Tiga Tahun Jokowi-JK

Jum'at, 20 Oktober 2017 - 08:45 WIB
Tiga Tahun Jokowi-JK
Tiga Tahun Jokowi-JK
A A A
Adi Prayitno
Dosen Politik FISIP UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute

Masa pemerintahan kabinet kerja Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kini genap memasuki usia tiga tahun. Meski banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi, sejumlah capaian penting layak diapresiasi sebagai implementasi nyata dari janji Nawa Cita.

Di bidang politik misalnya, situasi politik semakin kondusif terutama soal relasi antara presiden dan senator Senayan. Tidak seperti fase awal pemerintahan Jokowi-JK yang terbelah (divided government) ekstrem akibat polarisasi kekuatan politik Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang saling berkonfrontasi. Sepanjang tahun pertama hingga awal tahun kedua, energi Jokowi-JK terkuras habis sekadar meladeni manuver politik KMP. Hampir semua kebijakan pemerintah dijegal oposisi yang menguasai suara mayoritas parlemen. Akibatnya, hubungan eksekutif dan legislatif berlangsung saling curiga, canggung, bahkan saling menegasi.

Memasuki tahun ketiga pemerintahan, Jokowi-JK mulai bisa menjinakkan kekuatan oposisi, mengontrol kabinet kerja, serta mengonsolidasikan kekuatan partai politik pendukung untuk mengusung Jokowi kembali sebagai capres 2019. Jokowi juga mendapatkan kepercayaan publik yang cukup tinggi sebagai bekal mempercepat pembangunan yang terbengkalai.

Kesuksesan penyelenggaraan pilkada serentak tahap kedua yang digelar Februari 2017 lalu di 101 daerah seluruh Indonesia turut mewarnai kecemerlangan politik di era Jokowi-JK. Nyaris tak ada gejolak politik berarti. Hanya sedikit letupan yang terjadi di jantung Ibu Kota, yakni soal kisruh Ahok dalam pusaran Pilkada Jakarta.

Sebagai bagian dari dinamika politik, Pilkada Jakarta memang menyita begitu banyak energi dan emosi yang sekaligus memberikan edukasi politik yang mendewasakan. Menguji demokrasi dan nilai-nilai kebangsaan. Begitulah kira-kira makna tersembunyi di balik kisruh Pilkada Jakarta. Meski sem­pat gaduh, kisruh efek Pilkada DKI Jakarta nyatanya "happy ending" yang ditandai dengan kemesraan kembali Jokowi dan umat Islam.

Tahun Kerja
Jokowi-JK menjadikan tahun ketiga pemerintahannya sebagai tahun kerja. Suasana politik kondusif menjadi angin surga mengejar target program Nawa Cita. Sejumlah megaproyek infrastruktur terbukti berjalan mulus tanpa interupsi apa pun sebagai ikhtiar pemerataan ekonomi ke berbagai wilayah. Dengan gelontoran dana sekitar 387 triliun pada 2017, mereka sukses merealisasikan pembangunan infrastruktur dan memulai pemerataan di berbagai daerah, terutama di luar Jawa.

Pembangunan infrastruktur yang masif di seluruh wilayah bukan pilihan mudah. Awalnya, kebijakan itu merupakan pilihan sulit karena membutuhkan dana besar. Akibatnya pemerintah melakukan efisiensi anggaran, salah satunya mencabut subsidi di sektor publik dan menaikkan pajak. Sebuah kebijakan tak populis, penuh risiko, rentan resistensi, serta berpotensi menambah angka kemiskinan.

Apalagi, membangun infrastruktur tidak mendatangkan manfaat langsung kepada masyarakat layaknya bantuan langsung tunai (BLT) seperti era sebelumnya. Infrastruktur merupakan fasilitas publik yang manfaatnya baru dirasakan dalam waktu cukup lama. Meski begitu, tanpa bandara, pelabuhan, rel kereta, dan jalan mustahil rasa­nya bisa mewujudkan pemerataan pembangunan di wilayah. Karena itu, pembangunan infrastruktur tak melulu dimaknai sebatas penyediaan fasilitas fisik, melainkan sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah, distribusi logistik mudah berbiaya murah yang berimplikasi pada menggeliatnya ekonomi lokal. Kini efek pembangunan infrastruktur mulai terasa, terutama dalam memangkas disparitas harga di daerah terpencil.

