Memahami Analogi dan Ihwal OTT KPK
A
A
A
Eddy OS Hiariej
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Sebelum menanggapi artikel Prof Romli Atmasasmita di harian ini, Rabu 11 Oktober 2017, pertama-tama saya perlu menyampaikan apresiasi kepada KORAN SINDO yang memberi tempat perdebatan akademik yang sehat antara Prof Romli dan saya.
Tidak banyak surat kabar nasional yang memberikan tempat untuk perdebatan ilmiah semacam ini yang sedikit banyaknya akan menambah wawasan keilmuan publik.
Kedua, perbedaan pendapat dalam suatu perdebatan ilmiah pada hakikatnya adalah kawan berpikir sehingga janganlah diartikan sebagai permusuhan. Ketiga, Prof Romli yang saya kenal adalah guru besar yang egaliter dan terbuka dalam menerima perbedaan pendapat.
Oleh karena itu, ketika saya selesai menulis buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana pada September 2014, Prof Romli adalah salah seorang guru besar yang saya minta untuk memberikan kata pengantar.
Sebaliknya, ketika Prof Romli menyelesaikan buku Rekonstruksi Tiada Pidana Tanpa Kesalahan: Geen Straf Zonder Schuld yang akan di launching pada November 2017 mendatang, saya adalah salah seorang yang diminta untuk mengoreksi dan memberikan masukan untuk substansi buku tersebut.
Hanya, ada dua isu besar yang akan saya tanggapi: Pertama, terkait analogi. Salah satu metode dalam penemuan hukum selain penafsiran, adalah argumentasi. Metode argumentasi ini dibagi menjadi argumentum per analogiam atau analogi, penyempitan hukum dan argumentum a contrario.
Analogi pada hakikatnya menyamakan suatu peristiwa khusus yang tidak diatur dalam UU dengan peristiwa yang diatur dalam UU dengan menggali asas yang terdapat di dalam nya (Lihat Sudikno Mertokusumo, 2010, 226-230).
Dalam konteks hukum pidana, analogi adalah perbuatan yang menjadi persoalan tidak bisa dimasukkan ke dalam aturan yang ada. Selanjutnya, perbuatan itu menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi.
Mengenai perdebatan tentang analogi dalam hukum pidana sudah diulas panjang lebar oleh Prof Romli yang merujuk pada buku saya. Sayangnya ketika mengutip pendapat saya tentang analogi itu sendiri, Prof Romli tidak membaca dengan saksama.
Agar tidak terjadi distorsi informasi, saya mengutip utuh tulisan Prof Romli dalam harian ini, "Prof Eddy menyatakan dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (hlm 120): Pertama, dalam konteks hukum pidana nasional, penerapan analogi hanya diperbolehkan dalam rangka menjelaskan undang-undang.
Kedua, masih dalam konteks hukum pidana nasional, analogi hukum tidak diperkenankan karena akan menimbulkan perbuatan pidana baru yang jelas bertentangan dengan asas legalitas.
Ketiga, dalam konteks penegakan hukum, analogi untuk menjelaskan undang-undang ataupun menimbulkan perbuatan pidana, baru diperbolehkan. Prof Eddy sendiri tidak berpendapat atau tidak mempunyai pendapat sendiri tentang analogi, apakah menerima atau menolak.
OTT sebagai bagian pelaksanaan penyelidikan jelas merupakan penerapan UU KPK, telah ditafsirkan Prof Eddy sebagai bentuk percobaan ketika peristiwa tidak terjadi karena digagalkan dengan penjebakan oleh KPK sehingga jelas merugikan calon tersangka/terdakwa".
Pada bagian lain Prof Romli menulis, Jika tafsir Prof Eddy tentang OTT dijadikan rujukan maka jelas dan transparan Prof Eddy berada pada golongan yang menerima analogi dalam sistem hukum pidana Indonesia, sekalipun posisi Prof Eddy dalam konteks analogi tidak jelas.
Apakah pro atau kontra, tetapi demi untuk kepentingan KPK "mendadak" menerima analogi untuk menjelaskan undang-undang (halaman 120 buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana)?”
Buku yang saya tulis dalam halaman 120 menyatakan, “Pendapat penulis sendiri terhadap analogi adalah sebagai berikut: Pertama, dalam konteks hukum pidana nasional, penerapan analogi hanya diperbolehkan dalam rangka menjelaskan undang-undang.
Kedua, masih dalam konteks hukum pidana nasional, analogi hukum tidak diperkenankan karena akan menimbulkan perbuatan pidana baru yang jelas bertentangan dengan asas legalitas.
