Trump, Senjata, dan Kekerasan
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder; Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
KEMENANGAN politik yang didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, atau solidaritas dalam sebuah persaingan merebut kekuasaan, khususnya dalam konteks sistem demokrasi, akan relatif lebih mudah menyatukan bangsa yang bermasalah, baik karena faktor di luar manusia seperti bencana alam ataupun karena manusia seperti kasus penembakan massal di Las Vegas, Amerika Serikat (AS).
Presiden AS Donald Trump yang memenangkan persaingan politik dengan mengeksploitasi perbedaan warna kulit, agama, kelas sosial, dan jenis kelamin mengalami kesulitan dalam membawa warganya bersatu melewati masa-masa sulit.
Ia tidak memiliki karisma atau wibawa mengajak warganya untuk bersatu dan berpikir positif karena selama ini ia adalah orang yang justru memecahkan persatuan dengan kalimat-kalimat yang banyak menyinggung perasaan sebagian warganya. Ia juga tidak bisa keras kepada kelompok yang selama ini bermasalah karena kelompok itu bekerja untuk kemenangannya.
Situasi itu akhirnya juga semakin membuat warga AS pesimistis bahwa akan ada kemajuan yang dicapai apabila Trump masih menjadi presiden, terutama menghadapi penembakan massal yang terjadi di Las Vegas dua hari lalu.
Korban hingga artikel ini ditulis telah mencapai angka 59 orang dan lebih dari 500 lain luka-luka. Jumlah ini masih dapat bertambah mengingat banyak korban yang juga kritis. Jumlah ini adalah rekor terburuk sejarah kekerasan senjata di Amerika setelah penembakan Pulse di Orlando pada Juni 2016 yang telah menewaskan 49 orang.
Masalah kekerasan senjata api di AS sudah menjadi polemik yang tidak berkesudahan. Di AS memiliki senjata adalah hak setiap orang dan dilindungi secara konstitusi. Amendemen Kedua Konstitusi AS mengatakan bahwa negara yang bebas membutuhkan milisi yang diatur dengan baik demi alasan keamanan sehingga hak rakyat untuk memiliki dan menyimpan senjata tidak boleh dilarang.
Konteks pada saat amendemen itu diratifikasi pada 1791 adalah suasana di mana AS dalam proses konsolidasi untuk menyatukan beberapa negara bagian di bawah kekuasaan negara federal. Para tokoh politik antifederalis khawatir dengan semakin besarnya kekuasaan negara federal sehingga perlu diantisipasi.
Langkah antisipasi adalah dengan menjamin berdirinya milisi bersenjata yang dapat mempertahankan hak-hak mereka apabila intervensi negara federal menjadi besar. Dalam perkembangannya sempat terjadi perdebatan interpretasi tentang Amendemen Kedua ini, apakah yang dimaksud milisi itu adalah “kolektif” atau “individual”. Kenyataannya interpretasi yang individual lebih dipilih.
Sejak saat itu senjata sudah sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari warga AS. Jumlah senjata bahkan lebih banyak daripada penduduk AS itu sendiri.
Proses untuk memiliki senjata dan akses untuk mendapatkannya sangat mudah, bahkan ketika dibandingkan dengan negara-negara maju lain seperti di Eropa. Penduduk AS adalah 4,4% dari total penduduk di seluruh dunia, tetapi 42% senjata yang dimiliki warga sipil dunia dimiliki warga AS.
Banyak senjata yang beredar di tangan masyarakat menyebabkan banyak kekerasan yang melibatkan senjata baik berupa perang antargeng, pembunuhan sehari-hari, bunuh diri, hingga penembakan tanpa alasan yang jelas. Kekerasan domestik rumah tangga yang melibatkan senjata api ada enam kali lebih banyak di AS dibandingkan Kanada dan 16 kali lebih banyak di AS dibandingkan di Jerman.
Rata-rata terjadi satu kali penembakan tanpa alasan per hari di AS sejak 2013. Negara bagian yang memiliki aturan senjata yang lebih longgar mengalami banyak kematian akibat senjata api dibandingkan di negara bagian yang lebih ketat aturannya.