Di tengah pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi relatif stabil di kisaran angka 5%. Pada saat bersamaan inflasi ditekan ke titik nominal 3%. Itu artinya ada selisih keuntungan yang bisa dipetik pemerintah. Dulu pertumbuhan ekonomi memang mencapai 7%, tapi angka inflasi cukup tinggi mencapai 9%. Pemerintah masih merugi.

Meski begitu, bukan berarti Jokowi-JK tanpa koreksi. Minimnya lapangan pekerjaan, tingginya angka kemiskinan, tingginya harga kebutuhan pokok, banyaknya pungli di pemerintahan, serta rendahnya daya beli masyarakat menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi sebelum periode 2019 berakhir.

Tentu saja tak mudah mencapai semua pekerjaan rumah itu. Pemerintah harus fokus bekerja, tak usah berpuas diri dengan survei yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat. Jelang tahun politik 2018 dan 2019 energi bangsa akan tergerus habis urus politik. Pada saat itulah Jokowi harus tetap bekerja di jalan sunyi sekalipun tanpa publisitas. Jokowi tak usah membangun citra lewat ragam media. Cukup ditunjukkan dengan kerja nyata seperti yang sudah dilakukan selama ini, berpolitik dengan bekerja nyata untuk rakyat. Itulah sejatinya citra, bukan citra tanpa kerja nyata.

Pertaruhan Politik
Memasuki tahun keempat, Jokowi-JK mengantongi modal politik cukup memadai un­tuk merealisasikan semua target kerja Nawa Cita. Situasi politik yang kondusif, dukungan parlemen, soliditas partai pendukung, serta kepercayaan (trust) publik menjadi amunisi besar untuk menggenjot pembangunan. Jokowi-JK tak lagi menjadi minority president karena sandungan oposisi parlemen sudah melemah. Bisa dimaklumi jika masa awal pemerintahan mereka mengalami turbulensi politik melelahkan akibat minimnya dukungan parlemen. Namun, setelah hambatan mulai tiada, Jokowi-JK harus meningkatkan performa kinerja, terutama di sektor politik, ekonomi, hukum, dan pemberantasan korupsi.

Di sektor hukum dan pemberantasan korupsi sudah tampak menampilkan kemajuan signifikan. Banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK serta pembersihan pungli di pemerintahan menjadi bukti sahih sektor ini bekerja dengan baik. Meski begitu, ada tantangan nyata di sektor pemberantasan korupsi, terutama soal adanya upaya sistematis melemahkan KPK.

Di sektor ekonomi, meski banyak capaian positif terutama soal iklim investasi yang menggembirakan, masih ada pekerjaan rumah yang harus dibenahi Jokowi-JK seperti menyediakan lapangan kerja, meningkatkan daya beli masyarakat, dan seterusnya.

Ke depan sisa dua tahun kerja akan menjadi pertaruhan politik bagi Jokowi. Dalam logika perilaku pemilih rasional (rational choice), jika Jokowi mampu meningkatkan performa kinerja ekonomi dan politiknya, otomatis akan berdampak positif pada elektabilitas Jokowi pada Pilpres 2019.

Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy (1957) menjelaskan pilihan politik seseorang sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi seseorang maupun kondisi ekonomi masyarakat secara umum. Jika hasil evaluasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi cukup positif, akan berdampak baik pada pemerintah yang sedang berkuasa. Kepercayaan akan meningkat. Sebaliknya, jika kondisi ekonomi memburuk, masyarakat akan memberikan punishment terhadap pejabat bersangkutan.

Dalam perkembangannya, pendekatan rational choice juga ditarik ke sektor lain untuk menilai kinerja, rekam jejak, serta integritas pemimpin petahana. Pemilih rasional akan cenderung memilih kandidat yang memiliki dampak positif terhadap perkembangan ekonomi politik masyarakat dewasa ini. Pada tahap inilah sisa kerja dua tahun akan menjadi pertaruhan politik yang sesungguhnya bagi Jokowi. Pemberantasan korupsi, performa ekonomi, penegakan hukum, serta perkembangan demokrasi akan menjadi barometer keberhasilan Jokowi yang akan dilihat oleh masyarakat.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0793 seconds (0.1#10.140)