Orkestra 3 Tahun Proyek Pemerataan
A
A
A
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
PRESIDEN Jokowi-JK telah menjadi nahkoda ekonomi selama tiga tahun terakhir. Banyak pencapaian yang sepatutnya jadi kebanggaan, mulai dari pembangunan jalan tol, jembatan dan infrastruktur lainnya di seantero penjuru republik. Indonesia bagian timur pun tak ketinggalan bersorak merasakan efek pembangunan yang begitu meriah. Baru kali ini jalan tol trans Papua yang membentang dari Sorong ke Merakue sepanjang 3.259,4 km berhasil direalisasikan. Anggapan bahwa pembangunan sifatnya Jawa Sentris perlahan dibantah oleh Jokowi-JK melalui program infrastrukturnya.
Di sisi yang lain anggaran pemerataan ekonomi di era Jokowi-JK mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pos anggaran subsidi energi dikurangi lebih dari 77% dalam tiga tahun terakhir dan diganti dengan Program Keluarga Harapan (conditional cash transfer). Jumlah penerima PKH terus naik dari 2,5 juta orang di 2015 menjadi 6 juta orang di 2017. Harapannya, bantuan subsidi lebih tepat sasaran dan efektif menurunkan angka kemiskinan khususnya di pedesaan. Pasalnya sejak Indonesia merdeka hingga hari ini kemiskinan masih menjadi tantangan utama dalam diskursus pembangunan nasional.
Data terakhir kemiskinan per Maret 2017 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 10,64% dari total penduduk atau 27,77 juta jiwa. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, penurunan angka kemiskinan berjalan sangat lambat atau hanya berkurang 2,63%. Sementara itu dibandingkan periode 1970-1996 presentase penduduk miskin bisa diturunkan dari 60% menjadi 11,3%.
Kondisi kesenjangan pun tidak mengalami perubahan, bahkan trennya meningkat paska reformasi. Rasio gini masih bertengger di 0,39-0,40 dalam dua tahun terakhir, menurun tapi tidak signifikan. Permasalahan kesenjangan dan kemiskinan warisan yang sifatnya sudah mengakar memang tak mudah untuk diselesaikan dalam tempo singkat. Namun, setidaknya Pemerintah telah membuat beberapa instrumen yang cukup progresif diluar dana bansos salah satunya adalah reforma agraria dan dana desa.
Dorong Reforma Agraria dan Dana Desa
Reforma agraria merupakan instrumen yang telah ditunggu-tunggu untuk selesaikan ketimpangan lahan. Bayangkan ketimpangan paling berbahaya dan laten adalah ketimpangan lahan dengan rasio gini mencapai 0,64 dibandingkan rasio gini pengeluaran 0,39. Ketimpangan lahan memunculkan aneka konflik agraria ditengah masyarakat. Selain itu persoalan rendahnya produktivitas pangan karena alih guna lahan juga jadi masalah yang serius. Di tangan Presiden Jokowi terobosan reforma agraria yang sempat macet di era Soekarno maupun Soeharto berhasil dijalankan.
Bagi-bagi lahan pun tidak tanggung-tanggung, targetnya 9 juta hektar yang terdiri dari 4,5 juta hektar redistribusi lahan dan 4,5 juta hektar sertifikasi lahan. Semua target tersebut diharapkan rampung sebelum Pemilu 2019. Hanya saja reforma agraria yang berjalan masih parsial. Sebagian besar adalah bagi-bagi sertifikat lahan kepada warga. Sementara proyek redistribusi lahan produktif untuk kegiatan pertanian masih terkendala masalah teknis khususnya pembaruan data lokasi. Harapannya sisa dua setengah tahun masa Pemerintahan sudah ada realisasi lahan yang benar-benar produktif didistribusikan kepada petani miskin.
Selain reforma agraria, instrumen ampuh yang dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam tiga tahun terakhir adalah dana desa. Anggaran dana desa yang tercatat Rp60 triliun per tahun terbukti efektif menciptakan penyerapan tenaga kerja. Data Kementerian Desa tahun 2017 mencatat bahwa dana desa mampu menyerap 1,5 juta orang tenaga kerja di sektor infrastruktur dan 960 ribu orang di sektor pemberdayaan.
Kebermanfaatan infrastruktur pun lebih dirasakan kepada masyarakat secara langsung. Jalan desa yang terbangun mencapai 66.884 km dengan 12.596 unit irigasi baru di 74 ribu lebih desa diseluruh Nusantara. Oleh karenanya dana desa memang sebaiknya terus ditambah. Adapun permasalahan korupsi dana desa bisa diantisipasi dengan perbaikan tata kelola (governance) dan pengawasan yang lebih ketat dari Pemerintah Pusat.
