Cukai, Industri, dan Petani
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
KEBIJAKAN cukai bagi pabrik keretek pada dasarnya merupakan strategi pengendalian. Dari tahun ke tahun strategi itu berubah. Beban cukai makin naik, makin naik, dan betul-betul menjadi beban tak tertanggungkan lagi. Pabrik keretek skala kecil, terutama industri rumah tangga, mati seketika. Ratusan industri seperti itu mati tanpa kita tangisi.
Beban cukai telah menjadi sebuah pukulan telak dan mematikan. Dilihat dari segi pengendalian, inilah gambaran kebijakan paling sukses. Pelaksanaannya di lapangan tak berbelit-belit. Sekali rapat, kebijakan lalu diumumkan dan berlaku tanpa pandang bulu. Tak kelihatan setitik pun keringat menetes di tubuh para pejabat pemerintah.
Pengendalian bertentangan dengan pengembangan yang berusaha membuat sesuatu menjadi mekar, berkembang, dan makin besar. Pengendalian berusaha memperkecil, membatasi ruang gerak, dan menahan laju pertumbuhan. Industri keretek tak boleh tumbuh. Pengendalian itu tampak sebagai kebijakan yang dibumbui rasa dengki. Tujuan utamanya membikin industri keretek mati bukan dalam damai dan tak pernah disertai sebutan rest in peace. Mereka ibaratnya mati seperti kodok tertindas roda kendaraan. Matilah, siapa akan peduli.
Inilah jenis pembunuhan yang tak dianggap sebagai tindak pidana kriminal. Di sini membunuh bukan hanya tak dikenai hukuman pidana. Sebaliknya ini tindakan yang dianggap sebuah kemuliaan. Kebijakan pengendalian itu lalu disebut sukses. Betapa mudahnya meraih kesuksesan dalam sebuah kebijakan. Dalam beberapa tahun terakhir, realisasi penerimaan cukai bahkan melebihi target. Dan dalam jumlah uang, kurang lebih berkisar pada Rp165 triliun atau mungkin bahkan sedikit lebih tinggi dari itu.
Inilah ongkang-ongkang kaki, nganggur metekur, yang memperoleh jumlah uang di luar ukuran. Inilah tenguk-tenguk diteri getuk, duduk sambil mengantuk tapi mendapat kiriman getuk; makanan enak yang tak terduga bakal mendatangi kita.
Bila untuk tahun 2018 mendatang ada embel-embel kebijakan cukai yang berkeadilan, kita harus bertanya—sambil lalu saja—apanya yang berkeadilan? Ini saja belum tentu ada jawabannya. Apalagi kalau kita bertanya secara serius, dengan menimbang ini dan itu, dan menegaskan kepada mereka keadilannya terletak di sudut mana kalau dari awal mula dan niat utamanya cukai itu diberlakukan demi pengendalian?
Adakah kata pengendalian yang maknanya menumbuhkan, membebaskan berkembang, dan memberi keleluasaan atas apa yang dikendalikan itu hidup subur tanpa gangguan? Bukankah pengendalian itu, seperti disebut di atas, tak memberi hak hidup secara wajar terhadap yang dikendalikan, yaitu industri hasil olahan produk tembakau?
Tembakau di tangan petani, dari titik produksi penanaman paling awal hingga masa panen dan pengolahan sebelum dibawa ke pabrik, ini sudah merupakan hasil budi daya pertanian yang super kompleks dengan hasil—kalau merujuk pada produk tembakau Srintil di Lamuk—yang super istimewa. Saya menyoroti kebijakan cukai ini dari sudut kebudayaan: cara pandang yang mengutamakan manusia, segenap hasil karyanya, dan mata pencaharian hidup atau sumber penghidupannya.
Tiga unsur itu yang diancam secara sengaja oleh kebijakan cukai. Manusianya, di lahan pertanian maupun di pabrik, dimatikan. Semua hasil karya mereka, yaitu wujud kebudayaan agung dan kompleks, dimatikan. Sumber mata pencariannya, pertanian dan pabrik, dimatikan. Semua dimatikan dengan sangat kejam karena diam-diam, hasil kerja mereka, dalam bentuk uang yang besar itu, diambil.
Mereka menggunakan dalil: rakyat ada untuk pemerintah. Padahal dalil kerakyatan kita mengatakan, pemerintah ada, dibentuk, disepakati adanya demi rakyat. Pemerintah mengabdi kepada rakyat karena rakyatlah pemilik sah republik ini. Tapi mengapa rakyat dipersulit oleh pemerintah?
Di sini tampak bahwa pemerintah bertindak culas. Rakyat diajari culas. Rakyat tak kalah cekatan. Begitu merasakan getirnya pabrik rumah tangga mereka dibunuh, mereka bangkit pelan-pelan, dan diam-diam, tapi secara indah, mereka melawan. Mereka membikin pabrik-pabrik kecil untuk hidup dan membangun kehidupan yang layak sebagai manusia dan menjual produk mereka secara diam-diam. Cukai tak menjadi beban. Usaha pengendalian, siapa yang mengendalikan?
