Hukum di Lorong Waktu

Senin, 02 Oktober 2017 - 07:01 WIB
Hukum di Lorong Waktu
Hukum di Lorong Waktu
A A A
Prof Dr Sudjito, SH, MSi
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2013-2015

TAK seorang pun mampu menyangkal perihal pentingnya waktu dan masa depan. Demi waktu, sejak fajar menyingsing, berlanjut ke waktu matahari naik perlahan-lahan menyinari bumi, hingga siang, sore, dan malam, keseluruhannya sambung sinambung sampai hari akhir kelak.

Di lorong waktu, semua bangsa hidup dan mengarungi kehidupannya selaras dengan zaman masing-masing. Berbekal pengalaman masa lalu dan modal kekinian, segenap pikiran, sikap, dan perilaku diorientasikan ke masa depan yang lebih baik.

Peduli terhadap waktu, sungguh amat penting dan menjadi keniscayaan. Waktu adalah nikmat karunia Allah SWT, diberikan kepada makhluk-Nya dalam ukuran tertentu. Entah pendek atau panjang, pemberian waktu wajib disyukuri.

Tiada lain, pensyukurannya dengan pendayagunaan jiwa dan raga untuk berbuat maksimal apa pun yang bernilai ibadah, baik ibadah berdimensi vertikal (langsung kepada Allah SWT) maupun berdimensi horizontal (demi keselarasan bersama makhluk-makhluk lainnya).

Kaidah penggunaan waktu terbaik adalah: berbuat maksimal di waktu masih usia muda. Muda merupakan fase kehidupan potensial. Sumber daya pada pemuda sedemikian besar.

Seorang pemuda mampu berlari cepat, mengangkat beban berat, dan berkontribusi lebih banyak untuk kehidupan masa depan. Kata Bung Karno, ”...berikan aku seorang pemuda, akan kugun­cang dunia ....” Tidak ada alasan bagi pemuda bermalas-malas­an, menunda aktivitas, sebab tidak semua orang berkesempatan hidup sampai waktu tua.

Apa relevansi antara waktu dengan kehidupan bernegara hukum Indonesia?

Pertama, discourse mengenai hukum dipastikan terkait dan mestinya terfokus pada ”hu­kum untuk bangsa Indonesia”. Ini bukan diskriminatif dan bukan pula chauvinistic. Keberpihakan hukum mestinya kepada bangsa sendiri sembari memberi kesempatan bangsa lain, secara proporsional, numpang hidup di Indonesia.

Ambil contoh, persoalan tentang sumber daya alam dan properti. Atas dasar asas kebangsaan, hanya WNI dapat menjadi subyek hak milik, sementara WNA hanya boleh menjadi subyek hak pakai.

Oleh karenanya dilarang merekayasa hukum yang meng­akibatkan WNI terdesak, tergusur, dan tergeser oleh WNA. Realitas bahwa sumber daya alam dan properti di negeri ini sudah tergadaikan ke bangsa asing, perlu ditebus kembali berdasarkan azas kebangsaan tersebut.

Kedua, hukum merupakan realitas dinamis, terus bergerak, hidup, tumbuh, dan berkembang seiring-sejalan dengan habitat sosial kebangsaannya. Ketika disadari bahwa perkembangan kehidupan suku-suku bangsa ini beragam, pluralisme hukum merupakan realitas yang wajib diakui, diterima, dan dihormati.

Ada golongan masih sangat teologis. Mereka hanya paham dan taat kepada hukum Tuhan (lex aeterna) atau hukum terkandung di dalam kitab-kitab suci (lex devina) dan serta-merta menolak hukum lainnya. Ada pula golongan masih hidup berdasarkan hukum alam (lex natura).

Semisal suku Anak Dalam di Jambi atau suku Badui di Banten, atau suku Dayak di Kalimantan. Hidup dan kehidupan mereka menyatu dengan alam. Hukum alam menjadi kaidah perilaku sehari-hari. Namun disadari pula bahwa sebagian besar komponen bangsa ini sudah hidup di alam modern.

Pada golongan terakhir ini, hukum dipahami sebagai produk politik, dibuat oleh penguasa (lex humana), dalam bentuk tertulis, serba rasional-materialistik.

Pluralitas hukum yang mencakup: lex aeterna, lex devina, lex natura, dan lex humana tersebut hingga kini masih ada. Mestinya di­kelola sebagai proses menuju terwujudnya sistem hukum Indonesia, berdasarkan Pancasila.

Oleh karenanya memberi peluang dan jalan lapang terhadap proses hukum tersebut, perlu menjadi komitmen semua pihak. Jangan cepat-cepat memberi Gestaltung.

Ketiga, permasalahan-per­masalahan hukum di negeri ini terus muncul, susul-menyusul, silih berganti. Upaya-upaya pencegahan dan penindakan terbukti belum efektif sehingga kuantitas dan kualitasnya semakin meningkat.

Pada ranah sosial-psikologis, permasalahan-permasalahan hukum mestinya diselesaikan berdasarkan prinsip kekeluargaan, melalui musyawarah-mufakat, sehingga terlahir keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan kata lain, watak individual-liberalistik, perlu didekonstruksi dan dikembalikan ke watak komunalistik-religius. Ambil contoh: sistem politik-khusus­nya pemilihan umum untuk Presiden/Wakil Presiden, anggota legislatif, ataupun kepala daerah perlu ditinjau ulang agar benar-benar dijiwai watak komunalistik-religius. Disadari masih banyak permasalahan-permasalahan hukum lain perlu dipikirkan serius.

Di lorong waktu, setiap bangsa diberikan kesempatan memikirkan, mensikapi, dan menentukan apapun yang terbaik baginya. Modal waktu setiap bangsa sama, yakni 24 jam sehari, 168 jam seminggu, 672 jam sebulan, dan seterusnya. Manajemen waktu menjadi kunci pembuka terwujudnya masa depan yang diinginkan.

Ambil contoh: Nabi Muhammad, dalam waktu 23 tahun telah mampu membuat perubahan besar dan mendasar di Jazirah Arab, dari zaman jahiliah menjadi zaman berperadaban.

Bangsa Jepang, di lorong waktu sekitar setengah abad pasca kehancurannya dan ketaklukannya pada Sekutu melalui peledakan bom atom di Hirosima dan Nagasaki mampu berbenah diri, mengelola waktu sedemikian efektif berdasarkan kultur kebangsaannya, sehingga kini menjadi bangsa amat bermartabat.

Dua contoh tersebut men­jadi bukti bahwa di lorong waktu, kehidupan ”gelap” dapat segera dibalik menjadi kehidupan ”terang-benderang”. Kapan bangsa ini mampu menggapai zaman keemasan, sebagaimana Kerajaan Sriwijaya dan Mahajapahit dulu?

Jawabnya: ketika bangsa ini mau dan mampu ber­komitmen membenahi sistem hukum Indonesia berdasarkan Pancasila. Wallahu’alam.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7211 seconds (0.1#10.140)