Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum

Kamis, 26 Oktober 2017 - 07:06 WIB
Tantangan Pendidikan...
Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum
A A A
Handa S Abidin
Wakil Rektor Bidang Komunikasi dan Kerja Sama President University, PhD dari the
University of Edinburgh School of Law

DUNIA pendidikan tinggi hukum Indonesia paling tidak ditantang dua hal. Pertama, mengenai cara melaksanakan kegiatan perkuliahan di tengah zaman internet of things.

Bayangkan, apabila semua perkuliahan hukum dapat diakses secara gratis melalui Youtube atau situs berbasis massive open online courses (MOOC). Apakah ini akan mendisrupsi fakultas dan program studi (prodi) hukum di Indonesia?

Apakah akan mengurangi minat jumlah mahasiswa untuk belajar hukum di fakultas dan prodi hukum konvensional? Kedua, disrupsi yang mengancam pelaku industri hukum yang memberikan jasa hukum secara konvensional.

Bayangkan, apabila ketika 'robot lawyer' dengan kecerdasan buatan, seperti ROSS, memasuki industri hukum Indonesia, apakah ini akan mendisrupsi industri hukum kita dan merusak pasar penyuplai tenaga kerja di bidang hukum dalam hal ini fakultas dan prodi hukum?

Apakah kita masih membutuhkan sarjana hukum untuk membantu menjawab persoalan hukum ketika sudah ada kecerdasan buatan yang mampu menerangkan permasalahan hukum tersebut

Solusi

Pada prinsipnya untuk menghadapi tantangan ini fakultas dan prodi hukum perlu berdamai dengan MOOC dan online learning serta memberikan dukungan untuk pelaksanaannya.

Selanjutnya, fakultas dan prodi hukum harus mendukung penuh penggunaan teknologi yang mempermudah pekerjaan hukum (lawtech ). Artikel ini akan fokus dalam konteks pendidikan S-1 hukum, meskipun demikian rekomendasi ini juga ada yang relevan apabila diterapkan dalam konteks pendidikan S-2 dan S-3 hukum.

Pertama, profesi dan jasa hukum yang berpotensi untuk punah atau berkurang nilai jualnya perlu diidentifikasi. Misalnya apakah dalam membuat suatu perjanjian atau terkait dengan jasa pemberian pendapat hukum oleh seorang lawyer memiliki potensi untuk didisrupsi?

Dalam konteks Indonesia, startups di bidang hukum yang mencoba mendisrupsi industri hukum di Indonesia sudah bermunculan meski belum banyak dan belum memberikan dampak signifikan yang memunahkan profesi lawyer di Indonesia.

Misalnya terdapat startup yang menawarkan pembuatan perjanjian tertentu dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan kantor hukum pada umumnya melalui pemanfaatan teknologi.

Hasil identifikasi profesi dan jasa hukum ini akan menjadi petunjuk penting untuk perbaikan kurikulum dan cara belajar-mengajar di kelas. Peluang baru juga perlu diperkenalkan kepada mahasiswa oleh fakultas dan prodi hukum.

Fakultas dan prodi hukum perlu mendorong mahasiswa menjadi pelaku disrupsi di bidang hukum. Para mahasiswa perlu dicerahkan bahwa profesi hukum bukan hanya menjadi lawyer atau profesi hukum lain yang pada umumnya saja, namun juga dapat menjadi pendiri startup di bidang lawtech.

Kedua, mahasiswa dan dosen hukum harus menguasai lawtech yang memanfaatkan teknologi untuk melakukan pekerjaan hukum. Untuk meningkatkan daya saing di dunia kerja, mahasiswa harus bisa menggunakan lawtech untuk mengerjakan hal yang praktis dan dilakukan di dunia kerja, seperti membuat perjanjian dan pendapat hukum.

ROSS telah digunakan dan dimanfaatkan oleh sejumlah kantor hukum di Amerika Serikat (www.rossintelligence.com). Sampai saat ini lawtech belum memunahkan profesi lawyer, namun membantu lawyer mengerjakan pekerjaannya. Promosi ROSS menjelaskan ROSS dapat membantu riset seorang lawyer dan bertujuan agar lawyer tersebut dapat fokus melayani klien (www.rossintelligence.com).