Perkuat Modal
Jika memandang kedepan, target ambisius menurunkan angka kemiskinan dari 10,7% ke 10% serta rasio gini dari 0,39 ke 0,38 pada tahun 2018 tentu membutuhkan modal yang cukup besar. Setidaknya total pos belanja perlindungan sosial per tahunnya butuh Rp157,7 triliun sementara biaya membangun infrastruktur bisa butuh lebih dari Rp5.500 triliun hingga 2019. Sementara itu kondisi fiskal tidak memungkinkan untuk melakukan mengalokasikan dana lebih besar karena terbatas defisit.
Untuk itu modal yang dimaksud adalah penerimaan pajak harus siap mengisi kantong agar program pemerataan tidak mengandalkan utang. Dalam hal penggalian potensi pajak Indonesia memang masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Rasio pajak terhadap PDB atau tax ratio Indonesia hanya 11%, sementara Thailand dan Malaysia masing-masing sudah di atas 14%.
Jika dipetakan, potensi penerimaan pajak di Indonesia masih cukup besar. Total wajib pajak individu mencapai 60 juta orang, sementara yang punya NPWP ada dikisaran 28 juta orang. Sayangnya yang taat melaporkan dan membayar setoran pajak hanya ada 11 juta atau 18,3% dari total wajib pajak potensial. Dalam konsep negara welfare state atau negara kesejahteraan, turunnya ketimpangan dan kemiskinan hanya bisa tercapai apabila instrumen pajaknya efektif.
Pemerintah ke depannya bisa segera melakukan reformasi perpajakan, dari mulai perluasan basis pajak hingga membentuk badan pajak yang terpisah dari Kementerian Keuangan seperti di AS. Gotong royong mengentaskan kemiskinan juga tidak bisa dilakukan oleh Pemerintah pusat sendirian. Orkestra yang seirama harus dimainkan juga oleh Pemerintah Daerah.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir jumlah dana dari pusat yang mengalir ke daerah meningkat hingga Rp284,2 triliun. Dalam APBN 2017 pun dana transfer daerah dan dana desa porsinya lebih besar dibanding belanja Kementerian/Lembaga. Di tahun 2017, anggaran yang disiapkan untuk daerah termasuk dana desa mencapai Rp764,9 triliun lebih besar dari belanja Kementerian/Lembaga yakni Rp763,6 triliun.
Artinya, pemerintah pusat ingin memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah untuk memerangi kemiskinan. Kuncinya dengan dana sebesar itu adalah sinergi Pusat-Daerah. Harapannya pemberantasan kemiskinan dan penurunan angka ketimpangan tidak berjalan dalam koridor yang terpisah. Orkestra pengentasan kemiskinan harus dimainkan dengan harmonis agar menghasilkan lagu kesejahteraan yang indah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
PRESIDEN Jokowi-JK telah menjadi nahkoda ekonomi selama tiga tahun terakhir. Banyak pencapaian yang sepatutnya jadi kebanggaan, mulai dari pembangunan jalan tol, jembatan dan infrastruktur lainnya di seantero penjuru republik. Indonesia bagian timur pun tak ketinggalan bersorak merasakan efek pembangunan yang begitu meriah. Baru kali ini jalan tol trans Papua yang membentang dari Sorong ke Merakue sepanjang 3.259,4 km berhasil direalisasikan. Anggapan bahwa pembangunan sifatnya Jawa Sentris perlahan dibantah oleh Jokowi-JK melalui program infrastrukturnya.
Di sisi yang lain anggaran pemerataan ekonomi di era Jokowi-JK mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pos anggaran subsidi energi dikurangi lebih dari 77% dalam tiga tahun terakhir dan diganti dengan Program Keluarga Harapan (conditional cash transfer). Jumlah penerima PKH terus naik dari 2,5 juta orang di 2015 menjadi 6 juta orang di 2017. Harapannya, bantuan subsidi lebih tepat sasaran dan efektif menurunkan angka kemiskinan khususnya di pedesaan. Pasalnya sejak Indonesia merdeka hingga hari ini kemiskinan masih menjadi tantangan utama dalam diskursus pembangunan nasional.
Data terakhir kemiskinan per Maret 2017 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 10,64% dari total penduduk atau 27,77 juta jiwa. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, penurunan angka kemiskinan berjalan sangat lambat atau hanya berkurang 2,63%. Sementara itu dibandingkan periode 1970-1996 presentase penduduk miskin bisa diturunkan dari 60% menjadi 11,3%.
Kondisi kesenjangan pun tidak mengalami perubahan, bahkan trennya meningkat paska reformasi. Rasio gini masih bertengger di 0,39-0,40 dalam dua tahun terakhir, menurun tapi tidak signifikan. Permasalahan kesenjangan dan kemiskinan warisan yang sifatnya sudah mengakar memang tak mudah untuk diselesaikan dalam tempo singkat. Namun, setidaknya Pemerintah telah membuat beberapa instrumen yang cukup progresif diluar dana bansos salah satunya adalah reforma agraria dan dana desa.
