Tewas Sia-sia di Sumur Minyak Blora
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
TIGA personel polisi rubuh ke tanah bersimbah darah. Kabarnya tubuh mereka diterjang timah panas akibat baku tembak antar mereka.
Salah satunya, sebagaimana diwartakan media, diduga bunuh diri setelah menghabisi kedua temannya. Kejadian di Blora itu kiranya merupakan satu contoh nyata tentang kedahsyatan efek senjata. Psikologi berteori bahwa motif atau niat mendahului perilaku. Tapi teori tersebut guncang jika dihadap-hadapkan dengan senjata.
Teori Efek Senjata justru menyatakan bahwa tanpa didahului niat, keberadaan senjata itu sendiri sudah cukup kuat memprovokasi siempunya untuk sewaktu-waktu menggunakannya.
Lebih mendalam, apa yang sesungguhnya terjadi di Blora? Polisi sendiri yang akan menginvestigasi. Pastinya, andai mereka tewas saat benar-benar sedang menjalankan tugas selaku pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat atau ketika tengah melakukan aksi penegakan hukum, sungguh ketiganya adalah patriot.
Kita, betapapun merasa kehilangan, berbangga hati karenanya. Namun andaikan para personel Brimob itu kehilangan nyawa sebagai akibat dari sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan empat tugas polisi di atas, padahal saat itu masih mengenakan seragam Tribrata, sungguh pantas masyarakat kecewa.
Kendati peristiwa polisi bunuh diri, polisi bunuh-bunuhan dengan sesama polisi, dan polisi salah tembak selalu memantik kegemparan di tengah masyarakat, jumlah kejadiannya sendiri sebetulnya tak begitu banyak. Karena itulah sebagian kalangan belum menyikapinya sebagai persoalan serius, apalagi sebagai fenomena.
Di Mana Seriusnya?
Tahun 2014 silam, seorang personel New York Police Department (NYPD) Brendan Cronin melepas tembakan membabi buta dari revolvernya. Cronin saat itu dalam keadaan mabuk dan sedang tidak bertugas. Cronin dihukum 9 tahun penjara dan dipecat dari korps kepolisian. Pada sisi lain, NYPD diharuskan membayar kompensasi senilai USD6,9 juta dan USD1,3 juta untuk dua korban sipil yang cedera parah akibat penembakan brutal tersebut.
Mirip dengan itu, anggota Kepolisian Chicago, Jason van Dyke, menembak Laquan Mc Donald dengan 17 peluru bersarang di tubuh remaja 16 tahun itu. Van Dyke mengklaim, Mc Donald mencoba menyerangnya dengan pisau. Namun hakim memvonis Van Dyke bersalah. Hakim mengharuskan otoritas kepolisian merilis rekaman video kejadian tersebut.
Ganti rugi sebesar USD5 juta juga menjadi sanksi yang harus dibayar. Mari jadikan angka-angka tersebut di atas sebagai patokan. Nyawa tentu tak bisa dinominalkan. Kesedihan pun tidak mungkin dirupiahkan. Tapi peristiwa mengerikan di sekitar sumur minyak di Blora pekan lalu itu semestinya menyalakan kalkulator di kepala khalayak luas.
Berapa duit yang sudah negara gelontorkan untuk membiayai tiap personel polisi, sejak diseleksi, direkrut, dididik, kemudian dipekerjakan sampai detik maut pada malam naas itu. Puluhan, bahkan mungkin mencapai ratusan juta rupiah. Lalu kalikan bilangan itu dengan jumlah personel yang meninggal dunia dalam situasi seperti yang terjadi di Blora.
Bukan mustahil ganti rugi yang harus dibayar jauh melebihi jumlah yang NYPD gelontorkan sebagaimana digambarkan di atas. Hitung-hitungan tidak cukup sampai di situ. Secara ironis, betapapun seragam masih melekat di badan dan senjata laras panjang berpeluru tajam masih dalam genggaman, boleh jadi pada momen lepasnya nyawa dari raga personel-personel polisi tersebut mereka tidak sedang menjalankan tugas selaku abdi hukum.
Baku tembak antar mereka, dengan kata lain, mungkin dilatarbelakangi pertikaian yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kerja kepolisian. Apabila itu yang menjadi penjelasannya, bisa diartikan bahwa pada saat peristiwa tersebut berlangsung, masyarakat tidak sedang berada dalam kondisi terlindungi.
Masyarakat diabaikan oleh sejumlah personel polisi yang tengah menjalankan penugasan resmi, berikut sejumlah senjata api yang semestinya difungsikan untuk menjamin rasa aman masyarakat.
Terkesampingkannya rasa aman masyarakat bisa berlanjut ke tergerusnya rasa percaya khalayak luas.
