BNPT Waspadai Radikalisme Lewat Dunia Maya
A
A
A
YOGYAKARTA - Dunia maya telah menjadi ‘kendaraan’ utama pelaku terorisme untuk mempersiapkan dan melakukan aksinya.
Kemajuan pesat informasi dan teknologi komunikasi menjadikan kelompok teroris itu sangat leluasa memanfaatkan untuk kepentingan propaganda mereka karena di dunia maya atau internet bisa melakukan apa saja tanpa batas.
“Ini yang melatarbelakangi kenapa radikalisme merambah dunia maya dengan memanfaatkan jejaring sosial dan media, dengan sasaran kaum muda dan penggiat dunia maya,” kata Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi (Deputi 1) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir saat acara Public Lecture Pencegahan Paham Radikal Terorisme, di Aula Sabang Merauke, Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, Rabu 18 Oktober 2017.
Public Lecture dihadiri 700 peserta dari taruna tiga angkatan darat, laut, udara dan Polri, mahasiswa, pelajar, jajaran SKPD Daerah Istimewa Yogyakarta, dan perwakilan organisasi masyarakat. Selain Deputi I, juga hadir Sekretaris Utama (Sestama) BNPT Mayjen TNI R Gautama Wiranegara mewakili Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius.
Abdul Rahman mengatakan, saat ini terorisme bukan hanya persoalan lokal, tapi persoalan seluruh bangsa di dunia. “Seluruh bangsa tidak ada lagi yang imun terhadap pengaruh paham radikal terorisme. Dahulu terorisme hanya ada di belahan dunia tertentu, sekarang tidak ada lagi karena sudah menyebar ke seluruh dunia,” ucapnya.
Bicara tentang terorisme, media, dan dunia maya, dia menggarisbawahi ucapan salah satu pimpinan Al Qaeda, Aiman Aljawahir yang pernah menuliskan surat kepada pengikutnya bahwa saat peperangan, separuh lebih peperangan itu terjadi melalui media.
Ketika itu Juru Bicara Al Qaeda, Al Adnani mengungkapkan daripada merekrut dan membawa anggota baru ke Afganistan, akan lebih mudah dan berharga bila memindahkan pusat pelatihan ke setiap rumah, dan setiap desa perkampungan muslim di berbagai negara.
Artinya, kata Abdul Rahman, para pelaku terorisme itu sangat pintar dan sudah membaca jauh-jauh hari pentingnya media dan dunia maya untuk menjalankan aksi mereka. Kalau didinamikakan, itu terlihat dari pola propaganda kelompok radikal itu yang bergeser dari cara-cara konvensial, ke cara-cara yang mereka gunakan sekarang, yaitu media dan dunia maya.
“Dahulu terorisme melakukan rekrutmen dengan melalui hubungan kekeluargaan, pertemanan, ketokohan, dan lembaga keagamaan. Jadi mulai merekrut sampai pembaitan, mereka harus tatap muka untuk melakukan indoktrinasi, rekrutmen, pembaiatan. Sekarang beda, terorisme sudah menggunakan website, medsos, social messenger,” ujar mantan Danrem 074/Warastratama Solo ini.
Salah bukti pola itu adalah pelaku yang siap melakukan aksi bom bunuh diri di istana negara yang tertangkap di Bintara bekasi. Perempuan pelaku itu dibaiat melalui online, setelah itu nikah secara online. Selain itu, kalau awalnya kelompok radikal menggunakan website untuk propaganda, tapi begitu muncul media chatting, mereka ikut beralih, bahkan sampai ke game online. Belum lagi setelah medsos muncul, dan terakhir social messenger.
Dia menambahkan, ada beberapa alasan teroris selalu menggunakan dunia maya, yaitu karena mudah diakses, tidak ada kontrol, regulasi, dan aturan. Audien luas bahkan bisa anonim, langsung komunikasi, murah, multimedia. Apalagi sekarang internet sudah jadi sumber pemberitaan dan kebutuhan.
