Papua dan Diplomasi Politik Internasional
A
A
A
Dave Akbarsah Fikarno Laksono
Anggota Komisi Luar Negeri dan Pertahanan DPR RI
PERSOALAN Papua di PBB kini memasuki babak baru. Bukan saja karena telah ada beberapa negara sebagai subjek hukum internasional yang telah membawa permasalahan Papua ke Sidang Majelis Umum PBB sebagai persoalan bersama bangsa-bangsa, melainkan juga karena fokusnya bukan lagi sebatas masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, melainkan juga hak penentuan nasib sendiri (referendum). Perkembangan isu Papua jangan dipandang sebatas permasalahan janji pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM, tetapi telah merangsek pada isu yang paling sensitif yaitu isu kemerdekaan sebagai topik politik yang menyita perhatian dunia internasional. Isu ini akan terus merongrong kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Isu referendum belakangan kembali diembuskan dan diwacanakan di Papua, termasuk di dunia internasional. Terhadap masalah Papua, pemerintah telah menjawabnya ketika menanggapi pernyataan dari Vanuatu dan Kepulauan Solomon dalam hak jawab pada sesi debat umum di Sidang Umum Ke-72 PBB pada 25 September 2017. Intinya, Indonesia telah menegaskan posisi politiknya terhadap masalah Papua. Papua tetap menjadi bagian dari NKRI dan pemerintah akan menuntaskan kewajibannya dalam penyelesaian masalah Papua.
Sebenarnya masalah Papua tidak akan pernah selesai. Karena permasalahan Papua bukan hanya isu dalam negeri, melainkan juga sudah menjadi wacana dunia internasional. Apalagi, negara-negara yang prokemerdekaan Papua selalu menyudutkan posisi Indonesia di forum-forum internasional. Negara-negara tersebut kerapkali berkampanye untuk mendapatkan perhatian internasional terkait dengan penyelesaian masalah Papua. Mereka selalu membuat situasi politik internasional tidak kondusif dan tidak bersahabat dengan Indonesia karena Indonesia sering diserang dengan wacana pelanggaran HAM dan pembiaran kekerasan di Papua.
Manuver negara-negara prokemerdekaan Papua tak lain untuk membenarkan dukungan mereka terhadap gerakan separatis di Papua. Isu provokasi yang dilakukan oleh negara-negara pendukung kemerdekaan selalu berkutat pada isu pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua. Isu ini adalah isu lama yang selalu dihadirkan di forum-forum internasional untuk menaikkan posisi tawar penyelesaian masalah Papua melalu jalan referendum.
Dukungan internasional kepada kelompok prokemerdekaan di Papua menimbulkan kompleksitas yang cukup serius bagi Pemerintah Indonesia dalam berdiplomasi dengan pihak luar negeri. Meskipun Indonesia memiliki kedudukan legitimasi politik yang kuat atas masalah Papua karena permasalahan kedaulatan negara, posisi Indonesia seringkali diserang dengan isu pelanggaran HAM. Hal ini karena isu pelanggaran HAM menjadi isu global yang kerap dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilan atas penanganan masalah Papua.
Masalahnya, negara-negara pendukung prokemerdekaan tidak menggunakan ukuran yang komprehensif dalam mengukur keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam membangun Papua. Permasalahan Papua selalu disederhanakan hanya pada janji pemerintah untuk menuntaskan masalah pelanggaran HAM. Padahal, keberhasilan pembangunan Papua harus dilihat secara menyeluruh.
Sejak diberlakukan status otonomi khusus, Papua telah mendapatkan prioritas pembangunan yang besar. Dari sisi ekonomi, pertumbuhan ekonomi di Papua mencapai 9,1%.
Hal ini membuat Papua sebagai daerah dengan pertumbuhan tertinggi di Indonesia. Dalam hal mendukung percepatan pembangunan di Papua, selama tiga tahun terakhir pemerintah telah membuka 4.325 kilometer jalan, membangun 30 pelabuhan baru, membangun tujuh bandara baru, pemerintah memberikan kepada 2,8 juta orang Papua mendapatkan kesehatan dasar secara gratis, 360.000 siswa Papua mendapat pendidikan gratis, dan kucuran anggaran yang semakin besar dari waktu untuk percepatan pembangunan Papua.
Di satu sisi usaha pemerintah untuk mempercepat pembangunan Papua semakin besar, di sisi lain usaha tersebut tidak dilihat sebagai kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan Papua. Hal inilah yang merupakan pokok permasalahan kenapa kesungguhan Indonesia selalu tidak mendapat apresiasi dari negara-negara prokemerdekaan Papua. Karena, target mereka jelas hanya satu, yaitu mengusahakan supaya Papua menjadi negara merdeka, memisahkan diri dari NKRI.