Ketiga, dalam konteks penegakan hukum pidana internasional termasuk penindakan terhadap kejahatan-kejahatan internasional, baik analogi untuk menjelaskan undang-undang maupun analogi hukum dalam rangka menimbulkan perbuatan pidana, baru diperbolehkan.
Hal ini karena ada perbedaan standar pelaksanaan asas legalitas dalam konteks hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional sebagaimana yang telah diutarakan di atas”
Tulisan saya dalam buku tersebut secara terang benderang memuat pendapat dan sikap saya terhadap analogi bahwa dalam konteks hukum pidana nasional, saya menerima analogi dalam rangka menjelaskan UU (gesetzeanalogie) dan menolak analogi hukum (rechtsanalogie) dalam rangka menimbulkan perbuatan pidana baru.
Sementara dalam konteks hukum pidana internasional, saya menerima baik gesetzeanalogie maupun rechtsnalogi. Jelas dan tegas, saya kemukakan pandangan saya tentang analogi setelah melakukan kajian dari berbagai literatur asli para pemikir hukum pidana Belanda sejak saya menulis disertasi tentang asas legalitas pada 2007.
Jadi, bukan suatu hal yang dadakan sebagaimana yang dikatakan Prof Romli. Lebih dari itu, OTT KPK yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 19 KUHAP tentang tertangkap tangan dan dihubungkan dengan delik percobaan, bukanlah bentuk analogi.
Sebenarnya pendapat saya yang menerima gesetzeanalogie dan bukan rechtsanalogie pada umumnya sama dengan para ahli hukum pidana lainnya.
Van Hattum dan Van Bemmelen yang menolak analogi bahkan interpretasi ekstensif, masih membolehkan analogi terhadap ketentuan pidana tertulis yang tidak didasarkan pada suatu kaidah yang menentukan dapat tidak dipidananya seorang pelaku.
Demikian pula Jan Remmelink sebagai orang yang menolak analogi, dalam bukunya jelas menegaskan bahwa larangan menggunakan analogi hanya dalam hal untuk menciptakan ketentuan pidana baru, bukan untuk menjelaskan perundang-undangan.
Bahkan, Remmelink menegaskan bahwa Hooge Raad dalam menerbitkan sejumlah putusan, sulit untuk tidak dikatakan tidak menggunakan analogi, terutama ketika dihadapkan dengan sejumlah tindakan jahat yang tanpa pendekatan demikian pasti lolos dari jaringan keadilan.
Kedua, terkait alas hak OTT. Prof Romli berpendapat bahwa penyadapan pascaputusan MK harus dilakukan dengan dasar UU bukan PP, perpres, atau bahkan SOP. Penyadapan yang diikuti dengan pengintaian adalah perbuatan ilegal karena tidak diatur dalam UU KPK. Oleh karena itu, OTT lebih pada penjebakan.
***
Terhadap berbagai argumentasi tersebut, ada pun tanggapan saya sebagai berikut. Pertama, putusan MK mengenai penyadapan adalah terkait dengan pengujian UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan bukan UU KPK.
Pasal yang dibatalkan dalam UU A Quo menyatakan bahwa kewenangan penyadapan diatur dalam peraturan pemerintah. Menurut MK, kewenangan penyadapan harus diatur dalam UU.
Pembatalan pasal dalam UU ITE tidak berlaku bagi UU KPK. Selain tidak mencabut kewenangan penyadapan, alas hak kewenangan penyadapan oleh KPK adalah berdasarkan UU.
Sayangnya kewenangan KPK untuk menyadap tidak diatur rinci oleh Prof Romli sebagai salah seorang pembentuk UU KPK, maka berdasarkan karakter KPK sebagai lembaga independen berlaku self regulatory body. Artinya bisa mengatur hal-hal teknis berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU.
Kedua, pengintaian adalah hal yang wajar dilakukan dalam penyelidikan/penyidikan. Dalam konteks ini, Prof Romli bertanya kepada saya dalam artikelnya.
Mana pasal yang mengatur pengintaian dalam UU KPK jika masih berpegang pada asas legalitas? Dalam konteks ini pula, saya ingin bertanya balik kepada Prof Romli mana pasal dalam UU KPK yang melarang melakukan pengintaian? UNCAC 2003 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 dalam pasal 50 membolehkan electronic or other forms of surveillance and undercover operation.