Berapa pula nilainya jika semua itu harus di angkakan dalam mata uang? Amatsangat tak terkira! Masalahnya, bisa dibilang bahwa setiap kali terjadi kegegeran akibat aksi penembakan oleh polisi seperti dilukiskan di atas, fokus publik tertuju pada kondisi psikis personel. Gayung bersambut, institusi kepolisian pun selalu menjawab bahwa tes psikologi sudah diberikan.
Bedah sebab-musabab sedemikian rupa memang terlalu menyederhanakan masalah. Terlupakan bahwa perilaku kekerasan terbentuk dari interaksi antara faktor psikologi dan faktor situasi. Seberapa jauh tes terhadap personel polisi juga menjangkau faktor situasi tersebut, kiranya tak meyakinkan.
Apalagi jika tes semata-mata disajikan dalam bentuk pengerjaan soal secara tertulis. Sebagai perbandingan, banyak negara yang memberlakukan ketentuan bahwa personel polisi yang akan memegang senjata harus bertendensi perilaku kekerasan minimal. Cakupan yang diukur ternyata cukup menyeluruh.
Personel harus bersih dari narkoba dan masalah kesehatan mental. Kendali amarah personel juga harus kuat. Ketiga, personel mampu hidup mandiri dalam kesehariannya. Keempat, tidak ada fantasi ataupun waham kekerasan. Terakhir, tidak sering berpindah-pindah tempat tinggal.
Dari simpulan bahwa perilaku kekerasan merupakan hasil interaksi faktor psikis dan faktor situasi, bisa dipahami bahwa bahasan tentang sebab-musabab peristiwa tragis di Blora dan kejadian-kejadian serupa lainnya tidak cukup dikungkung sebatas pada lingkup individual para personel yang tewas. Sisi organisasi kepolisian juga harus ditelaah.
Pertanggung jawaban pun, dengan demikian, juga tidak semestinya diembankan ke individu personel belaka. Institusi kepolisian tidak boleh berlepas tangan. Tewasnya secara mengenaskan tiga personel Polri di Blora semakin memperkuat tesis saya. Bahwa untuk keperluan pembenahan kepolisian, unit lembaga pendidikan dan unit sumber daya manusia Polri lemdik plus humas; sudah sepatutnya diposisikan sebagai trisula reformasi organisasi kepolisian.
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
TIGA personel polisi rubuh ke tanah bersimbah darah. Kabarnya tubuh mereka diterjang timah panas akibat baku tembak antar mereka.
Salah satunya, sebagaimana diwartakan media, diduga bunuh diri setelah menghabisi kedua temannya. Kejadian di Blora itu kiranya merupakan satu contoh nyata tentang kedahsyatan efek senjata. Psikologi berteori bahwa motif atau niat mendahului perilaku. Tapi teori tersebut guncang jika dihadap-hadapkan dengan senjata.
Teori Efek Senjata justru menyatakan bahwa tanpa didahului niat, keberadaan senjata itu sendiri sudah cukup kuat memprovokasi siempunya untuk sewaktu-waktu menggunakannya.
Lebih mendalam, apa yang sesungguhnya terjadi di Blora? Polisi sendiri yang akan menginvestigasi. Pastinya, andai mereka tewas saat benar-benar sedang menjalankan tugas selaku pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat atau ketika tengah melakukan aksi penegakan hukum, sungguh ketiganya adalah patriot.
Kita, betapapun merasa kehilangan, berbangga hati karenanya. Namun andaikan para personel Brimob itu kehilangan nyawa sebagai akibat dari sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan empat tugas polisi di atas, padahal saat itu masih mengenakan seragam Tribrata, sungguh pantas masyarakat kecewa.
Kendati peristiwa polisi bunuh diri, polisi bunuh-bunuhan dengan sesama polisi, dan polisi salah tembak selalu memantik kegemparan di tengah masyarakat, jumlah kejadiannya sendiri sebetulnya tak begitu banyak. Karena itulah sebagian kalangan belum menyikapinya sebagai persoalan serius, apalagi sebagai fenomena.
Di Mana Seriusnya?
Tahun 2014 silam, seorang personel New York Police Department (NYPD) Brendan Cronin melepas tembakan membabi buta dari revolvernya. Cronin saat itu dalam keadaan mabuk dan sedang tidak bertugas. Cronin dihukum 9 tahun penjara dan dipecat dari korps kepolisian. Pada sisi lain, NYPD diharuskan membayar kompensasi senilai USD6,9 juta dan USD1,3 juta untuk dua korban sipil yang cedera parah akibat penembakan brutal tersebut.