Pertanyaannya, lalu apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pemerintah mempunyai kesungguhan menyelesaikan masalah Papua secara utuh, bukan hanya dari segi penuntasan janji penyelesaian pelanggaran HAM, melainkan juga pembangunan ekonomi untuk mempercepat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jawabannya tentu adalah memperkuat diplomasi internasional agar pembangunan Papua tidak dipandang sebelah mata.
Memaksimalkan Diplomasi DPR
Untuk menghadapi internasionalisasi masalah Papua, Pemerintah Indonesia harus melakukan antisipasi secara nasional dan memperkuat diplomasi politik, baik secara bilateral maupun multilateral, yakni melalui forum regional dan internasional.
Dalam menjalankan kebijakan diplomasi, diplomasi yang harus dimainkan adalah diplomasi total dengan melibatkan semua kekuatan komponen bangsa. Selama ini kekuatan utama diplomasi kita harapkan pada Kementerian Luar Negeri melalui duta dan perwakilan di luar negeri. Tentu saja dalam melaksanakan diplomasi total, bukan saja masalah Papua menjadi tanggung jawab Kementerian Luar Negeri, melainkan juga harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh kekuatan bangsa Indonesia.
Satu di antara diplomasi yang harus diperkuat fungsinya dalam kaitan diplomasi total adalah diplomasi DPR sebagai lembaga parlemen. Dalam hal ini DPR sebagai lembaga negara juga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memanfaatkan diplomasi parlemen sehingga permasalahan Papua di mata dunia internasional tidak dilihat secara sepihak. Namun, DPR juga harus menjadi bagian dari kekuatan diplomasi bangsa Indonesia dalam memberikan keyakinan pada dunia internasional bahwa Indonesia mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah Papua.
Peran diplomasi yang dapat dilakukan DPR misalnya studi banding anggota DPR ke luar negeri selain membawa agenda DPR, juga harus membawa misi Papua agar masyarakat dunia internasional semakin memahami perkembangan Papua saat ini. DPR sebagai lembaga negara selain mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, juga harus mempunyai fungsi diplomasi. Kritik masyarakat kampus selama ini harus dijadikan sebagai bahan evaluasi bahwa peran diplomasi DPR selama ini kurang dijalankan maksimal.
Jika diplomasi total tidak dapat dijalankan oleh semua komponen bangsa, posisi Indonesia akan selalu dilemahkan dalam forum-forum politik internasional, baik regional maupun multilateral. Pemerintah bersama DPR serta didukung seluruh komponen bangsa harus menjadikan penyelesaian Papua sebagai agenda prioritas demi tegaknya keutuhan NKRI. Papua adalah harga mati bagian dari NKRI.
Anggota Komisi Luar Negeri dan Pertahanan DPR RI
PERSOALAN Papua di PBB kini memasuki babak baru. Bukan saja karena telah ada beberapa negara sebagai subjek hukum internasional yang telah membawa permasalahan Papua ke Sidang Majelis Umum PBB sebagai persoalan bersama bangsa-bangsa, melainkan juga karena fokusnya bukan lagi sebatas masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, melainkan juga hak penentuan nasib sendiri (referendum). Perkembangan isu Papua jangan dipandang sebatas permasalahan janji pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM, tetapi telah merangsek pada isu yang paling sensitif yaitu isu kemerdekaan sebagai topik politik yang menyita perhatian dunia internasional. Isu ini akan terus merongrong kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Isu referendum belakangan kembali diembuskan dan diwacanakan di Papua, termasuk di dunia internasional. Terhadap masalah Papua, pemerintah telah menjawabnya ketika menanggapi pernyataan dari Vanuatu dan Kepulauan Solomon dalam hak jawab pada sesi debat umum di Sidang Umum Ke-72 PBB pada 25 September 2017. Intinya, Indonesia telah menegaskan posisi politiknya terhadap masalah Papua. Papua tetap menjadi bagian dari NKRI dan pemerintah akan menuntaskan kewajibannya dalam penyelesaian masalah Papua.
Sebenarnya masalah Papua tidak akan pernah selesai. Karena permasalahan Papua bukan hanya isu dalam negeri, melainkan juga sudah menjadi wacana dunia internasional. Apalagi, negara-negara yang prokemerdekaan Papua selalu menyudutkan posisi Indonesia di forum-forum internasional. Negara-negara tersebut kerapkali berkampanye untuk mendapatkan perhatian internasional terkait dengan penyelesaian masalah Papua. Mereka selalu membuat situasi politik internasional tidak kondusif dan tidak bersahabat dengan Indonesia karena Indonesia sering diserang dengan wacana pelanggaran HAM dan pembiaran kekerasan di Papua.
Manuver negara-negara prokemerdekaan Papua tak lain untuk membenarkan dukungan mereka terhadap gerakan separatis di Papua. Isu provokasi yang dilakukan oleh negara-negara pendukung kemerdekaan selalu berkutat pada isu pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua. Isu ini adalah isu lama yang selalu dihadirkan di forum-forum internasional untuk menaikkan posisi tawar penyelesaian masalah Papua melalu jalan referendum.
