Membudayakan Gerakan Literasi Peradaban
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
PADA 18 November 2017 ini Muhammadiyah genap berusia 105 tahun. Milad Muhammadiyah kali ini penting dimaknai dalam rangka membudayakan gerakan literasi peradaban. Sebab salah satu rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar adalah membangun masyarakat ilmu. Masyarakat ilmu tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa budaya literasi, terutama dengan pemajuan sistem pendidikan tinggi. Untuk itu Muhammadiyah merekomendasikan agar perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi Muhammadiyah, menjadi universitas riset dan pusat inovasi unggulan (center of excellences) berbasis sustainability dan center of technopreneurship.
Memasuki 100 tahun kedua, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan baru di era milenial, yaitu tantangan menjadi kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang mampu membudayakan gerakan literasi peradaban sehingga melahirkan khaira ummah (umat teladan) dan baldah thayyibah wa Rabbun ghafur (negeri berkemajuan, adil dan makmur serta mendapat ampunan Tuhan).
Jika pada abad pertama (1912-2012) Muhammadiyah dinilai sukses dalam tiga bidang amal usaha, schooling, healing, dan feeding, dalam abad kedua Muhammadiyah harus mampu memajukan peradaban bangsa berbasis gerakan literasi yang mencerdaskan, mencerahkan, dan memajukan masyarakat bangsa yang berilmu dan beradab. Meminjam istilah Din Syamsuddin, dakwah Muhammadiyah abad kedua harus bervisi pembebasan (tahrir), pencerahan (tanwir), pemberdayaan (empowering), serta pemajuan umat dan bangsa.
Pertanyaannya, bagaimana gerakan literasi peradaban ini dapat dijadikan sebagai lokus dan khitah Muhammadiyah dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Dalam konteks ini, spirit teologi Al-Maíun yang dicetuskan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, perlu direvitalisasi dan dipadukan menjadi gerakan pemikiran (intelektual) serta gerakan perubahan sosial menuju Indonesia berkemajuan (praksis sosial).
Esensi gerakan literasi peradaban adalah gerakan melek makna kehidupan berkemajuan dalam berbagai aspeknya. Literasi peradaban memosisikan manusia sebagai agent of civilization sehingga pandangan hidupnya (way of life) bukan sekadar hidup untuk makan dan bertahan hidup dengan mencari kekayaan dan merebut kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala cara. Jadi literasi peradaban berarti cerdas membaca dan memaknai kehidupan demi kemajuan, keagungan, dan kemaslahatan umat dan bangsa, bukan sekadar untuk numpang urip, merampok dan mengeruk kekayaan bangsa. Literasi peradaban adalah literasi spirit kesatuan berbasis keumatan dan kebangsaan demi tegak, merdeka, dan majunya NKRI. Literasi peradaban menghendaki integritas moral, jiwa kuriositas, inovatif, kreatif, konstruktif, dan produktif, bukan tunamoral, oportunistis, egoistis, permisif, dan nirnasionalistis.
Oleh karena itu pemikiran moderat dan ideologi keagamaan Muhammadiyah perlu mengintegrasikan pemahaman antara ayat-ayat Quraniah, ayat-ayat kauniah dan ijtimaiah (alam dan sosial), dengan spirit aktualisasi karya nyata dan kesalehan peradaban, bukan sekadar retorika dan wacana belaka. Gerakan literasi Muhammadiyah tidak hanya menyinari dan menginspirasi negeri, tetapi juga selalu memberi bukti nyata kesalehan otentik, bukan sekadar omong kosong ”jualan NKRI harga mati, paling Pancasilais dan toleran”, tetapi tanpa dibarengi bukti nyata dan keteladanan faktual.
***
Dalam Islamic Philantrophy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice, Jennifer Bremer (2004) berpendapat bahwa membangun masyarakat madani (civil society) yang kuat menuntut adanya pengembangan filantropi, karitas, dan kedermawanan sosial untuk mewujudkan keadilan sosial. Organisasi sosial keagamaan modern seperti Muhammadiyah sangat potensial menjadi lokomotif bangsa dalam membangun dan memajukan peradabannya.