Harvard Injury Control Research Center menunjukkan bahwa frekuensi penembakan massal meningkat terus dari waktu ke waktu. Para peneliti mengukur kenaikan dengan menghitung waktu antarkejadian terjadi penembakan massal. Menurut penelitian, jarak hari yang memisahkan antara satu kejadian penembakan massal dan kejadian lain semakin sempit dari yang awalnya berlangsung dari rata-rata 200 hari selama periode 1983 menjadi 64 hari sejak 2011.
Kekerasan tersebut tidak membuat AS membatasi kepemilikan senjata di tangan warga sipil karena terkait dengan politik kekuasaan di AS. Hal ini tampak jelas dalam pemerintahan Trump yang secara terang dan terbuka akan menolak segala kebijakan yang membatasi kepemilikan senjata. Sikap ini juga yang membuat Trump tidak dapat bersikap objektif apabila terjadi penembakan massal atau aksi kekerasan di tengah masyarakat seperti yang terjadi di Las Vegas dua hari lalu.
Reaksi publik Amerika secara umum sangat marah. Kemarahan tidak hanya kepada Stephen Paddock yang kemudian ditemukan tewas di kamarnya bersama puluhan senjata lain, tetapi juga terutama kepada Presiden Trump. Kemarahan terhadap Presiden Trump terutama karena ia memberikan reaksi yang berbeda terhadap peristiwa tersebut dibandingkan dengan peristiwa kekerasan sejenis yang mengundang reaksi negatif dari warga negara AS.
Pada saat ada penyerangan terhadap pejalan kaki di Jembatan London pada 3 Juni 2017, Trump segera mengeluarkan kecaman tidak kurang dari dua jam setelah kejadian. Pengeboman yang terjadi di Parson Green tidak kurang dari tiga jam setelah kejadian, namun untuk kejadian penembakan di Las Vegas ini, Trump baru menyatakan kecamannya setelah lebih dari tujuh jam.
Lambatnya reaksi Trump menyiratkan terjadi dilema dalam pemerintahan Trump untuk menyebutkan atau menggolongkan aksi penembakan itu sebagai sebuah tindakan teroris atau tidak karena melibatkan warga kulit putih yang menjadi penyokong utama kemenangannya pada pemilihan presiden lalu.
Trump biasanya segera mencurigai latar belakang keagamaan seseorang sebagai pendorong aksi tindak kekerasan. Trump misalnya langsung menyebut bahwa tindakan penyerangan di Jembatan London adalah seorang teroris bahkan sebelum otoritas resmi di London dapat menemukan penyerangnya.
Ia bahkan mengkritik Wali Kota London terlalu menyepelekan serangan yang terkait dengan agama dan kebetulan Khan adalah wali Kota London yang juga adalah seorang muslim. Pada saat terjadi kekerasan di Jerman, dia juga mengatakan sebagai ancaman keagamaan, namun ia diam ketika terjadi penembakan di sebuah masjid di Kanada yang dilakukan oleh seorang berkulit putih berusia 27 tahun.
Trump dalam pidato belasungkawanya tidak menyinggung apa pun terkait dengan kebebasan kepemilikan senjata yang menjadi akar permasalahan penembakan itu. Hal ini berbeda dengan Barack Obama yang secara bebas dapat menyatakan bahwa negara gagal melindungi warganya karena kebijakan kepemilikan senjata yang bebas tersebut.
Trump berhati-hati dalam menyebut penembakan yang dilakukan warga kulit putih karena sebagian besar kemenangan Trump didukung oleh pemujaan terhadap ras kulit putih dan diskriminasi terhadap kulit berwarna dan imigran.
Kita perlu belajar dari Trump dan AS bahwa kekuasaan politik tidak sekadar memenangkan kotak suara, tetapi juga nilai-nilai yang ditawarkan dalam proses persaingan tersebut. Perjalanan negara dan bangsa tidak selamanya akan selalu lancar, tetapi juga akan mengalami masalah-masalah.
Ketika masalah itu datang, kita berharap pemimpin yang kita pilih ataupun tidak dipilih dapat menjadi simbol pemersatu dan membawa warganya untuk bangkit dari keterpurukan. Tanpa kepemimpinan itu, kita mungkin hanya terus terpisah dan tidak dapat berjalan bersama sebagai sesama warga.