Kalau cukai mengatur dengan baik dan syukur menggunakan kata keadilan yang sungguh-sungguh diwujudkan, niscaya tak bakal pernah ada model perlawanan dari rakyat, yaitu dari pabrik maupun dari kaum tani. Dunia pabrik dan pertanian ini mewakili orang-orang yang disebut rakyat Indonesia yang tadi disebut pemilik sah republik ini.
Jumlah mereka berjuta-juta jiwa. Kalau perhitungan para petani sendiri beberapa tahun lalu benar, mencapai jumlah 6 juta jiwa, berapa jumlah real nya bila keluarga mereka ditambahkan pada angka 6 juta itu? Dua kali lipatnya, atau bahkan yang lebih faktual, tiga kali lipatnya? Ini jumlah yang besar. Tapi orang cukai mengabaikannya. Mereka orang teknis, yang berpikir teknis dan tindakannya superteknis; pokoknya target cukai tercapai.
Inilah bahayanya kalau kebudayaan dihadapi dengan orang teknis dan pemikir teknis. Lahan pertanian dan pabrik disederhanakan sebagai sumber pendapatan bagi negara. Petani dan industri digertak dengan aturan, dipaksa memenuhi target cukai yang mereka tetapkan, tanpa pernah bertanya pada pihak pabrik maupun petani mengenai bagaimana jalan yang adil dan ada unsur manusiawinya untuk menarik cukai.
Kebudayaan yang kompleks dan mendalam: manusia, karya dan segenap prestasinya serta sumber kehidupannya dianggap hanya benda dan benda. Mereka dipukul dengan kebijakan. Mereka dibunuh dengan aturan dan hukum-hukum yang begitu mengikat dan ganas dan matilah mereka. Pabrik milik rakyat gugur bukan dalam pertempuran tapi di rumah masing-masing. Dan bila kini mereka berusaha sekadar mempertahankan hidup, dengan pabrik kecil kelas rumah tangga, dan otomatis tak membayar cukai, apakah ini namanya?
Keras kepala? Bukan. Membangkang? Bukan. Mereja hanyalah murid-murid yang baik dan taat pada ajaran guru. Tapi kalau ini harus disebut perlawanan, mungkin tak masalah. Apa boleh buat. Kita punya nama yang terhormat bagi tindakan itu. Inilah perlawanan puitik dunia industri dan petani. Dan ini perlawanan yang wajib didukung. Syukur bila cukai, industri, dan petani, bisa ditata dengan baik melalui tata niaga indutri dan pertanian yang punya rasa sedikit kemanusiaan.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
KEBIJAKAN cukai bagi pabrik keretek pada dasarnya merupakan strategi pengendalian. Dari tahun ke tahun strategi itu berubah. Beban cukai makin naik, makin naik, dan betul-betul menjadi beban tak tertanggungkan lagi. Pabrik keretek skala kecil, terutama industri rumah tangga, mati seketika. Ratusan industri seperti itu mati tanpa kita tangisi.
Beban cukai telah menjadi sebuah pukulan telak dan mematikan. Dilihat dari segi pengendalian, inilah gambaran kebijakan paling sukses. Pelaksanaannya di lapangan tak berbelit-belit. Sekali rapat, kebijakan lalu diumumkan dan berlaku tanpa pandang bulu. Tak kelihatan setitik pun keringat menetes di tubuh para pejabat pemerintah.
Pengendalian bertentangan dengan pengembangan yang berusaha membuat sesuatu menjadi mekar, berkembang, dan makin besar. Pengendalian berusaha memperkecil, membatasi ruang gerak, dan menahan laju pertumbuhan. Industri keretek tak boleh tumbuh. Pengendalian itu tampak sebagai kebijakan yang dibumbui rasa dengki. Tujuan utamanya membikin industri keretek mati bukan dalam damai dan tak pernah disertai sebutan rest in peace. Mereka ibaratnya mati seperti kodok tertindas roda kendaraan. Matilah, siapa akan peduli.
Inilah jenis pembunuhan yang tak dianggap sebagai tindak pidana kriminal. Di sini membunuh bukan hanya tak dikenai hukuman pidana. Sebaliknya ini tindakan yang dianggap sebuah kemuliaan. Kebijakan pengendalian itu lalu disebut sukses. Betapa mudahnya meraih kesuksesan dalam sebuah kebijakan. Dalam beberapa tahun terakhir, realisasi penerimaan cukai bahkan melebihi target. Dan dalam jumlah uang, kurang lebih berkisar pada Rp165 triliun atau mungkin bahkan sedikit lebih tinggi dari itu.
Inilah ongkang-ongkang kaki, nganggur metekur, yang memperoleh jumlah uang di luar ukuran. Inilah tenguk-tenguk diteri getuk, duduk sambil mengantuk tapi mendapat kiriman getuk; makanan enak yang tak terduga bakal mendatangi kita.
