Kanibalisme Bisnis dan Regulasi

Sabtu, 14 Oktober 2017 - 07:07 WIB
Kanibalisme Bisnis dan...
Kanibalisme Bisnis dan Regulasi
A A A
Elfindri
Profesor Ekonomi SDM dan Kepala Center for SDGs Universitas Andalas (Unand)

SEMANJAK lahirnya bisnis start­up yang menggunakan perangkat teknologi informasi (TI), banyak anomali bisnis yang muncul. Misalnya di subsektor transportasi telah semakin beragam pilihan yang tersedia untuk bepergian. Ada yang kanibal. Muncul bisnis satu mematikan bisnis lain sejenis. Bahkan ada yang sejalan dan saling dukung. Regulasi diperlukan dengan tidak membiarkan free fight liberalism. Entri bisnis sudah seharusnya dibatasi dalam jumlah tertentu.

Zaman Cepat dan Mudah
Dulu orang bisa naik bendi untuk bepergian. Kemudian berubah naik bemo dan angkot lain. Sekarang bisa dengan naik sepeda motor atau dengan merental mobil. Untuk memilih cara bayar berbelanja, setelah zaman natura, bisa berbelanja dengan membayar secara tunai. Sekarang berubah, berbayar dengan menggunakan teknologi finansial, fintech. Tempat pilihan berbelanja menjadi bervariasi. Mulai dari menggunakan pasar tradisional, berubah ke tempat yang lebih modern mal, ritel to­serba, dan pedagang eceran modern.

Kedua fenomena ini, transportasi dan perdagangan, menyiratkan bahwa pasar transportasi dan perdagangan benar-benar menghadapi persaingan. Persaingan free entry dan free exit yang telah menghasilkan kanibalisme. Free fight liberalism menghasilkan kanibalisme bisnis. Kondisi ini tidaklah sejalan dengan falsafah negara Pancasila. Munculnya regulasi diharapkan akan membuat kehidupan ekonomi semakin baik. Tapi dia absen dan selalu terlambat.

Pada kasus yang berkaitan dengan ”angkutan”, demodemo muncul di mana-mana. Di kota besar seperti Jakarta, dalam tiga tahun terakhir semakin banyak jumlah ojek online seperti Go-Jek, Grab, dan Uber yang beroperasi, juga semakin banyak mobil yang beroperasi dengan menggunakan pesanan.

Banyaknya jumlah yang menggunakan pemesanan dan pembayaran dengan memakai aplikasi menyebabkan beralihnya sebagian konsumen ke jenis usaha baru. Demo yang meminta agar ada pengaturan oleh pemerintah daerah bermunculan. Betapa bisnis lama dapat pesaing karena biaya yang dikenakan produsen lebih rendah, pada kisaran 20% lebih rendah dan lebih murah. Bisnis dengan lama semakin ditinggalkan konsumen.

Demo demikian juga menjalar ke daerah-daerah, khususnya kota provinsi. Misalnya di Padang, Surabaya, Bandung, dan kota-kota lain. Mereka menuntut adanya regulasi. Bahkan demo meminta pemda menutup beroperasinya sarana transportasi dengan sistem pemesanan baru. Anehnya ada pemda yang menutup tanpa dilihat urgensinya dan bagaimana pemerintah daerah memerankan.

Untuk tuntutan penghentian beroperasinya transportasi berbasis online, baik mobil maupun motor, tentu tidak masuk akal karena berbagai hal. Di antaranya masalah efisiensi yang telah terjadi dan sistem transportasi yang ada belum mampu men­jawab keperluan yang ada di masyarakat.

Pada sisi perdagangan, keberadaan pasar tradisional masih sangat diperlukan. Namun pertumbuhan sektor ritel seperti mart-mart yang ada semakin banyak. Pasar tradisional masih eksis dan pasar modern juga jatuh bangun. Satu penjual jagung bakar laris manis, yang lain akan meniru. Dan berjejerlah jenis perdagangan jagung bakar. Demikian juga untuk jenis bengkuang, ikan laut, dan lainnya. Keberadaan dari pasar modern pun menunjukkan konjungtur. Di antaranya munculnya pasar modern baru, juga dapat mematikan jenis pasar modern yang lain, yang tua renta dan tidak menarik lagi.

Di perumahan yang padat penduduk, semakin banyak saja warung atau toko berskala rumah tangga. Satu jalan berjarak 5 sampai 10 rumah akan mudah ditemui warung dan kedaikedai. Namun dalam waktu terakhir kedai-kedai yang baru bermunculan dan warung yang lama menghilang begitu saja secara silih berganti.

Pada sektorritel, memang karena mereka tidak punya asosiasi, maka yang mati dan yang tidak beroperasi lagi tidak melakukan tuntutan atau demo. Tidak seperti yang dilakukan pada subsektor transportasi. Bisa jadi sebenarnya mereka tidak ada pilihan. Maka meski membuat kedai mini atau berbisnis tidak bisa diterima di pasar, mereka mungkin pasrah dengan mencari berbagai jenis usaha baru yang mungkin menjanjikan.

Basmi Kanibal dengan Regulasi
Membiarkan kanibalisme terjadi di depan hidung sepertinya menyiratkan keberadaan dari pemerintah tidak ada. Ke mana masyarakat yang masuk ke dalam sektor-sektor yang berdarah darah ini akan mengadu? Peranan pemerintah mesti ada dalam mengoreksi pasar. Peranan itu mesti ada agar tidak jadi sistem ekonomi etatisme, kanibalisme, monopoli, dan sejenisnya. Mesti ada pengaturan jumlah entri (entry) dan exit dalam sebuah daerah.

Di negara maju, jumlah sektor ritel diatur oleh peraturan pemerintah. Satu ritel per jumlah penduduk tertentu. Ritel baru tidak mudah masuk dengan begitu saja. Namun mesti memenuhi berbagai ketentuan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintahan setempat. Selama ini di tempat kita kalau masuk ke dalam bisnis tradisional, sifatnya dibiarkan masuk dan keluar begitu saja. Memang kesempatan kerja teratasi, tetapi dalam jangka panjang akan terjadi proses substitusi dan kanibalisme. Kehadiran dari bisnis formal dan informal, sebaiknya memerlukan kepastian dari sisi legalitas, penempatan, dan pembiayaan.

Di sektor transportasi, banyak pemerintah setempat membiarkan munculnya angkot-angkot yang tidak resmi. Angkot antarkota, bahkan antarprovinsi disinyalir masih banyak yang belum terdaftar. Main kucing-kucingan dalam berbisnis di jalan dan masuk jalan tempuh dilakukan. Pantas saja mereka yang resmi akan merasa dirugikan karena untuk dapat memasuki bisnis ini memerlukan biaya.

Regulasi jumlah angkot akan membuat persaingan akan semakin sehat. Begitu juga regulasi sektor ritel agar mereka tidak menjadi kanibal satu dengan yang lain. Standar untuk pemberian izin, pembinaan, dan pembiayaan sudah sangat segera diperlukan agar tidak muncul persaingan yang tidak sehat.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0714 seconds (0.1#10.140)