Sebagai saksi kesalehan peradaban otentik, Muhammadiyah selalu hadir melayani masyarakat dengan penuh ketulusan dan kesalehan otentik. Tidak sibuk mengklaim diri sebagai paling toleran dan merawat NKRI, Muhammadiyah sudah terbiasa hidup harmoni dan penuh toleransi di berbagai komunitas minoritas muslim seperti di NTT dan Papua dengan amal usahanya yang memajukan peradaban bangsa.
Oleh karena itu aktivis Muhammadiyah dituntut mampu memahami dan menyelami esensi spirit teologi Al-Maíun tersebut dengan menjadikan Islam rahmatan li al-’alamin sebagai komitmen moral dan kesediaan menjadi teladan yang terbaik bagi semua sehingga khaira ummah (umat terbaik) dapat diwujudkan di Indonesia tercinta. Apabila model pendidikan holistis integratif dan dakwah pencerahan disinergikan dalam menumbuhkan ”melek” budaya literasi peradaban yang berkeadaban, niscaya Muhammadiyah akan mampu berkontribusi positif dan signifikan dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan di masa depan.
Masa depan Indonesia berkemajuan sangat potensial menjadi peradaban agung dan mendunia jika teologi kasih dan spirit Al-Maíun Muhamamdiyah dipahami dan diaktualisasi secara transformatif-kultural, dari pemahaman formalistis-normatif menuju pemahaman kritis-transformatif dan kontekstual. Dengan begitu Islam berkemajuan secara teologis menghendaki integrasi dua model kritik sekaligus, yaitu kritik teks dan kritik konteks (realitas sosial), dengan senantiasa merespons perkembangan ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) dan relevansi sosial keumatan. Pada saat yang sama, umat Islam harus mampu menampilkan diri sebagai ummatan wasathan (umat tengahan, Islam moderat dan toleran), tidak ekstrem kanan apalagi ekstrem kiri, tidak anarkistis dan tidak pula teroristis, toleran tetapi tetap tegas dan teguh pendirian.
Dalam konteks ini Muhammadiyah perlu mereformasi sistem pendidikannya dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas layanannya agar dapat memberi kontribusi lebih optimal dalam membangun peradaban keumatan dan kebangsaan yang saleh serta memberi nilai tambah (added value) bagi kemajuan bangsa dan negara. Muhammadiyah juga harus ”mewakafkan” kader-kadernya untuk menjadi pemimpin bangsa. Karena itu kaderisasi ulama serta pemimpin umat dan bangsa perlu diintensifkan agar keberlanjutan masa depan persyarikatan dan bangsa dapat dijaga dan berkesinambungan.
Para aktivis dan warga Muhammadiyah juga perlu meningkatkan kinerja layanan berbasis ihsan (spirit berbuat baik) dan terus mengembangkan amal usaha, tidak terkecuali jihad konstitusi serta jihad digital dan virtual dengan mengawal etika bermedia sosial secara sehat. Selain itu Muhammadiyah juga harus terus menyinari negeri dengan memberikan warisan peradaban dan karya-karya kemanusiaan yang konstruktif dan kreatif.
Selain itu, melalui pembudayaan gerakan literasi peradaban, Muhammadiyah dapat berkontribusi positif dalam merawat kebinekaan dan kemajemukan Indonesia dengan menampilkan karakter humanisnya: ramah, harmonis, damai, toleran, penuh kasih sayang, antikorupsi, antikekerasan, antiterorisme, antiillegal logging, antitrafficking, antiketidakadilan, dan sebagainya.
Dengan gerakan literasi peradaban yang berkeadaban, Muhammadiyah juga dapat berkontribusi dalam mewujudkan tatanan kehidupan umat manusia dan sistem dunia yang adil, damai, sejahtera, dan bahagia dunia dan akhirat. Jadi gerakan literasi peradaban rahmatan lil íalamin, Muhammadiyah harus tampil sebagai organisasi sosial keagamaan teladan yang sukses membangun peradaban umat dan bangsa yang humanis, berkemajuan, dan berkeadilan sosial.
Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
PADA 18 November 2017 ini Muhammadiyah genap berusia 105 tahun. Milad Muhammadiyah kali ini penting dimaknai dalam rangka membudayakan gerakan literasi peradaban. Sebab salah satu rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar adalah membangun masyarakat ilmu. Masyarakat ilmu tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa budaya literasi, terutama dengan pemajuan sistem pendidikan tinggi. Untuk itu Muhammadiyah merekomendasikan agar perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi Muhammadiyah, menjadi universitas riset dan pusat inovasi unggulan (center of excellences) berbasis sustainability dan center of technopreneurship.
Memasuki 100 tahun kedua, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan baru di era milenial, yaitu tantangan menjadi kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang mampu membudayakan gerakan literasi peradaban sehingga melahirkan khaira ummah (umat teladan) dan baldah thayyibah wa Rabbun ghafur (negeri berkemajuan, adil dan makmur serta mendapat ampunan Tuhan).
Jika pada abad pertama (1912-2012) Muhammadiyah dinilai sukses dalam tiga bidang amal usaha, schooling, healing, dan feeding, dalam abad kedua Muhammadiyah harus mampu memajukan peradaban bangsa berbasis gerakan literasi yang mencerdaskan, mencerahkan, dan memajukan masyarakat bangsa yang berilmu dan beradab. Meminjam istilah Din Syamsuddin, dakwah Muhammadiyah abad kedua harus bervisi pembebasan (tahrir), pencerahan (tanwir), pemberdayaan (empowering), serta pemajuan umat dan bangsa.
Pertanyaannya, bagaimana gerakan literasi peradaban ini dapat dijadikan sebagai lokus dan khitah Muhammadiyah dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Dalam konteks ini, spirit teologi Al-Maíun yang dicetuskan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, perlu direvitalisasi dan dipadukan menjadi gerakan pemikiran (intelektual) serta gerakan perubahan sosial menuju Indonesia berkemajuan (praksis sosial).
Esensi gerakan literasi peradaban adalah gerakan melek makna kehidupan berkemajuan dalam berbagai aspeknya. Literasi peradaban memosisikan manusia sebagai agent of civilization sehingga pandangan hidupnya (way of life) bukan sekadar hidup untuk makan dan bertahan hidup dengan mencari kekayaan dan merebut kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala cara. Jadi literasi peradaban berarti cerdas membaca dan memaknai kehidupan demi kemajuan, keagungan, dan kemaslahatan umat dan bangsa, bukan sekadar untuk numpang urip, merampok dan mengeruk kekayaan bangsa. Literasi peradaban adalah literasi spirit kesatuan berbasis keumatan dan kebangsaan demi tegak, merdeka, dan majunya NKRI. Literasi peradaban menghendaki integritas moral, jiwa kuriositas, inovatif, kreatif, konstruktif, dan produktif, bukan tunamoral, oportunistis, egoistis, permisif, dan nirnasionalistis.
Oleh karena itu pemikiran moderat dan ideologi keagamaan Muhammadiyah perlu mengintegrasikan pemahaman antara ayat-ayat Quraniah, ayat-ayat kauniah dan ijtimaiah (alam dan sosial), dengan spirit aktualisasi karya nyata dan kesalehan peradaban, bukan sekadar retorika dan wacana belaka. Gerakan literasi Muhammadiyah tidak hanya menyinari dan menginspirasi negeri, tetapi juga selalu memberi bukti nyata kesalehan otentik, bukan sekadar omong kosong ”jualan NKRI harga mati, paling Pancasilais dan toleran”, tetapi tanpa dibarengi bukti nyata dan keteladanan faktual.
***
Dalam Islamic Philantrophy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice, Jennifer Bremer (2004) berpendapat bahwa membangun masyarakat madani (civil society) yang kuat menuntut adanya pengembangan filantropi, karitas, dan kedermawanan sosial untuk mewujudkan keadilan sosial. Organisasi sosial keagamaan modern seperti Muhammadiyah sangat potensial menjadi lokomotif bangsa dalam membangun dan memajukan peradabannya.