Bila untuk tahun 2018 mendatang ada embel-embel kebijakan cukai yang berkeadilan, kita harus bertanya—sambil lalu saja—apanya yang berkeadilan? Ini saja belum tentu ada jawabannya. Apalagi kalau kita bertanya secara serius, dengan menimbang ini dan itu, dan menegaskan kepada mereka keadilannya terletak di sudut mana kalau dari awal mula dan niat utamanya cukai itu diberlakukan demi pengendalian?
Adakah kata pengendalian yang maknanya menumbuhkan, membebaskan berkembang, dan memberi keleluasaan atas apa yang dikendalikan itu hidup subur tanpa gangguan? Bukankah pengendalian itu, seperti disebut di atas, tak memberi hak hidup secara wajar terhadap yang dikendalikan, yaitu industri hasil olahan produk tembakau?
Tembakau di tangan petani, dari titik produksi penanaman paling awal hingga masa panen dan pengolahan sebelum dibawa ke pabrik, ini sudah merupakan hasil budi daya pertanian yang super kompleks dengan hasil—kalau merujuk pada produk tembakau Srintil di Lamuk—yang super istimewa. Saya menyoroti kebijakan cukai ini dari sudut kebudayaan: cara pandang yang mengutamakan manusia, segenap hasil karyanya, dan mata pencaharian hidup atau sumber penghidupannya.
Tiga unsur itu yang diancam secara sengaja oleh kebijakan cukai. Manusianya, di lahan pertanian maupun di pabrik, dimatikan. Semua hasil karya mereka, yaitu wujud kebudayaan agung dan kompleks, dimatikan. Sumber mata pencariannya, pertanian dan pabrik, dimatikan. Semua dimatikan dengan sangat kejam karena diam-diam, hasil kerja mereka, dalam bentuk uang yang besar itu, diambil.
Mereka menggunakan dalil: rakyat ada untuk pemerintah. Padahal dalil kerakyatan kita mengatakan, pemerintah ada, dibentuk, disepakati adanya demi rakyat. Pemerintah mengabdi kepada rakyat karena rakyatlah pemilik sah republik ini. Tapi mengapa rakyat dipersulit oleh pemerintah?
Di sini tampak bahwa pemerintah bertindak culas. Rakyat diajari culas. Rakyat tak kalah cekatan. Begitu merasakan getirnya pabrik rumah tangga mereka dibunuh, mereka bangkit pelan-pelan, dan diam-diam, tapi secara indah, mereka melawan. Mereka membikin pabrik-pabrik kecil untuk hidup dan membangun kehidupan yang layak sebagai manusia dan menjual produk mereka secara diam-diam. Cukai tak menjadi beban. Usaha pengendalian, siapa yang mengendalikan?
Kalau cukai mengatur dengan baik dan syukur menggunakan kata keadilan yang sungguh-sungguh diwujudkan, niscaya tak bakal pernah ada model perlawanan dari rakyat, yaitu dari pabrik maupun dari kaum tani. Dunia pabrik dan pertanian ini mewakili orang-orang yang disebut rakyat Indonesia yang tadi disebut pemilik sah republik ini.
Jumlah mereka berjuta-juta jiwa. Kalau perhitungan para petani sendiri beberapa tahun lalu benar, mencapai jumlah 6 juta jiwa, berapa jumlah real nya bila keluarga mereka ditambahkan pada angka 6 juta itu? Dua kali lipatnya, atau bahkan yang lebih faktual, tiga kali lipatnya? Ini jumlah yang besar. Tapi orang cukai mengabaikannya. Mereka orang teknis, yang berpikir teknis dan tindakannya superteknis; pokoknya target cukai tercapai.
Inilah bahayanya kalau kebudayaan dihadapi dengan orang teknis dan pemikir teknis. Lahan pertanian dan pabrik disederhanakan sebagai sumber pendapatan bagi negara. Petani dan industri digertak dengan aturan, dipaksa memenuhi target cukai yang mereka tetapkan, tanpa pernah bertanya pada pihak pabrik maupun petani mengenai bagaimana jalan yang adil dan ada unsur manusiawinya untuk menarik cukai.
Kebudayaan yang kompleks dan mendalam: manusia, karya dan segenap prestasinya serta sumber kehidupannya dianggap hanya benda dan benda. Mereka dipukul dengan kebijakan. Mereka dibunuh dengan aturan dan hukum-hukum yang begitu mengikat dan ganas dan matilah mereka. Pabrik milik rakyat gugur bukan dalam pertempuran tapi di rumah masing-masing. Dan bila kini mereka berusaha sekadar mempertahankan hidup, dengan pabrik kecil kelas rumah tangga, dan otomatis tak membayar cukai, apakah ini namanya?
Keras kepala? Bukan. Membangkang? Bukan. Mereja hanyalah murid-murid yang baik dan taat pada ajaran guru. Tapi kalau ini harus disebut perlawanan, mungkin tak masalah. Apa boleh buat. Kita punya nama yang terhormat bagi tindakan itu. Inilah perlawanan puitik dunia industri dan petani. Dan ini perlawanan yang wajib didukung. Syukur bila cukai, industri, dan petani, bisa ditata dengan baik melalui tata niaga indutri dan pertanian yang punya rasa sedikit kemanusiaan.
(kri)