Selamat Datang Era Komodifikasi Uang

Senin, 02 Oktober 2017 - 07:46 WIB
Selamat Datang Era Komodifikasi Uang
Selamat Datang Era Komodifikasi Uang
A A A
Haryo Kuncoro
Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta

TEKA-TEKI
beberapa pekan terakhir soal biaya isi ulang (top up) terkuak sudah. Bank Indonesia (BI) mengeluarkan aturan pengenaan biaya isi ulang uang elektronik.

Aturan resmi tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) BI Nomor 19/10/PADG/2017 yang dirilis 20/9 dan akan berlaku efektif sebulan kemudian. Isinya adalah pengisian ulang uang elektronik dimitra berbeda (off us) dikenakan biaya maksimal Rp1.500.

Jika uang elektronik diisi di kanal pembayaran milik penerbit kartu (on us), BI memberikan dua aturan, gratis jika pengisian dilakukan kurang dari Rp200.000, selebihnya berbayar maksimal Rp750.

Regulasi di atas diumumkan menyusul pemberlakuan transaksi nontunai di seluruh gerbang tol di Jakarta yang dilakukan bertahap sejak September hingga Oktober nanti. Artinya, sejak 1 November, tidak ada lagi gerbang tol yang melayani pembayaran tunai sehingga semua pengguna harus meng­guna­kan uang elektronik. Secara konseptual, PADG masih menyi­sa­kan persoalan perihal ‘ke­absah­an’ atas pungutan itu sendiri.

Sayangnya, diktum peraturan BI sama sekali tidak me­nyinggungnya. Tarif isi ulang ditujukan untuk menata struktur harga yang sangat bervariasi. Aturan itu juga memastikan perlindungan konsumen dan pemenuhan prinsip kompetisi yang sehat.

Artinya, BI secara yuridis melegalkan eksistensi biaya isi ulang. Dalam pandang­an BI, biaya isi ulang adalah ‘ekses’ yang harus dikendalikan alih-alih menempatkannya sebagai ‘sebab’ yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Perbedaan cara pandang ini niscaya berakibat pada efektivitasnya.

Efektivitas pungutan isi ulang terkait dengan hakikat fungsi uang. Uang tunai (cash) atau uang elektronik (e-money) adalah sama-sama alat tukar (medium of exchange) yang masih sah berlaku.

Dengan fungsi tersebut, keduanya mutlak harus bisa bersubstitusi sempurna tanpa ada kendala. Substitutabilitas dua jenis uang menuntut ekuivalensi nilai. Artinya, migrasi uang tunai ke uang elektronik seharusnya tidak mengubah daya beli.

Pungutan isi ulang adalah reduksi terhadap daya beli. Pasalnya, jika memakai uang elektronik, konsumen harus menambah sejumlah uang tertentu untuk mendapatkan barang yang sama.

Logika komparasinya sederhana. Dulu saat uang elektronik belum populer, masyarakat pengguna uang tunai tidak dibebani ongkos cetak. Uang rusak, lusuh, atau sudah kedaluwarsa masa berlakunya, misalnya, diganti BI secara penuh sebagai bentuk pertanggungjawaban atas peredaran uang yang baik kepada masyarakat.

Belakangan saat pengguna­an uang elektronik mulai marak, masyarakat malah dikenakan biaya saat ‘menukarkan’ uang tunai menjadi uang elektronik. Padahal pengguna kartu elektronik umumnya adalah nasabah tabungan perbankan yang sudah dikutip biaya adminis­trasi setiap bulannya.

Perbankan bisa saja berkilah biaya isi ulang akan dialokasikan kembali untuk pengembangan infrastruktur jaringan uang elektronik, layanan teknologi, pemeliharaan, serta meningkatkan layanan kepada konsumen.
Intinya, fasilitas pengisian ulang uang elek­tronik yang dimiliki bank saat ini adalah investasi. Argumen tersebut masih bisa diperdebatkan.