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder; Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
KEMENANGAN politik yang didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, atau solidaritas dalam sebuah persaingan merebut kekuasaan, khususnya dalam konteks sistem demokrasi, akan relatif lebih mudah menyatukan bangsa yang bermasalah, baik karena faktor di luar manusia seperti bencana alam ataupun karena manusia seperti kasus penembakan massal di Las Vegas, Amerika Serikat (AS).
Presiden AS Donald Trump yang memenangkan persaingan politik dengan mengeksploitasi perbedaan warna kulit, agama, kelas sosial, dan jenis kelamin mengalami kesulitan dalam membawa warganya bersatu melewati masa-masa sulit.
Ia tidak memiliki karisma atau wibawa mengajak warganya untuk bersatu dan berpikir positif karena selama ini ia adalah orang yang justru memecahkan persatuan dengan kalimat-kalimat yang banyak menyinggung perasaan sebagian warganya. Ia juga tidak bisa keras kepada kelompok yang selama ini bermasalah karena kelompok itu bekerja untuk kemenangannya.
Situasi itu akhirnya juga semakin membuat warga AS pesimistis bahwa akan ada kemajuan yang dicapai apabila Trump masih menjadi presiden, terutama menghadapi penembakan massal yang terjadi di Las Vegas dua hari lalu.
Korban hingga artikel ini ditulis telah mencapai angka 59 orang dan lebih dari 500 lain luka-luka. Jumlah ini masih dapat bertambah mengingat banyak korban yang juga kritis. Jumlah ini adalah rekor terburuk sejarah kekerasan senjata di Amerika setelah penembakan Pulse di Orlando pada Juni 2016 yang telah menewaskan 49 orang.
Masalah kekerasan senjata api di AS sudah menjadi polemik yang tidak berkesudahan. Di AS memiliki senjata adalah hak setiap orang dan dilindungi secara konstitusi. Amendemen Kedua Konstitusi AS mengatakan bahwa negara yang bebas membutuhkan milisi yang diatur dengan baik demi alasan keamanan sehingga hak rakyat untuk memiliki dan menyimpan senjata tidak boleh dilarang.
Konteks pada saat amendemen itu diratifikasi pada 1791 adalah suasana di mana AS dalam proses konsolidasi untuk menyatukan beberapa negara bagian di bawah kekuasaan negara federal. Para tokoh politik antifederalis khawatir dengan semakin besarnya kekuasaan negara federal sehingga perlu diantisipasi.
Langkah antisipasi adalah dengan menjamin berdirinya milisi bersenjata yang dapat mempertahankan hak-hak mereka apabila intervensi negara federal menjadi besar. Dalam perkembangannya sempat terjadi perdebatan interpretasi tentang Amendemen Kedua ini, apakah yang dimaksud milisi itu adalah “kolektif” atau “individual”. Kenyataannya interpretasi yang individual lebih dipilih.
Sejak saat itu senjata sudah sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari warga AS. Jumlah senjata bahkan lebih banyak daripada penduduk AS itu sendiri.
Proses untuk memiliki senjata dan akses untuk mendapatkannya sangat mudah, bahkan ketika dibandingkan dengan negara-negara maju lain seperti di Eropa. Penduduk AS adalah 4,4% dari total penduduk di seluruh dunia, tetapi 42% senjata yang dimiliki warga sipil dunia dimiliki warga AS.
Banyak senjata yang beredar di tangan masyarakat menyebabkan banyak kekerasan yang melibatkan senjata baik berupa perang antargeng, pembunuhan sehari-hari, bunuh diri, hingga penembakan tanpa alasan yang jelas. Kekerasan domestik rumah tangga yang melibatkan senjata api ada enam kali lebih banyak di AS dibandingkan Kanada dan 16 kali lebih banyak di AS dibandingkan di Jerman.
Rata-rata terjadi satu kali penembakan tanpa alasan per hari di AS sejak 2013. Negara bagian yang memiliki aturan senjata yang lebih longgar mengalami banyak kematian akibat senjata api dibandingkan di negara bagian yang lebih ketat aturannya.