“Intinya, kelompok teroris menggunakan internet untuk melakukan perang psikologis, propaganda, pengumpulan dana dan data, serta berdiskusi antarmereka,” tutur Abdul Rahman.
Kemajuan pesat informasi dan teknologi komunikasi menjadikan kelompok teroris itu sangat leluasa memanfaatkan untuk kepentingan propaganda mereka karena di dunia maya atau internet bisa melakukan apa saja tanpa batas.
“Ini yang melatarbelakangi kenapa radikalisme merambah dunia maya dengan memanfaatkan jejaring sosial dan media, dengan sasaran kaum muda dan penggiat dunia maya,” kata Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi (Deputi 1) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir saat acara Public Lecture Pencegahan Paham Radikal Terorisme, di Aula Sabang Merauke, Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, Rabu 18 Oktober 2017.
Public Lecture dihadiri 700 peserta dari taruna tiga angkatan darat, laut, udara dan Polri, mahasiswa, pelajar, jajaran SKPD Daerah Istimewa Yogyakarta, dan perwakilan organisasi masyarakat. Selain Deputi I, juga hadir Sekretaris Utama (Sestama) BNPT Mayjen TNI R Gautama Wiranegara mewakili Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius.
Abdul Rahman mengatakan, saat ini terorisme bukan hanya persoalan lokal, tapi persoalan seluruh bangsa di dunia. “Seluruh bangsa tidak ada lagi yang imun terhadap pengaruh paham radikal terorisme. Dahulu terorisme hanya ada di belahan dunia tertentu, sekarang tidak ada lagi karena sudah menyebar ke seluruh dunia,” ucapnya.
Bicara tentang terorisme, media, dan dunia maya, dia menggarisbawahi ucapan salah satu pimpinan Al Qaeda, Aiman Aljawahir yang pernah menuliskan surat kepada pengikutnya bahwa saat peperangan, separuh lebih peperangan itu terjadi melalui media.
Ketika itu Juru Bicara Al Qaeda, Al Adnani mengungkapkan daripada merekrut dan membawa anggota baru ke Afganistan, akan lebih mudah dan berharga bila memindahkan pusat pelatihan ke setiap rumah, dan setiap desa perkampungan muslim di berbagai negara.
Artinya, kata Abdul Rahman, para pelaku terorisme itu sangat pintar dan sudah membaca jauh-jauh hari pentingnya media dan dunia maya untuk menjalankan aksi mereka. Kalau didinamikakan, itu terlihat dari pola propaganda kelompok radikal itu yang bergeser dari cara-cara konvensial, ke cara-cara yang mereka gunakan sekarang, yaitu media dan dunia maya.
“Dahulu terorisme melakukan rekrutmen dengan melalui hubungan kekeluargaan, pertemanan, ketokohan, dan lembaga keagamaan. Jadi mulai merekrut sampai pembaitan, mereka harus tatap muka untuk melakukan indoktrinasi, rekrutmen, pembaiatan. Sekarang beda, terorisme sudah menggunakan website, medsos, social messenger,” ujar mantan Danrem 074/Warastratama Solo ini.
Salah bukti pola itu adalah pelaku yang siap melakukan aksi bom bunuh diri di istana negara yang tertangkap di Bintara bekasi. Perempuan pelaku itu dibaiat melalui online, setelah itu nikah secara online. Selain itu, kalau awalnya kelompok radikal menggunakan website untuk propaganda, tapi begitu muncul media chatting, mereka ikut beralih, bahkan sampai ke game online. Belum lagi setelah medsos muncul, dan terakhir social messenger.
Dia menambahkan, ada beberapa alasan teroris selalu menggunakan dunia maya, yaitu karena mudah diakses, tidak ada kontrol, regulasi, dan aturan. Audien luas bahkan bisa anonim, langsung komunikasi, murah, multimedia. Apalagi sekarang internet sudah jadi sumber pemberitaan dan kebutuhan.
“Intinya, kelompok teroris menggunakan internet untuk melakukan perang psikologis, propaganda, pengumpulan dana dan data, serta berdiskusi antarmereka,” tutur Abdul Rahman.
(dam)