Secara lengkap, Pasal 50 UNCAC berbunyi, "In order to combat corruption effectively, each State Party shall, to the extent permitted by the basic principles of its domestic legal system and in accordance with the conditions prescribed by its domestic law, take such measures as may be necessary, within its means, to allow for the appropriate use (by its competent authorities) of controlled delivery and, where it deems appropriate, other special investigative techniques, such as electronic surveillance and undercover operations, within its territory, and to allow for the admissibility in court of evidence derived therefrom“.
Ketentuan tersebut secara kasatmata menjawab kegalauan Prof Romli terhadap OTT KPK, termasuk hasil OTT sebagai bukti di pengadilan.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa sampai dengan saat ini OTT KPK belum pernah dipraperadilankan. Kalau pun diajukan praperadilan, pasti akan ditolak karena memiliki dasar dan kewenangan yang legal.
Ketiga, sebagaimana telah diulas dalam artikel sebelumnya, Richrad G Singer dan Prof John Q La Fond dalam Criminal Law menyatakan bahwa penjebakan harus ada dua pendekatan.
Pendekatan subjektif berarti harus ada ajakan dari penegak hukum agar seseorang melakukan tindak pidana, sedangkan pendekatan objektif berarti ajakan tersebut meliputi pemberian informasi suatu tindak pidana seakan-akan bukan tindak pidana dan jaminan bahwa tindak pidana tersebut akan ditanggung oleh petugas yang menyamar.
Pertanyaan lebih lanjut, selain kasus Khariansyah dan Probosutedjo, adakah tindakan OTT KPK yang meliputi kedua pendekatan tersebut sebagaimana dimaksud dalam penjebakan? Jika tidak bisa menunjukkan kasusnya berikut fakta-fakta yang ada, maka OTT KPK adalah penjebakan hanyalah asumsi yang tidak berdasar.
Terakhir, dalam OTT, KPK telah memperlihatkan efektivitas dalam memberantas korupsi sekaligus sebagai pencegahan umum dilakukan praktik-praktik korup oleh pejabat publik dan penyelenggaraan negara.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika lembaga asing yang kredibel seperti UNODC memberi gelar "best practices" kepada KPK. Pemberian gelar tersebut tentunya didasarkan pada suatu penelitian dan kajian mendalam, bukan asal-asalan. Sayangnya, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan, kerja KPK justru dicibir oleh anak bangsa sendiri.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Sebelum menanggapi artikel Prof Romli Atmasasmita di harian ini, Rabu 11 Oktober 2017, pertama-tama saya perlu menyampaikan apresiasi kepada KORAN SINDO yang memberi tempat perdebatan akademik yang sehat antara Prof Romli dan saya.
Tidak banyak surat kabar nasional yang memberikan tempat untuk perdebatan ilmiah semacam ini yang sedikit banyaknya akan menambah wawasan keilmuan publik.
Kedua, perbedaan pendapat dalam suatu perdebatan ilmiah pada hakikatnya adalah kawan berpikir sehingga janganlah diartikan sebagai permusuhan. Ketiga, Prof Romli yang saya kenal adalah guru besar yang egaliter dan terbuka dalam menerima perbedaan pendapat.
Oleh karena itu, ketika saya selesai menulis buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana pada September 2014, Prof Romli adalah salah seorang guru besar yang saya minta untuk memberikan kata pengantar.
Sebaliknya, ketika Prof Romli menyelesaikan buku Rekonstruksi Tiada Pidana Tanpa Kesalahan: Geen Straf Zonder Schuld yang akan di launching pada November 2017 mendatang, saya adalah salah seorang yang diminta untuk mengoreksi dan memberikan masukan untuk substansi buku tersebut.
Hanya, ada dua isu besar yang akan saya tanggapi: Pertama, terkait analogi. Salah satu metode dalam penemuan hukum selain penafsiran, adalah argumentasi. Metode argumentasi ini dibagi menjadi argumentum per analogiam atau analogi, penyempitan hukum dan argumentum a contrario.
Analogi pada hakikatnya menyamakan suatu peristiwa khusus yang tidak diatur dalam UU dengan peristiwa yang diatur dalam UU dengan menggali asas yang terdapat di dalam nya (Lihat Sudikno Mertokusumo, 2010, 226-230).
Dalam konteks hukum pidana, analogi adalah perbuatan yang menjadi persoalan tidak bisa dimasukkan ke dalam aturan yang ada. Selanjutnya, perbuatan itu menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi.