Dorong Reforma Agraria dan Dana Desa
Reforma agraria merupakan instrumen yang telah ditunggu-tunggu untuk selesaikan ketimpangan lahan. Bayangkan ketimpangan paling berbahaya dan laten adalah ketimpangan lahan dengan rasio gini mencapai 0,64 dibandingkan rasio gini pengeluaran 0,39. Ketimpangan lahan memunculkan aneka konflik agraria ditengah masyarakat. Selain itu persoalan rendahnya produktivitas pangan karena alih guna lahan juga jadi masalah yang serius. Di tangan Presiden Jokowi terobosan reforma agraria yang sempat macet di era Soekarno maupun Soeharto berhasil dijalankan.
Bagi-bagi lahan pun tidak tanggung-tanggung, targetnya 9 juta hektar yang terdiri dari 4,5 juta hektar redistribusi lahan dan 4,5 juta hektar sertifikasi lahan. Semua target tersebut diharapkan rampung sebelum Pemilu 2019. Hanya saja reforma agraria yang berjalan masih parsial. Sebagian besar adalah bagi-bagi sertifikat lahan kepada warga. Sementara proyek redistribusi lahan produktif untuk kegiatan pertanian masih terkendala masalah teknis khususnya pembaruan data lokasi. Harapannya sisa dua setengah tahun masa Pemerintahan sudah ada realisasi lahan yang benar-benar produktif didistribusikan kepada petani miskin.
Selain reforma agraria, instrumen ampuh yang dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam tiga tahun terakhir adalah dana desa. Anggaran dana desa yang tercatat Rp60 triliun per tahun terbukti efektif menciptakan penyerapan tenaga kerja. Data Kementerian Desa tahun 2017 mencatat bahwa dana desa mampu menyerap 1,5 juta orang tenaga kerja di sektor infrastruktur dan 960 ribu orang di sektor pemberdayaan.
Kebermanfaatan infrastruktur pun lebih dirasakan kepada masyarakat secara langsung. Jalan desa yang terbangun mencapai 66.884 km dengan 12.596 unit irigasi baru di 74 ribu lebih desa diseluruh Nusantara. Oleh karenanya dana desa memang sebaiknya terus ditambah. Adapun permasalahan korupsi dana desa bisa diantisipasi dengan perbaikan tata kelola (governance) dan pengawasan yang lebih ketat dari Pemerintah Pusat.
Perkuat Modal
Jika memandang kedepan, target ambisius menurunkan angka kemiskinan dari 10,7% ke 10% serta rasio gini dari 0,39 ke 0,38 pada tahun 2018 tentu membutuhkan modal yang cukup besar. Setidaknya total pos belanja perlindungan sosial per tahunnya butuh Rp157,7 triliun sementara biaya membangun infrastruktur bisa butuh lebih dari Rp5.500 triliun hingga 2019. Sementara itu kondisi fiskal tidak memungkinkan untuk melakukan mengalokasikan dana lebih besar karena terbatas defisit.
Untuk itu modal yang dimaksud adalah penerimaan pajak harus siap mengisi kantong agar program pemerataan tidak mengandalkan utang. Dalam hal penggalian potensi pajak Indonesia memang masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Rasio pajak terhadap PDB atau tax ratio Indonesia hanya 11%, sementara Thailand dan Malaysia masing-masing sudah di atas 14%.
Jika dipetakan, potensi penerimaan pajak di Indonesia masih cukup besar. Total wajib pajak individu mencapai 60 juta orang, sementara yang punya NPWP ada dikisaran 28 juta orang. Sayangnya yang taat melaporkan dan membayar setoran pajak hanya ada 11 juta atau 18,3% dari total wajib pajak potensial. Dalam konsep negara welfare state atau negara kesejahteraan, turunnya ketimpangan dan kemiskinan hanya bisa tercapai apabila instrumen pajaknya efektif.
Pemerintah ke depannya bisa segera melakukan reformasi perpajakan, dari mulai perluasan basis pajak hingga membentuk badan pajak yang terpisah dari Kementerian Keuangan seperti di AS. Gotong royong mengentaskan kemiskinan juga tidak bisa dilakukan oleh Pemerintah pusat sendirian. Orkestra yang seirama harus dimainkan juga oleh Pemerintah Daerah.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir jumlah dana dari pusat yang mengalir ke daerah meningkat hingga Rp284,2 triliun. Dalam APBN 2017 pun dana transfer daerah dan dana desa porsinya lebih besar dibanding belanja Kementerian/Lembaga. Di tahun 2017, anggaran yang disiapkan untuk daerah termasuk dana desa mencapai Rp764,9 triliun lebih besar dari belanja Kementerian/Lembaga yakni Rp763,6 triliun.
Artinya, pemerintah pusat ingin memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah untuk memerangi kemiskinan. Kuncinya dengan dana sebesar itu adalah sinergi Pusat-Daerah. Harapannya pemberantasan kemiskinan dan penurunan angka ketimpangan tidak berjalan dalam koridor yang terpisah. Orkestra pengentasan kemiskinan harus dimainkan dengan harmonis agar menghasilkan lagu kesejahteraan yang indah.
(kri)