Dukungan internasional kepada kelompok prokemerdekaan di Papua menimbulkan kompleksitas yang cukup serius bagi Pemerintah Indonesia dalam berdiplomasi dengan pihak luar negeri. Meskipun Indonesia memiliki kedudukan legitimasi politik yang kuat atas masalah Papua karena permasalahan kedaulatan negara, posisi Indonesia seringkali diserang dengan isu pelanggaran HAM. Hal ini karena isu pelanggaran HAM menjadi isu global yang kerap dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilan atas penanganan masalah Papua.
Masalahnya, negara-negara pendukung prokemerdekaan tidak menggunakan ukuran yang komprehensif dalam mengukur keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam membangun Papua. Permasalahan Papua selalu disederhanakan hanya pada janji pemerintah untuk menuntaskan masalah pelanggaran HAM. Padahal, keberhasilan pembangunan Papua harus dilihat secara menyeluruh.
Sejak diberlakukan status otonomi khusus, Papua telah mendapatkan prioritas pembangunan yang besar. Dari sisi ekonomi, pertumbuhan ekonomi di Papua mencapai 9,1%.
Hal ini membuat Papua sebagai daerah dengan pertumbuhan tertinggi di Indonesia. Dalam hal mendukung percepatan pembangunan di Papua, selama tiga tahun terakhir pemerintah telah membuka 4.325 kilometer jalan, membangun 30 pelabuhan baru, membangun tujuh bandara baru, pemerintah memberikan kepada 2,8 juta orang Papua mendapatkan kesehatan dasar secara gratis, 360.000 siswa Papua mendapat pendidikan gratis, dan kucuran anggaran yang semakin besar dari waktu untuk percepatan pembangunan Papua.
Di satu sisi usaha pemerintah untuk mempercepat pembangunan Papua semakin besar, di sisi lain usaha tersebut tidak dilihat sebagai kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan Papua. Hal inilah yang merupakan pokok permasalahan kenapa kesungguhan Indonesia selalu tidak mendapat apresiasi dari negara-negara prokemerdekaan Papua. Karena, target mereka jelas hanya satu, yaitu mengusahakan supaya Papua menjadi negara merdeka, memisahkan diri dari NKRI.
Pertanyaannya, lalu apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pemerintah mempunyai kesungguhan menyelesaikan masalah Papua secara utuh, bukan hanya dari segi penuntasan janji penyelesaian pelanggaran HAM, melainkan juga pembangunan ekonomi untuk mempercepat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Jawabannya tentu adalah memperkuat diplomasi internasional agar pembangunan Papua tidak dipandang sebelah mata.
Memaksimalkan Diplomasi DPR
Untuk menghadapi internasionalisasi masalah Papua, Pemerintah Indonesia harus melakukan antisipasi secara nasional dan memperkuat diplomasi politik, baik secara bilateral maupun multilateral, yakni melalui forum regional dan internasional.
Dalam menjalankan kebijakan diplomasi, diplomasi yang harus dimainkan adalah diplomasi total dengan melibatkan semua kekuatan komponen bangsa. Selama ini kekuatan utama diplomasi kita harapkan pada Kementerian Luar Negeri melalui duta dan perwakilan di luar negeri. Tentu saja dalam melaksanakan diplomasi total, bukan saja masalah Papua menjadi tanggung jawab Kementerian Luar Negeri, melainkan juga harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh kekuatan bangsa Indonesia.
Satu di antara diplomasi yang harus diperkuat fungsinya dalam kaitan diplomasi total adalah diplomasi DPR sebagai lembaga parlemen. Dalam hal ini DPR sebagai lembaga negara juga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memanfaatkan diplomasi parlemen sehingga permasalahan Papua di mata dunia internasional tidak dilihat secara sepihak. Namun, DPR juga harus menjadi bagian dari kekuatan diplomasi bangsa Indonesia dalam memberikan keyakinan pada dunia internasional bahwa Indonesia mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah Papua.
Peran diplomasi yang dapat dilakukan DPR misalnya studi banding anggota DPR ke luar negeri selain membawa agenda DPR, juga harus membawa misi Papua agar masyarakat dunia internasional semakin memahami perkembangan Papua saat ini. DPR sebagai lembaga negara selain mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, juga harus mempunyai fungsi diplomasi. Kritik masyarakat kampus selama ini harus dijadikan sebagai bahan evaluasi bahwa peran diplomasi DPR selama ini kurang dijalankan maksimal.
Jika diplomasi total tidak dapat dijalankan oleh semua komponen bangsa, posisi Indonesia akan selalu dilemahkan dalam forum-forum politik internasional, baik regional maupun multilateral. Pemerintah bersama DPR serta didukung seluruh komponen bangsa harus menjadikan penyelesaian Papua sebagai agenda prioritas demi tegaknya keutuhan NKRI. Papua adalah harga mati bagian dari NKRI.
(pur)