Mengenai perdebatan tentang analogi dalam hukum pidana sudah diulas panjang lebar oleh Prof Romli yang merujuk pada buku saya. Sayangnya ketika mengutip pendapat saya tentang analogi itu sendiri, Prof Romli tidak membaca dengan saksama.
Agar tidak terjadi distorsi informasi, saya mengutip utuh tulisan Prof Romli dalam harian ini, "Prof Eddy menyatakan dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (hlm 120): Pertama, dalam konteks hukum pidana nasional, penerapan analogi hanya diperbolehkan dalam rangka menjelaskan undang-undang.
Kedua, masih dalam konteks hukum pidana nasional, analogi hukum tidak diperkenankan karena akan menimbulkan perbuatan pidana baru yang jelas bertentangan dengan asas legalitas.
Ketiga, dalam konteks penegakan hukum, analogi untuk menjelaskan undang-undang ataupun menimbulkan perbuatan pidana, baru diperbolehkan. Prof Eddy sendiri tidak berpendapat atau tidak mempunyai pendapat sendiri tentang analogi, apakah menerima atau menolak.
OTT sebagai bagian pelaksanaan penyelidikan jelas merupakan penerapan UU KPK, telah ditafsirkan Prof Eddy sebagai bentuk percobaan ketika peristiwa tidak terjadi karena digagalkan dengan penjebakan oleh KPK sehingga jelas merugikan calon tersangka/terdakwa".
Pada bagian lain Prof Romli menulis, Jika tafsir Prof Eddy tentang OTT dijadikan rujukan maka jelas dan transparan Prof Eddy berada pada golongan yang menerima analogi dalam sistem hukum pidana Indonesia, sekalipun posisi Prof Eddy dalam konteks analogi tidak jelas.
Apakah pro atau kontra, tetapi demi untuk kepentingan KPK "mendadak" menerima analogi untuk menjelaskan undang-undang (halaman 120 buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana)?”
Buku yang saya tulis dalam halaman 120 menyatakan, “Pendapat penulis sendiri terhadap analogi adalah sebagai berikut: Pertama, dalam konteks hukum pidana nasional, penerapan analogi hanya diperbolehkan dalam rangka menjelaskan undang-undang.
Kedua, masih dalam konteks hukum pidana nasional, analogi hukum tidak diperkenankan karena akan menimbulkan perbuatan pidana baru yang jelas bertentangan dengan asas legalitas.
Ketiga, dalam konteks penegakan hukum pidana internasional termasuk penindakan terhadap kejahatan-kejahatan internasional, baik analogi untuk menjelaskan undang-undang maupun analogi hukum dalam rangka menimbulkan perbuatan pidana, baru diperbolehkan.
Hal ini karena ada perbedaan standar pelaksanaan asas legalitas dalam konteks hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional sebagaimana yang telah diutarakan di atas”
Tulisan saya dalam buku tersebut secara terang benderang memuat pendapat dan sikap saya terhadap analogi bahwa dalam konteks hukum pidana nasional, saya menerima analogi dalam rangka menjelaskan UU (gesetzeanalogie) dan menolak analogi hukum (rechtsanalogie) dalam rangka menimbulkan perbuatan pidana baru.
Sementara dalam konteks hukum pidana internasional, saya menerima baik gesetzeanalogie maupun rechtsnalogi. Jelas dan tegas, saya kemukakan pandangan saya tentang analogi setelah melakukan kajian dari berbagai literatur asli para pemikir hukum pidana Belanda sejak saya menulis disertasi tentang asas legalitas pada 2007.
Jadi, bukan suatu hal yang dadakan sebagaimana yang dikatakan Prof Romli. Lebih dari itu, OTT KPK yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 19 KUHAP tentang tertangkap tangan dan dihubungkan dengan delik percobaan, bukanlah bentuk analogi.
Sebenarnya pendapat saya yang menerima gesetzeanalogie dan bukan rechtsanalogie pada umumnya sama dengan para ahli hukum pidana lainnya.
Van Hattum dan Van Bemmelen yang menolak analogi bahkan interpretasi ekstensif, masih membolehkan analogi terhadap ketentuan pidana tertulis yang tidak didasarkan pada suatu kaidah yang menentukan dapat tidak dipidananya seorang pelaku.
Demikian pula Jan Remmelink sebagai orang yang menolak analogi, dalam bukunya jelas menegaskan bahwa larangan menggunakan analogi hanya dalam hal untuk menciptakan ketentuan pidana baru, bukan untuk menjelaskan perundang-undangan.