Sebagai saksi kesalehan peradaban otentik, Muhammadiyah selalu hadir melayani masyarakat dengan penuh ketulusan dan kesalehan otentik. Tidak sibuk mengklaim diri sebagai paling toleran dan merawat NKRI, Muhammadiyah sudah terbiasa hidup harmoni dan penuh toleransi di berbagai komunitas minoritas muslim seperti di NTT dan Papua dengan amal usahanya yang memajukan peradaban bangsa.
Oleh karena itu aktivis Muhammadiyah dituntut mampu memahami dan menyelami esensi spirit teologi Al-Maíun tersebut dengan menjadikan Islam rahmatan li al-’alamin sebagai komitmen moral dan kesediaan menjadi teladan yang terbaik bagi semua sehingga khaira ummah (umat terbaik) dapat diwujudkan di Indonesia tercinta. Apabila model pendidikan holistis integratif dan dakwah pencerahan disinergikan dalam menumbuhkan ”melek” budaya literasi peradaban yang berkeadaban, niscaya Muhammadiyah akan mampu berkontribusi positif dan signifikan dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan di masa depan.
Masa depan Indonesia berkemajuan sangat potensial menjadi peradaban agung dan mendunia jika teologi kasih dan spirit Al-Maíun Muhamamdiyah dipahami dan diaktualisasi secara transformatif-kultural, dari pemahaman formalistis-normatif menuju pemahaman kritis-transformatif dan kontekstual. Dengan begitu Islam berkemajuan secara teologis menghendaki integrasi dua model kritik sekaligus, yaitu kritik teks dan kritik konteks (realitas sosial), dengan senantiasa merespons perkembangan ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) dan relevansi sosial keumatan. Pada saat yang sama, umat Islam harus mampu menampilkan diri sebagai ummatan wasathan (umat tengahan, Islam moderat dan toleran), tidak ekstrem kanan apalagi ekstrem kiri, tidak anarkistis dan tidak pula teroristis, toleran tetapi tetap tegas dan teguh pendirian.
Dalam konteks ini Muhammadiyah perlu mereformasi sistem pendidikannya dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas layanannya agar dapat memberi kontribusi lebih optimal dalam membangun peradaban keumatan dan kebangsaan yang saleh serta memberi nilai tambah (added value) bagi kemajuan bangsa dan negara. Muhammadiyah juga harus ”mewakafkan” kader-kadernya untuk menjadi pemimpin bangsa. Karena itu kaderisasi ulama serta pemimpin umat dan bangsa perlu diintensifkan agar keberlanjutan masa depan persyarikatan dan bangsa dapat dijaga dan berkesinambungan.
Para aktivis dan warga Muhammadiyah juga perlu meningkatkan kinerja layanan berbasis ihsan (spirit berbuat baik) dan terus mengembangkan amal usaha, tidak terkecuali jihad konstitusi serta jihad digital dan virtual dengan mengawal etika bermedia sosial secara sehat. Selain itu Muhammadiyah juga harus terus menyinari negeri dengan memberikan warisan peradaban dan karya-karya kemanusiaan yang konstruktif dan kreatif.
Selain itu, melalui pembudayaan gerakan literasi peradaban, Muhammadiyah dapat berkontribusi positif dalam merawat kebinekaan dan kemajemukan Indonesia dengan menampilkan karakter humanisnya: ramah, harmonis, damai, toleran, penuh kasih sayang, antikorupsi, antikekerasan, antiterorisme, antiillegal logging, antitrafficking, antiketidakadilan, dan sebagainya.
Dengan gerakan literasi peradaban yang berkeadaban, Muhammadiyah juga dapat berkontribusi dalam mewujudkan tatanan kehidupan umat manusia dan sistem dunia yang adil, damai, sejahtera, dan bahagia dunia dan akhirat. Jadi gerakan literasi peradaban rahmatan lil íalamin, Muhammadiyah harus tampil sebagai organisasi sosial keagamaan teladan yang sukses membangun peradaban umat dan bangsa yang humanis, berkemajuan, dan berkeadilan sosial.
(kri)