengecualian adalah dalam polis asuransi jiwa yang berkaitan dengan mati-hidupnya seseorang bukanlah kontrak indemnitas, melainkan kontrak manfaat (contract of benefit).
Selain Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan badan hukum publik BPJS Kesehatan, kita kenal juga dua jenis asuransi kesehatan yang dijual badan usaha asuransi. Pertama adalah asuransi kesehatan sebagai top-up program JKN yang memberikan tambahan ekstra manfaat nonmedis. Kategori pertama ini memerlukan koordinasi manfaat (coordination of benefit atau COB) dengan penyelenggara JKN.Asuransi kesehatan jenis ini menerapkan prinsip indemnitas yang berarti pihak asuransi akan memberikan ganti rugi (to indemnify) kepada tertanggungnya (”claimant”) sebatas kerugian atau biaya ”real” yang dibayarkannya kepada penyedia pelayanan kesehatan.
Jenis kedua adalah asuransi bernama generik Hospital Cash Plan dengan berbagai nama ”dagang” lainnya seperti Flexi Care, Daily Hospital Benefit, Hospitalization Income Insurance dsb. Untuk jenis yang kedua ini, prinsip indemnitas tidak diberlakukan sehingga seseorang dapat membeli polis dari beberapa perusahaan asuransi. Inilah yang menjadi biang kerok permasalahan yang terjadi baru-baru ini.
Menurut Dr Kornelius, hal ini bertentangan dengan hakikat dan prinsip hukum asuransi, antara lain karena terbuka kemungkinan tertanggung mengambil keuntungan dari klaim yang timbul sehingga memperoleh pembayaran ganti rugi melampaui biaya yang dikeluarkannya. Konsultan hukum Hendro Saryanto menyebut produk asuransi kesehatan ini ”cacat hukum”. Produk jenis kedua ini cukup banyak peminatnya. Dr Ketut Sendra menyebut jenis asuransi ini mudah dijual karena simpel serta memang dibutuhkan untuk menutup biaya tambahan selama dirawat di rumah sakit sehingga wajar bila prosedur pengajuan dan penyelesaian klaimnya seharusnya juga mudah.
Kelemahan produk ini secara mendasar menciptakan peluang besar untuk mengakali perusahaan asuransi. Konsultan hukum dan investigator Hendro Saryanto menyampaikan memang ada ”sindikat” yang mengorganisasi beberapa orang bahkan melalui perusahaan sebagai tertanggung kelompok untuk membobol perusahaan asuransi. Nilai klaim yang diajukan memang secara relatif kecil-kecil karena manfaat yang diberikan dibatasi jumlah hari maupun nilai rupiah penggantiannya per hari. Akan tetapi, akumulasi jumlah klaim yang diajukan kepada beberapa perusahaan asuransi yang berbeda mencapai miliaran rupiah.
Terlepas dari masalah teknis produk asuransi kesehatan tersebut, pihak tertanggung melalui pengacaranya menggunakan UU Perlindungan Konsumen (UU No 8 Tahun 1999) untuk memidanakan perusahaan asuransi. Lazimnya yang dijadikan rujukan adalah UU Perasuransian sehingga menjadi kasus perdata. Dalam UU ini ketentuan pidana disebutkan dalam pasal 73 s/d 82 dan tidak terkait sama sekali dengan penolakan klaim. Untuk klaim perorangan, dalam catatan polis dijelaskan seandainya terjadi sengketa, Tertanggung dapat mengajukannya kepada Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia atau BMAI yang sengaja dibentuk guna mencari solusi ”win-win” untuk kasus klaim perorangan tidak melebihi nilai Rp500 juta per kasus.
Pembicara Utama menyampaikan bahwa UU Perlindungan Konsumen pada awalnya hanya dikhususkan untuk konsumen barang dan kata ”jasa” ditambahkan setelah kata ”barang” dengan ditambah garis miring. Hal ini diamini oleh Tulus Abadi dari YLKI. Ketua Pengurus Harian YLKI tersebut menyatakan bahwa konstruksi hukum UU Perlindungan Konsumen memang bukan untuk jasa.
Penulis yang menjadi moderator dalam seminar tersebut menyampaikan beberapa kesimpulan seminar, yaitu: Pertama, perusahaan asuransi diimbau untuk ekstrahati-hati dalam menjual produk asuransi Hospital Cash Plan dengan pembatasan yang lebih ketat dan menerapkan prinsip know your customer (KYC). Kedua, untuk menghindari kecurangan, perusahaan asuransi yang saat ini sudah menjual produk Hospital Cash Plan perlu mempertimbangkan untuk menghentikan penjualannya atau paling tidak memperketat persyaratan seperti disebutkan pada butir 1.
Ketiga, perlu dilakukan upaya untuk segera mengamandemen UU Perlindungan Konsumen yang konstruksi hukumnya bukan untuk jasa. Keempat, UU Perjanjian Asuransi yang masih berupa draf dan saat ini ada di tangan BPHN Kemenkumham, segera didesak oleh Dewan Asuransi Indonesia dengan dukungan OJK bidang IKNB untuk segera masuk Prolegnas di DPR. Kelima, untuk mencari solusi atas beberapa kasus yang tengah berjalan, diharapkan peran OJK, khususnya bidang Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) maupun Edukasi & Perlindungan Konsumen (EPK), memberikan pemahaman kepada pihak kepolisian tanpa bermaksud melakukan intervensi.
Hal ini sangat diperlukan bagi perusahaan asuransi untuk mencegah efek domino kasus pemidanaan perusahaan asuransi akibat penolakan klaim. Keenam, perlu dilaksanakan seminar lanjutan sehubungan dengan perkembangan terakhir, yakni pencabutan laporan oleh tertanggung dan pengalihan hak tagih klaim kepada pihak ketiga. Proses penyidikan pun dengan sendirinya dihentikan.
(thm)