Pemilu Serentak dan Presidential Threshold
A
A
A
Fitra Arsil
Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI
BERBEDA dengan sistem parlementer, pemilihan umum dalam sistem presidensial dilakukan dua kali (dual democratic legitimacy) sehingga dimungkinkan hasil kedua pemilihan umum tersebut tidak kongruen. Partai yang memenangi pemilihan eksekutif (presiden) bisa jadi tidak mendapatkan dukungan kursi yang dominan di parlemen. Bahkan partai presiden merupakan minoritas di parlemen.
Negara yang mengalami situasi seperti ini dapat terjebak dalam skenario instabilitas sistem presidensial. Skenario tersebut memang dimulai dari hasil pemilihan umum yang inkongruen sehingga presiden menjadi kekuatan minoritas di parlemen (minority president). Dalam situasi partai presiden merupakan minoritas di parlemen, kemudian presiden juga gagal membangun koalisi mayoritas yang kohesif, potensi terciptanya pemerintahan terbelah (divided government) menjadi tinggi.
Divided government membuat eksekutif dan legislatif saling mengintai dan menghindar sehingga cenderung masing-masing bekerja tanpa kerja sama. Presiden akan menjalankan pemerintahan tanpa memedulikan pengawasan legislatif dan jika menginginkan peraturan dilakukan dengan sepihak, presiden menghindari pembahasan di parlemen. Melihat fenomena Amerika Latin, peraturan-peraturan yang digolongkan sebagai emergency decree (perppu di Indonesia) dalam kuantitas yang besar cenderung lahir dalam kondisi divided government.
Presiden memang cenderung menggunakan presidentís legislative power -nya dalam berhadapan dengan parlemen ketika kondisi divided government. Situasi ini relatif miskin jalan keluar karena dalam sistem presidensial tidak ada satu lembaga yang menjadi sumber legitimasi bagi lembaga lain. Kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif sama-sama lahir dari pilihan rakyat sehingga sulit mengganggu legitimasi lembaga kekuasaan masing-masing tersebut. Artinya sulit untuk mengganti pemerintahan kecuali menunggu waktu datangnya pemilu berikutnya.
Situasi di atas yang berlangsung berlarut-larut tentu mengakibatkan pemerintahan tidak efektif dan pada gilirannya yang dirugikannya adalah rakyat yang menerima kebijakan tidak berkualitas atau dengan kebijakan yang dibentuk dengan pengawasan minimal. Mencegah terjadinya situasi di atas, lahirlah berbagai modifikasi dan inovasi terhadap sistem-sistem ketatanegaraan yang menjadi fitur sistem presidensial. Gagasan pemilihan umum serentak merupakan salah satu bentuk inovasi tersebut. Melalui pemilihan umum serentak, dua pemilihan umum yang terdapat dalam sistem presidensial diharapkan menghasilkan hasil yang kongruen.
Penelitian yang dilakukan Mark P Jones terhadap negara-negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa serentak atau tidaknya waktu pemilihan presiden dan parlemen akan berpengaruh pada hubungan legislatif dan eksekutif (Jones: 1995). Jika pemilihan dilakukan serentak, presiden akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan dukungan legislatif yang kuat. Jones menyatakan bahwa pemilihan serentak merupakan faktor menonjol yang akan menghasilkan ukuran eksekutif dan legislatif yang terpadu yang pada gilirannya akan menghasilkan pemerintahan yang efektif.
Senada dengan Jones, Mark Payne menyatakan bahwa jika pemilihan eksekutif dan legislatif dilaksanakan bersamaan, pemilih cenderung akan konsisten dalam memberikan suaranya. Pemilu serentak akan menghasilkan sedikit partai yang akan mendapatkan suara atau kursi signifikan di parlemen karena terjadi coattail effect di mana preferensi pemilih akan dipengaruhi oleh kandidat presiden. Pemilih cenderung akan memilih partai yang sama dengan partai kandidat presiden yang mereka pilih. Payne menekankan terutama yang menjadi objek terpengaruh adalah pemilihan legislatif yang akan mengikuti kecenderungan pemilihan eksekutif.
Namun gagasan pemilihan serentak tetap menyimpan potensi-potensi permasalahan yang jika tidak teratasi, tujuan untuk menghambat skenario instabilitas di sistem presidensial terancam gagal dilakukan. Di antara permasalahan yang dapat diperkirakan adalah jika pelaksanaan pemilu serentak digabungkan dengan sistem pemilihan presiden dua putaran (majority run off). Pemilu serentak dengan pilpres dua putaran akan membuat partai-partai politik masuk ke pemilihan umum dengan memiliki calon presiden masing-masing (tidak berkoalisi) karena menganggap pemenang pemilihan presiden tidak akan didapat di putaran pertama.
