Kemenkumham Cari Alternatif Hapus Hukuman Mati

Senin, 16 Oktober 2017 - 12:18 WIB
Kemenkumham Cari Alternatif Hapus Hukuman Mati
Kemenkumham Cari Alternatif Hapus Hukuman Mati
A A A
HUKUMAN mati di Indonesia hingga kini masih menjadi polemik. Bahkan, pegiat hak asasi manusia (HAM) menolak keras penerapan hukuman mati karena dianggap tidak sesuai HAM.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengaku, sampai saat ini pro-kontra tentang hukuman tersebut masih kuat. Karena itu, pihaknya terus mencari jalan terbaik untuk memberikan hukuman kepada para terpidana. “Hukuman mati masih ada, dan kami sedang mencari win-win solution-nya,” kata Yasonna.

Yasonna menjelaskan, Kemenkumham mengambil posisi di tengah terkait hukuman mati tersebut. Apalagi masih ada dua arus besar yang berbeda pandangan tentang hukuman itu. Menurut dia, pasti ada cara menghilangkan vonis yang diberikan kepada para narapidana dengan status hukuman mati.

“Pada akhirnya, nanti setelah menjalani hukuman 10 tahun, misalnya berkelakuan baik, itu bisa diubah (tidak perlu dihukum mati). Itu jalan keluar yang mau diambil,” ungkapnya.

Sementara terkait rencana eksekusi mati jilid IV, Jaksa Agung HM Prasetyo mengaku pihaknya masih memiliki kendala guna melaksanakan hukuman itu, baik dari aspek yuridis maupun teknis. “Kendalanya masih banyak. Lebih dari 10 perkara yang inkrah. Ada faktor yuridis yang berkaitan dengan proses hukum dan hak hukum dari orang akan dieksekusi mati. Informasinya, ada di antara mereka yang mengajukan grasi dan PK sehingga belum terpenuhi semuanya. Kalau aspek yuridisnya terpenuhi, aspek teknisnya gampang tinggal ngedor kan,” katanya.

Mengenai penolakan eksekusi mati oleh sejumlah LSM, menurut Prasetyo, hal itu juga menjadi pertimbangan. “Kalau ada yang kontra dan sebagainya, memang seperti itulah dunia. Ada pro dan kontra. Itu yang akan menjadi pertimbangan kami,” katanya.

Prasetyo juga memastikan bahwa anggaran untuk eksekusi mati tidak mengalami kenaikan. Hal ini seiring dengan kebutuhan eksekusi mati yang belum mendesak dan mengalami perubahan. “Jadi, belum ada kenaikan. Anggaran eksekusi mati ini masih disesuaikan dengan kebutuhan sebelumnya meliputi biaya pelatihan dan eksekusi, pengamanan, pengadaan peti mati, dan lainnya. Semuanya disalurkan sesuai peruntukannya. Eksekutornya memang jaksa, tapi pelaksanaannya yang menembak, kami minta bantuan Polri,” katanya.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rochmad menambahkan, pelaksanaan eksekusi mati membutuhkan anggaran sebesar Rp250 juta per orang. “Jika ada 14 orang yang akan dieksekusi, maka membutuhkan anggaran sebesar Rp3.500.000.000," kata Noor.

Sementara Koordinator Bidang Advokasi Kontras Putri Kanisia mengingatkan bahwa isu hukuman mati bisa digunakan calon presiden sebagai alat politik untuk menarik suara dukungan masyarakat. Apalagi, aroma Pilpres 2019 sudah mulai tercium. “Saya khawatir hukuman mati dijadikan cara untuk mendapat dukungan di pilkada maupun pilres,” ungkap Putri.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6168 seconds (0.1#10.140)