Namun, penting untuk disadari belum memunahkan bukan berarti tidak memakan korban. Pekerjaan seperti riset hukum yang biasa dikerjakan oleh manusia dapat tergantikan dengan adanya lawtech seperti ROSS. Karena itu, fakultas dan prodi hukum harus mengajarkan apa yang belum bisa digantikan oleh ROSS ataupun lawtech lain kepada para mahasiswanya.

Ketiga, pendidikan emotional intelligence perlu diajarkan dan dipraktikkan. Megan Beck dan Barry Libert dalam Harvard Business Review (2017) mengatakan di tengah kebangkitan kecerdasan buatan, peran emotional intelligence menjadi semakin penting.

Hal ini menurut Beck dan Libert dikarenakan emotional intelligence masih belum dikuasai oleh kecerdasan buatan. Urgensi penguasaan emotional intelligence oleh lawyer muda untuk keberhasilan karier mereka juga pernah diutarakan oleh James Runde dalam Harvard Business Review (2016).

Karena itu, perlu ada mata kuliah khusus yang membahas mengenai emotional intelligence secara umum dan teknis dalam konteks pendidikan dan industri hukum. Secara umum perlu dikenalkan apa itu emotional intelligence. Secara teknis, misalnya bagaimana mengaplikasikan emotional intelligence dalam kegiatan negosiasi dan berkomunikasi dengan pihak lain secara fisik maupun secara online.

Emotional intelligence juga perlu terintegrasi dan diajarkan pada setiap mata kuliah hukum yang diajarkan di fakultas dan prodi hukum. Kegiatan berorganisasi mahasiswa di fakultas dan prodi hukum perlu juga dimasuki oleh aspek emotional intelligence.

Keempat, fakultas dan prodi hukum di Indonesia perlu memulai pelaksanaan MOOC. Minimal memasuki dunia online learning secara blended dalam melaksanakan kurikulum hukum. Hadirnya kelas online memperlebar pasar mahasiswa baru bukan hanya di Indonesia saja, tetapi juga untuk negara lain apabila bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Inggris.

Terdapat mata kuliah yang lazimnya dilaksanakan dengan pertemuan fisik, misalnya mata kuliah Praktik Peradilan Perdata. Mata kuliah ini idealnya perlu dilaksanakan secara fisik karena melibatkan proses persidangan.

Namun, terdapat juga alternatif pelaksanaan mata kuliah ini secara online yaitu apabila mahasiswa dapat menggerakan karakter animasi sesuai perannya untuk melakukan proses persidangan layaknya sedang memainkan sebuah game online. Mengenai MOOC, fakultas dan prodi hukum perlu memikirkan bagaimana mengambil keuntungan dengan kehadiran MOOC.

Adanya konten MOOC yang disediakan secara gratis kepada publik akan menjadi promosi bagi fakultas dan prodi hukum yang menyelenggarakannya. Konten MOOC tidak selalu gratis, ada juga yang berbayar karena misalnya mendapatkan sertifikat. Hal ini dapat menjadi penghasilan tambahan bagi fakultas dan prodi hukum.

MOOC juga menjadi sarana untuk bersiap-siap bagi fakultas dan prodi hukum. Ke depannya bisa saja fakultas dan prodi hukum dapat memberikan ijazah S-1 hukum kepada orang yang tidak belajar hukum secara formal di universitas akan tetapi berhasil lulus pada seluruh ujian mata kuliah hukum dengan belajar hukum melalui MOOC.

Pada skenario ini masyarakat yang ingin mendapatkan gelar hukum cukup dengan menggunakan MOOC dan lulus pada ujian-ujian tersebut saja. Fakultas dan prodi hukum yang sudah memiliki MOOC yang kuat akan diuntungkan apabila skenario ini terwujud.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0683 seconds (0.1#10.140)