Putaran pertama yang dilaksanakan serentak digunakan oleh partai-partai untuk mencalonkan presiden agar mendapatkan coattail effect, yaitu terangkatnya suara partai di pemilu legislatif oleh calon presiden yang diajukan di pemilihan presiden. Partai politik memiliki calon presiden sendiri agar dapat mendudukkan sebanyak mungkin wakilnya di parlemen. Jika hal itu yang terjadi, kemungkinannya adalah terbentuk parlemen yang terfragmentasi tinggi (multipartism), banyak partai yang mendudukkan wakilnya di parlemen, tidak ada kekuatan mayoritas dan memperbesar potensi terjadinya minority president. Jika terjadi minority president, potensi terjebak ke dalam skenario instabilitas sistem presidensial seperti digambarkan di atas menjadi semakin besar.
Fakta yang disampaikan Gabriel Negretto berdasarkan pengalaman di Amerika Latin dalam rentang 1978-2002 menyebutkan bahwa kemungkinan partai presiden menikmati dukungan mayoritas di parlemen cenderung turun seiring dengan meningkatnya partai-partai yang mendapat kursi di parlemen. Fragmentasi tinggi parlemen juga menyebabkan konsensus dalam proses pengambilan putusan di parlemen akan menjadi lebih sulit. Para pengkaji fenomena pemerintah di Amerika Latin memang menekankan bahwa stabilitas sistem presidensial sangat terkait dengan kondisi fragmentasi tinggi kepartaian. Bahkan dinyatakan bahwa terdapat bukti kuat kelangsungan hidup demokrasi di sistem presidensial ditentukan tingkat fragmentasi partai politik di parlemen.
Dalam perspektif kohesivitas koalisi, menunda koalisi hingga di putaran kedua pemilihan presiden berdampak buruk pada koalisi yang dibangun. Partai-partai politik yang memulai koalisinya di putaran kedua pilpres tidak akan membangun koalisinya berbasiskan preferensi kebijakan, apalagi ideologi (policy blind coalition), karena tiap partai politik ketika itu sudah memiliki size masing-masing yang merupakan hasil pemilu putaran pertama yang diselenggarakan serentak dengan pemilihan presiden. Jadi pertimbangan agenda kebijakan bersama akan terpinggirkan karena terfokus pada perolehan partai masing-masing di putaran pertama.
Hambatan waktu juga menjadi masalah untuk membentuk koalisi berbasis kebijakan (policy based coalition). Rentang antara berakhirnya putaran pertama dan dimulainya putaran kedua merupakan waktu yang terlalu singkat untuk secara serius membentuk agenda kebijakan bersama yang menjadi dasar koalisi. Bahkan agenda kebijakan bersama yang mungkin sudah dibentuk oleh beberapa partai yang sudah bergabung lebih dahulu dalam putaran pertama menjadi tidak relevan dengan bergabungnya partai baru dalam putaran kedua yang secara ideologis atau posisi kebijakan berbeda bahkan bertentangan. Koalisi dengan basis agenda kebijakan bersama yang lemah diperkirakan akan rapuh dan mudah pecah (fragile), terutama ketika nanti mengelola pemerintahan bersama-sama.
Gambaran yang disampaikan di atas membuat suatu kesimpulan bahwa pemilihan serentak akan mendapatkan tujuannya jika dilakukan dengan jumlah calon presiden yang sedikit. Sementara pemilihan serentak yang pemenang pilpresnya ditentukan pada putaran kedua pemilihan membuat partai-partai politik justru beramai-ramai memiliki calon presiden sendiri karena berharap coattail effect. Dalam konteks ini pengaturan ambang batas partai politik/ gabungan partai politik untuk dapat mencalonkan presiden (presidential threshold) menemukan relevansinya.
Presidential threshold memang memiliki permasalahan jika melihat perolehan suara yang menjadi dasar perhitungan adalah suara pemilu sebelumnya sehingga tidak relevan untuk menghitung dukungan rakyat atau kursi parlemen kepada seorang calon presiden. Namun jika memandangnya dari kebutuhan akan pemilihan presiden dengan calon terbatas, presidential threshold merupakan jalan yang efektif dan terukur untuk mengatasi masalah tersebut. Melalui presidential threshold dipastikan calon presiden akan terbatas jumlahnya.
Dalam kondisi calon presiden terbatas, diharapkan kebaikan-kebaikan dari pelaksanaan pemilu serentak dapat dinikmati. Menghindar dari ancaman terjebaknya relasi eksekutif dan legislatif dalam skenario instabilitas sistem presidensial mungkin lebih penting dipilih dan sejauh ini formulasi yang dapat ditemukan untuk membatasi calon secara efektif dan terukur adalah presidential threshold.
Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI
BERBEDA dengan sistem parlementer, pemilihan umum dalam sistem presidensial dilakukan dua kali (dual democratic legitimacy) sehingga dimungkinkan hasil kedua pemilihan umum tersebut tidak kongruen. Partai yang memenangi pemilihan eksekutif (presiden) bisa jadi tidak mendapatkan dukungan kursi yang dominan di parlemen. Bahkan partai presiden merupakan minoritas di parlemen.
Negara yang mengalami situasi seperti ini dapat terjebak dalam skenario instabilitas sistem presidensial. Skenario tersebut memang dimulai dari hasil pemilihan umum yang inkongruen sehingga presiden menjadi kekuatan minoritas di parlemen (minority president). Dalam situasi partai presiden merupakan minoritas di parlemen, kemudian presiden juga gagal membangun koalisi mayoritas yang kohesif, potensi terciptanya pemerintahan terbelah (divided government) menjadi tinggi.
Divided government membuat eksekutif dan legislatif saling mengintai dan menghindar sehingga cenderung masing-masing bekerja tanpa kerja sama. Presiden akan menjalankan pemerintahan tanpa memedulikan pengawasan legislatif dan jika menginginkan peraturan dilakukan dengan sepihak, presiden menghindari pembahasan di parlemen. Melihat fenomena Amerika Latin, peraturan-peraturan yang digolongkan sebagai emergency decree (perppu di Indonesia) dalam kuantitas yang besar cenderung lahir dalam kondisi divided government.
Presiden memang cenderung menggunakan presidentís legislative power -nya dalam berhadapan dengan parlemen ketika kondisi divided government. Situasi ini relatif miskin jalan keluar karena dalam sistem presidensial tidak ada satu lembaga yang menjadi sumber legitimasi bagi lembaga lain. Kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif sama-sama lahir dari pilihan rakyat sehingga sulit mengganggu legitimasi lembaga kekuasaan masing-masing tersebut. Artinya sulit untuk mengganti pemerintahan kecuali menunggu waktu datangnya pemilu berikutnya.
Situasi di atas yang berlangsung berlarut-larut tentu mengakibatkan pemerintahan tidak efektif dan pada gilirannya yang dirugikannya adalah rakyat yang menerima kebijakan tidak berkualitas atau dengan kebijakan yang dibentuk dengan pengawasan minimal. Mencegah terjadinya situasi di atas, lahirlah berbagai modifikasi dan inovasi terhadap sistem-sistem ketatanegaraan yang menjadi fitur sistem presidensial. Gagasan pemilihan umum serentak merupakan salah satu bentuk inovasi tersebut. Melalui pemilihan umum serentak, dua pemilihan umum yang terdapat dalam sistem presidensial diharapkan menghasilkan hasil yang kongruen.
Penelitian yang dilakukan Mark P Jones terhadap negara-negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa serentak atau tidaknya waktu pemilihan presiden dan parlemen akan berpengaruh pada hubungan legislatif dan eksekutif (Jones: 1995). Jika pemilihan dilakukan serentak, presiden akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan dukungan legislatif yang kuat. Jones menyatakan bahwa pemilihan serentak merupakan faktor menonjol yang akan menghasilkan ukuran eksekutif dan legislatif yang terpadu yang pada gilirannya akan menghasilkan pemerintahan yang efektif.
Senada dengan Jones, Mark Payne menyatakan bahwa jika pemilihan eksekutif dan legislatif dilaksanakan bersamaan, pemilih cenderung akan konsisten dalam memberikan suaranya. Pemilu serentak akan menghasilkan sedikit partai yang akan mendapatkan suara atau kursi signifikan di parlemen karena terjadi coattail effect di mana preferensi pemilih akan dipengaruhi oleh kandidat presiden. Pemilih cenderung akan memilih partai yang sama dengan partai kandidat presiden yang mereka pilih. Payne menekankan terutama yang menjadi objek terpengaruh adalah pemilihan legislatif yang akan mengikuti kecenderungan pemilihan eksekutif.
Namun gagasan pemilihan serentak tetap menyimpan potensi-potensi permasalahan yang jika tidak teratasi, tujuan untuk menghambat skenario instabilitas di sistem presidensial terancam gagal dilakukan. Di antara permasalahan yang dapat diperkirakan adalah jika pelaksanaan pemilu serentak digabungkan dengan sistem pemilihan presiden dua putaran (majority run off). Pemilu serentak dengan pilpres dua putaran akan membuat partai-partai politik masuk ke pemilihan umum dengan memiliki calon presiden masing-masing (tidak berkoalisi) karena menganggap pemenang pemilihan presiden tidak akan didapat di putaran pertama.