Dalam tataran teori, harga ditetapkan atas dasar biaya. Agar tercapai keuntungan usaha yang maksimum, besaran harga harus ditetapkan pada posisi biaya marginal (marginal cost) sama dengan penerimaan marginal (marginal revenue).

Per definisi, biaya marginal adalah tambahan total biaya produksi sebagai akibat dari tambahan satu unit output. Penerimaan marginal mengukur tambahan pendapatan sebagai akibat dari tambahan satu unit output.
Kerangka konseptual ini agaknya cocok untuk menjelaskan investasi prasarana transaksi nontunai yang sudah dibangun perbankan. Saat investasi prasarana transaksi nontunai sudah terpasang, tidak ada lagi biaya marginal sehingga harganya gratis.

Konkretnya, biaya investasi bisa terbayar dari hasil penjualan kartu perdana. Prinsipnya, biaya tetap (fixed cost) ditutup oleh pendapatan yang sifatnya juga tetap (fixed revenue).

Data statistik BI menunjukkan jumlah kartu uang elektronik yang beredar hingga Juli 2017 mencapai 69,46 juta keping atau meningkat 69,95% dibandingkan periode sama tahun lalu.

Dengan harga jual Rp20.000, omzet kotor mencapai Rp1,4 triliun. Angka ini semestinya untuk pengembangan beserta perawatan infra­struktur transaksi nontunai.

Sepertinya perbankan hendak memosisikan biaya isi ulang sebagai pendapatan marginal. Asumsikan 69,46 juta pengguna uang elektronik melakukan isi ulang sekali sebulan. Dengan biaya Rp1.500, bank meraup pendapatan kotor Rp1,25 triliun per tahun pada saat tidak ada biaya marginal.

Analisis di atas menunjukkan bank sejatinya memperoleh ekses keuntungan. Kaidah ekonomi mengajarkan who gets who pays dan who pays who gets. Konkretnya, pengenaan tarif isi ulang kartu uang elektronik bisa diklaim sebagai perilaku perburuan rente (rent seeking behavior) di industri perbankan.

Pungutan yang tidak disertai dengan per­tukaran prestasi sebagai underlying-nya niscaya berefek negatif pada perekonomian makro. Ongkos transaksi jadi lebih mahal. Ekonomi berbiaya tinggi. Efisiensi pun menyusut yang pada akhirnya berimbas terhadap daya saing ekonomi nasional.

Sejalan dengan Gerakan Nasional Non-Tunai, pemanfaatan uang primer dalam bentuk uang kertas kecenderungannya kian berkurang. Sebaliknya, pemanfaatan uang elektronik akan meluas, tidak hanya jalan tol, KRL CommuterLine, Bus TransJakarta, dan parkir, tetapi juga semua transaksi pem­bayaran untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Di sisi lain, uang sekunder berupa uang elektronik kini menjadi sebuah ‘komoditas’ yang diproduksi oleh per­bank­an dan memiliki ‘harga’. Penerbit uang seolah bergeser dari BI menuju ke perbankan. Bukti empiris menunjukkan peran bank sentral semakin lemah dalam mengendalikan perkembangan uang sekunder.

Akibatnya mekanisme pendelegasian kebijakan moneter dari BI sebagai prinsipal ke­pada perbankan sebagai agen akan tersendat. Intinya, BI meng­hadapi kendala span of control dalam mengimplementasikan kebijakan moneter terkait dengan stabilisasi inflasi, suku bunga, dan nilai tukar.

Beberapa konsekuensi di atas adalah harga yang harus ditebus oleh pungutan isi ulang uang elektronik. Alhasil, cashless society harus dimaknai ulang sebagai pengurang­an peng­gunaan uang kas karena sudah bermetamorfosa menjadi uang elektronik dengan status sebagai ‘komoditas’.

Selamat datang era komo­difi­kasi uang.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3588 seconds (0.1#10.140)