Bahkan, Remmelink menegaskan bahwa Hooge Raad dalam menerbitkan sejumlah putusan, sulit untuk tidak dikatakan tidak menggunakan analogi, terutama ketika dihadapkan dengan sejumlah tindakan jahat yang tanpa pendekatan demikian pasti lolos dari jaringan keadilan.
Kedua, terkait alas hak OTT. Prof Romli berpendapat bahwa penyadapan pascaputusan MK harus dilakukan dengan dasar UU bukan PP, perpres, atau bahkan SOP. Penyadapan yang diikuti dengan pengintaian adalah perbuatan ilegal karena tidak diatur dalam UU KPK. Oleh karena itu, OTT lebih pada penjebakan.
***
Terhadap berbagai argumentasi tersebut, ada pun tanggapan saya sebagai berikut. Pertama, putusan MK mengenai penyadapan adalah terkait dengan pengujian UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan bukan UU KPK.
Pasal yang dibatalkan dalam UU A Quo menyatakan bahwa kewenangan penyadapan diatur dalam peraturan pemerintah. Menurut MK, kewenangan penyadapan harus diatur dalam UU.
Pembatalan pasal dalam UU ITE tidak berlaku bagi UU KPK. Selain tidak mencabut kewenangan penyadapan, alas hak kewenangan penyadapan oleh KPK adalah berdasarkan UU.
Sayangnya kewenangan KPK untuk menyadap tidak diatur rinci oleh Prof Romli sebagai salah seorang pembentuk UU KPK, maka berdasarkan karakter KPK sebagai lembaga independen berlaku self regulatory body. Artinya bisa mengatur hal-hal teknis berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU.
Kedua, pengintaian adalah hal yang wajar dilakukan dalam penyelidikan/penyidikan. Dalam konteks ini, Prof Romli bertanya kepada saya dalam artikelnya.
Mana pasal yang mengatur pengintaian dalam UU KPK jika masih berpegang pada asas legalitas? Dalam konteks ini pula, saya ingin bertanya balik kepada Prof Romli mana pasal dalam UU KPK yang melarang melakukan pengintaian? UNCAC 2003 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 dalam pasal 50 membolehkan electronic or other forms of surveillance and undercover operation.
Secara lengkap, Pasal 50 UNCAC berbunyi, "In order to combat corruption effectively, each State Party shall, to the extent permitted by the basic principles of its domestic legal system and in accordance with the conditions prescribed by its domestic law, take such measures as may be necessary, within its means, to allow for the appropriate use (by its competent authorities) of controlled delivery and, where it deems appropriate, other special investigative techniques, such as electronic surveillance and undercover operations, within its territory, and to allow for the admissibility in court of evidence derived therefrom“.
Ketentuan tersebut secara kasatmata menjawab kegalauan Prof Romli terhadap OTT KPK, termasuk hasil OTT sebagai bukti di pengadilan.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa sampai dengan saat ini OTT KPK belum pernah dipraperadilankan. Kalau pun diajukan praperadilan, pasti akan ditolak karena memiliki dasar dan kewenangan yang legal.
Ketiga, sebagaimana telah diulas dalam artikel sebelumnya, Richrad G Singer dan Prof John Q La Fond dalam Criminal Law menyatakan bahwa penjebakan harus ada dua pendekatan.
Pendekatan subjektif berarti harus ada ajakan dari penegak hukum agar seseorang melakukan tindak pidana, sedangkan pendekatan objektif berarti ajakan tersebut meliputi pemberian informasi suatu tindak pidana seakan-akan bukan tindak pidana dan jaminan bahwa tindak pidana tersebut akan ditanggung oleh petugas yang menyamar.
Pertanyaan lebih lanjut, selain kasus Khariansyah dan Probosutedjo, adakah tindakan OTT KPK yang meliputi kedua pendekatan tersebut sebagaimana dimaksud dalam penjebakan? Jika tidak bisa menunjukkan kasusnya berikut fakta-fakta yang ada, maka OTT KPK adalah penjebakan hanyalah asumsi yang tidak berdasar.
Terakhir, dalam OTT, KPK telah memperlihatkan efektivitas dalam memberantas korupsi sekaligus sebagai pencegahan umum dilakukan praktik-praktik korup oleh pejabat publik dan penyelenggaraan negara.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika lembaga asing yang kredibel seperti UNODC memberi gelar "best practices" kepada KPK. Pemberian gelar tersebut tentunya didasarkan pada suatu penelitian dan kajian mendalam, bukan asal-asalan. Sayangnya, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan, kerja KPK justru dicibir oleh anak bangsa sendiri.
(nag)