Putaran pertama yang dilaksanakan serentak digunakan oleh partai-partai untuk mencalonkan presiden agar mendapatkan coattail effect, yaitu terangkatnya suara partai di pemilu legislatif oleh calon presiden yang diajukan di pemilihan presiden. Partai politik memiliki calon presiden sendiri agar dapat mendudukkan sebanyak mungkin wakilnya di parlemen. Jika hal itu yang terjadi, kemungkinannya adalah terbentuk parlemen yang terfragmentasi tinggi (multipartism), banyak partai yang mendudukkan wakilnya di parlemen, tidak ada kekuatan mayoritas dan memperbesar potensi terjadinya minority president. Jika terjadi minority president, potensi terjebak ke dalam skenario instabilitas sistem presidensial seperti digambarkan di atas menjadi semakin besar.
Fakta yang disampaikan Gabriel Negretto berdasarkan pengalaman di Amerika Latin dalam rentang 1978-2002 menyebutkan bahwa kemungkinan partai presiden menikmati dukungan mayoritas di parlemen cenderung turun seiring dengan meningkatnya partai-partai yang mendapat kursi di parlemen. Fragmentasi tinggi parlemen juga menyebabkan konsensus dalam proses pengambilan putusan di parlemen akan menjadi lebih sulit. Para pengkaji fenomena pemerintah di Amerika Latin memang menekankan bahwa stabilitas sistem presidensial sangat terkait dengan kondisi fragmentasi tinggi kepartaian. Bahkan dinyatakan bahwa terdapat bukti kuat kelangsungan hidup demokrasi di sistem presidensial ditentukan tingkat fragmentasi partai politik di parlemen.
Dalam perspektif kohesivitas koalisi, menunda koalisi hingga di putaran kedua pemilihan presiden berdampak buruk pada koalisi yang dibangun. Partai-partai politik yang memulai koalisinya di putaran kedua pilpres tidak akan membangun koalisinya berbasiskan preferensi kebijakan, apalagi ideologi (policy blind coalition), karena tiap partai politik ketika itu sudah memiliki size masing-masing yang merupakan hasil pemilu putaran pertama yang diselenggarakan serentak dengan pemilihan presiden. Jadi pertimbangan agenda kebijakan bersama akan terpinggirkan karena terfokus pada perolehan partai masing-masing di putaran pertama.
Hambatan waktu juga menjadi masalah untuk membentuk koalisi berbasis kebijakan (policy based coalition). Rentang antara berakhirnya putaran pertama dan dimulainya putaran kedua merupakan waktu yang terlalu singkat untuk secara serius membentuk agenda kebijakan bersama yang menjadi dasar koalisi. Bahkan agenda kebijakan bersama yang mungkin sudah dibentuk oleh beberapa partai yang sudah bergabung lebih dahulu dalam putaran pertama menjadi tidak relevan dengan bergabungnya partai baru dalam putaran kedua yang secara ideologis atau posisi kebijakan berbeda bahkan bertentangan. Koalisi dengan basis agenda kebijakan bersama yang lemah diperkirakan akan rapuh dan mudah pecah (fragile), terutama ketika nanti mengelola pemerintahan bersama-sama.
Gambaran yang disampaikan di atas membuat suatu kesimpulan bahwa pemilihan serentak akan mendapatkan tujuannya jika dilakukan dengan jumlah calon presiden yang sedikit. Sementara pemilihan serentak yang pemenang pilpresnya ditentukan pada putaran kedua pemilihan membuat partai-partai politik justru beramai-ramai memiliki calon presiden sendiri karena berharap coattail effect. Dalam konteks ini pengaturan ambang batas partai politik/ gabungan partai politik untuk dapat mencalonkan presiden (presidential threshold) menemukan relevansinya.
Presidential threshold memang memiliki permasalahan jika melihat perolehan suara yang menjadi dasar perhitungan adalah suara pemilu sebelumnya sehingga tidak relevan untuk menghitung dukungan rakyat atau kursi parlemen kepada seorang calon presiden. Namun jika memandangnya dari kebutuhan akan pemilihan presiden dengan calon terbatas, presidential threshold merupakan jalan yang efektif dan terukur untuk mengatasi masalah tersebut. Melalui presidential threshold dipastikan calon presiden akan terbatas jumlahnya.
Dalam kondisi calon presiden terbatas, diharapkan kebaikan-kebaikan dari pelaksanaan pemilu serentak dapat dinikmati. Menghindar dari ancaman terjebaknya relasi eksekutif dan legislatif dalam skenario instabilitas sistem presidensial mungkin lebih penting dipilih dan sejauh ini formulasi yang dapat ditemukan untuk membatasi calon secara efektif dan terukur adalah presidential threshold.
(thm)