Mirip dengan itu, anggota Kepolisian Chicago, Jason van Dyke, menembak Laquan Mc Donald dengan 17 peluru bersarang di tubuh remaja 16 tahun itu. Van Dyke mengklaim, Mc Donald mencoba menyerangnya dengan pisau. Namun hakim memvonis Van Dyke bersalah. Hakim mengharuskan otoritas kepolisian merilis rekaman video kejadian tersebut.
Ganti rugi sebesar USD5 juta juga menjadi sanksi yang harus dibayar. Mari jadikan angka-angka tersebut di atas sebagai patokan. Nyawa tentu tak bisa dinominalkan. Kesedihan pun tidak mungkin dirupiahkan. Tapi peristiwa mengerikan di sekitar sumur minyak di Blora pekan lalu itu semestinya menyalakan kalkulator di kepala khalayak luas.
Berapa duit yang sudah negara gelontorkan untuk membiayai tiap personel polisi, sejak diseleksi, direkrut, dididik, kemudian dipekerjakan sampai detik maut pada malam naas itu. Puluhan, bahkan mungkin mencapai ratusan juta rupiah. Lalu kalikan bilangan itu dengan jumlah personel yang meninggal dunia dalam situasi seperti yang terjadi di Blora.
Bukan mustahil ganti rugi yang harus dibayar jauh melebihi jumlah yang NYPD gelontorkan sebagaimana digambarkan di atas. Hitung-hitungan tidak cukup sampai di situ. Secara ironis, betapapun seragam masih melekat di badan dan senjata laras panjang berpeluru tajam masih dalam genggaman, boleh jadi pada momen lepasnya nyawa dari raga personel-personel polisi tersebut mereka tidak sedang menjalankan tugas selaku abdi hukum.
Baku tembak antar mereka, dengan kata lain, mungkin dilatarbelakangi pertikaian yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kerja kepolisian. Apabila itu yang menjadi penjelasannya, bisa diartikan bahwa pada saat peristiwa tersebut berlangsung, masyarakat tidak sedang berada dalam kondisi terlindungi.
Masyarakat diabaikan oleh sejumlah personel polisi yang tengah menjalankan penugasan resmi, berikut sejumlah senjata api yang semestinya difungsikan untuk menjamin rasa aman masyarakat.
Terkesampingkannya rasa aman masyarakat bisa berlanjut ke tergerusnya rasa percaya khalayak luas.
Berapa pula nilainya jika semua itu harus di angkakan dalam mata uang? Amatsangat tak terkira! Masalahnya, bisa dibilang bahwa setiap kali terjadi kegegeran akibat aksi penembakan oleh polisi seperti dilukiskan di atas, fokus publik tertuju pada kondisi psikis personel. Gayung bersambut, institusi kepolisian pun selalu menjawab bahwa tes psikologi sudah diberikan.
Bedah sebab-musabab sedemikian rupa memang terlalu menyederhanakan masalah. Terlupakan bahwa perilaku kekerasan terbentuk dari interaksi antara faktor psikologi dan faktor situasi. Seberapa jauh tes terhadap personel polisi juga menjangkau faktor situasi tersebut, kiranya tak meyakinkan.
Apalagi jika tes semata-mata disajikan dalam bentuk pengerjaan soal secara tertulis. Sebagai perbandingan, banyak negara yang memberlakukan ketentuan bahwa personel polisi yang akan memegang senjata harus bertendensi perilaku kekerasan minimal. Cakupan yang diukur ternyata cukup menyeluruh.
Personel harus bersih dari narkoba dan masalah kesehatan mental. Kendali amarah personel juga harus kuat. Ketiga, personel mampu hidup mandiri dalam kesehariannya. Keempat, tidak ada fantasi ataupun waham kekerasan. Terakhir, tidak sering berpindah-pindah tempat tinggal.
Dari simpulan bahwa perilaku kekerasan merupakan hasil interaksi faktor psikis dan faktor situasi, bisa dipahami bahwa bahasan tentang sebab-musabab peristiwa tragis di Blora dan kejadian-kejadian serupa lainnya tidak cukup dikungkung sebatas pada lingkup individual para personel yang tewas. Sisi organisasi kepolisian juga harus ditelaah.
Pertanggung jawaban pun, dengan demikian, juga tidak semestinya diembankan ke individu personel belaka. Institusi kepolisian tidak boleh berlepas tangan. Tewasnya secara mengenaskan tiga personel Polri di Blora semakin memperkuat tesis saya. Bahwa untuk keperluan pembenahan kepolisian, unit lembaga pendidikan dan unit sumber daya manusia Polri lemdik plus humas; sudah sepatutnya diposisikan sebagai trisula reformasi organisasi kepolisian.
(mhd)