Harvard Injury Control Research Center menunjukkan bahwa frekuensi penembakan massal meningkat terus dari waktu ke waktu. Para peneliti mengukur kenaikan dengan menghitung waktu antarkejadian terjadi penembakan massal. Menurut penelitian, jarak hari yang memisahkan antara satu kejadian penembakan massal dan kejadian lain semakin sempit dari yang awalnya berlangsung dari rata-rata 200 hari selama periode 1983 menjadi 64 hari sejak 2011.
Kekerasan tersebut tidak membuat AS membatasi kepemilikan senjata di tangan warga sipil karena terkait dengan politik kekuasaan di AS. Hal ini tampak jelas dalam pemerintahan Trump yang secara terang dan terbuka akan menolak segala kebijakan yang membatasi kepemilikan senjata. Sikap ini juga yang membuat Trump tidak dapat bersikap objektif apabila terjadi penembakan massal atau aksi kekerasan di tengah masyarakat seperti yang terjadi di Las Vegas dua hari lalu.
Reaksi publik Amerika secara umum sangat marah. Kemarahan tidak hanya kepada Stephen Paddock yang kemudian ditemukan tewas di kamarnya bersama puluhan senjata lain, tetapi juga terutama kepada Presiden Trump. Kemarahan terhadap Presiden Trump terutama karena ia memberikan reaksi yang berbeda terhadap peristiwa tersebut dibandingkan dengan peristiwa kekerasan sejenis yang mengundang reaksi negatif dari warga negara AS.
Pada saat ada penyerangan terhadap pejalan kaki di Jembatan London pada 3 Juni 2017, Trump segera mengeluarkan kecaman tidak kurang dari dua jam setelah kejadian. Pengeboman yang terjadi di Parson Green tidak kurang dari tiga jam setelah kejadian, namun untuk kejadian penembakan di Las Vegas ini, Trump baru menyatakan kecamannya setelah lebih dari tujuh jam.
Lambatnya reaksi Trump menyiratkan terjadi dilema dalam pemerintahan Trump untuk menyebutkan atau menggolongkan aksi penembakan itu sebagai sebuah tindakan teroris atau tidak karena melibatkan warga kulit putih yang menjadi penyokong utama kemenangannya pada pemilihan presiden lalu.
Trump biasanya segera mencurigai latar belakang keagamaan seseorang sebagai pendorong aksi tindak kekerasan. Trump misalnya langsung menyebut bahwa tindakan penyerangan di Jembatan London adalah seorang teroris bahkan sebelum otoritas resmi di London dapat menemukan penyerangnya.
Ia bahkan mengkritik Wali Kota London terlalu menyepelekan serangan yang terkait dengan agama dan kebetulan Khan adalah wali Kota London yang juga adalah seorang muslim. Pada saat terjadi kekerasan di Jerman, dia juga mengatakan sebagai ancaman keagamaan, namun ia diam ketika terjadi penembakan di sebuah masjid di Kanada yang dilakukan oleh seorang berkulit putih berusia 27 tahun.
Trump dalam pidato belasungkawanya tidak menyinggung apa pun terkait dengan kebebasan kepemilikan senjata yang menjadi akar permasalahan penembakan itu. Hal ini berbeda dengan Barack Obama yang secara bebas dapat menyatakan bahwa negara gagal melindungi warganya karena kebijakan kepemilikan senjata yang bebas tersebut.
Trump berhati-hati dalam menyebut penembakan yang dilakukan warga kulit putih karena sebagian besar kemenangan Trump didukung oleh pemujaan terhadap ras kulit putih dan diskriminasi terhadap kulit berwarna dan imigran.
Kita perlu belajar dari Trump dan AS bahwa kekuasaan politik tidak sekadar memenangkan kotak suara, tetapi juga nilai-nilai yang ditawarkan dalam proses persaingan tersebut. Perjalanan negara dan bangsa tidak selamanya akan selalu lancar, tetapi juga akan mengalami masalah-masalah.
Ketika masalah itu datang, kita berharap pemimpin yang kita pilih ataupun tidak dipilih dapat menjadi simbol pemersatu dan membawa warganya untuk bangkit dari keterpurukan. Tanpa kepemimpinan itu, kita mungkin hanya terus terpisah dan tidak dapat berjalan bersama sebagai sesama warga.
(poe)