Tahun Politik

Rabu, 20 September 2017 - 09:04 WIB
Tahun Politik
Tahun Politik
A A A
Agung Baskoro
Analis Politik Poltracking

PEMILU Nasional secara serentak memang baru akan digelar pada April 2019. Namun, genderang kompetisi elektoral tersebut seakan sudah ditabuh saat Presiden Jokowi hadir dalam Rakernas III Projo, Senin (4/9). Langkah eksplisit Presiden tersebut setidaknya semakin meningkatkan suhu politik Tanah Air yang sebelumnya sudah hangat pasca bergulirnya Perppu Ormas dan Paket UU Pemilu.

Di luar realitas tersebut, ada tiga hal lain yang berpotensi menaikkan kembali tensi politik ke titik optimumnya saat sekarang ini. Pertama, babak lanjutan atau bahkan babak baru kasus-kasus hukum yang menjerat para elite politik. Kedua, perhelatan Pilkada Serentak 2018, yang juga diikuti Pilkada di tiga provinsi berpopulasi padat, yakni Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), serta Jawa Timur (Jatim). Ketiga, langkah zig-zag partai-partai menuju Pemilu 2019.

Dalam konteks pertama, kasus-kasus hukum seperti e-KTP, Hambalang, BLBI, ataupun kasus-kasus baru yang muncul akan terus menyita perhatian publik seiring genderang perlawanan atas korupsi. Ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus e-KTP oleh KPK dan hadirnya Pansus Hak Angket KPK, sedikit-banyak menghadirkan kegaduhan di partai beringin dan publik.

Karena kasus ini diduga menjerat kader teras lintas partai di satu sisi dan pada bagian lainnya, keinginan para wakil rakyat memangkas kewenangan lembaga antirasuah menuai pro-kontra berkepanjangan. Dua kondisi tersebut belum ditambah, jika drama sebut nama elite-elite politik di persidangan masih berlanjut oleh para tersangka ataupun terdakwa atau operasi tangkap tangan (OTT) KPK semakin banyak menjerat elite-elite politik.

Konteks kedua, Pilkada Serentak 2018 yang akan digelar di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten menjadi pertaruhan kredibilitas yang ketiga kalinya (setelah sukses pada periode 2015 dan 2017), baik bagi KPU/ KPUD maupun pemerintah dalam menyelenggarakan pemilu yang berkualitas. Pada bagian lain, suksesi kepemimpinan di level provinsi yang terjadi di Jabar, Jateng, dan Jatim rentan berdampak terhadap stabilitas politik nasional bila elite lokal dan nasional gagal membuat garis demarkasi yang jelas terhadap dinamika kompetisi elektoral yang ketat ini sebagaimana Pilkada DKI Jakarta kemarin.

Karena jamak kita ketahui, kemenangan di tiga provinsi tersebut menjadi kunci bagi partai-partai politik untuk mengamankan ceruk suara dalam Pemilu Serentak 2019. Konteks ketiga, langkah zig-zag PAN, PKB, dan Demokrat menarik untuk disimak. PAN yang selama ini berada di gerbong pemerintah, melanjutkan tren perbedaan sikapnya dalam hal-hal fundamental, mulai Pilkada DKI, Perppu Ormas, dan Paket UU Pemilu.

Sementara itu PKB, setelah perbedaan sikap soal Full Day School (FDS) yang akhirnya berhasil diadvokasi melalui Perpres No 87/2017, sampai sekarang bersama PAN belum juga memberi dukungan resmi kepada Presiden Jokowi maju untuk kedua kalinya. Padahal Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura yang notabene anggota koalisi sudah memberikan restunya. Demokrat sebagai penyeimbang, sering berwajah ganda.

Dalam beberapa kesempatan misalnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berulang kali menyatakan secara lisan sekaligus mengajak publik mendukung pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan pula, kader-kader demokrat menjadi lawan sengit bagi pendukung Presiden Jokowi di media dalam klaim kinerja dan mengkritik kebijakan pemerintah dengan perbandingan kebijakan pada masa lalu.

Dinamika politik yang sedang terjadi berikutnya menguatkan temuan bahwa koalisi yang dibangun di tengah sistem presidensial-multipartai cenderung menyebabkan instabilitas (Mainwaring, 1993). Padahal bila merujuk fakta kuantitatif perolehan suara partai di parlemen pada Pemilu 2014, maka sebenarnya sampai hari ini pemerintah memiliki basis politik yang kuat dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) Plus (beranggotakan PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura, dan PAN) dengan perolehan suara total 70%, sementara koalisi non-pemerintah yakni berturut-turut, Koalisi Merah Putih (KMP) Minus, (yang beranggotakan Gerindra dan PKS) hanya 20% dan Demokrat sebagai poros penyeimbang dengan 10%.

Hitung-hitungan matematis tersebut, rupanya menyambut tahun politik ini hanya sebatas angka yang menyisakan peta kutub politik yang cair dan tarik-menarik kepentingan tanpa henti, karena semuanya masih bisa berubah bila kocok-ulang (reshuffle) kabinet terjadi lagi dan uji materi Presidential Threshold diterima oleh MK.

Realisasi Janji
Di tengah hiruk-pikuk politik nanti, mengemuka beberapa pertanyaan fundamental untuk segera dijawab; apakah rakyat sebatas slogan atau modal dagangan politik? Sudah sampai mana realisasi janji-janji kampanye Jokowi-JK? Masa pemerintahan yang tersisa saat ini sebaiknya digunakan oleh pemerintahan Jokowi-JK ataupun elite politik untuk menyelesaikan tiga hal demi terciptanya stabilitas nasional dan mereproduksi kembali harapan rakyat.

Pertama, mengevaluasi total kinerja menteri. Dalam rangka menuntaskan janji-janji kampanye kemarin. Bahkan bila dirasa perlu, presiden harus segera mengganti menteri-menteri yang dianggap lamban dan menjadi beban pemerintahan dengan figur yang lebih baik. Sebab, kinerja pemerintah yang optimal bisa menyeimbangkan persepsi publik bahwa memimpin bukan hanya tentang merebut kekuasaan, tapi bagaimana seorang pemimpin mampu mewariskan kebijakan monumental.

Kedua
, mendesain koalisi ramping. Agar capaian-capaian kerja pemerintah tak ada hambatan di parlemen, sebenarnya hanya perlu memastikan 50% lebih dukungan. Artinya, jumlah suara 70% yang telah dimiliki sekarang, perlu dievaluasi efektivitasnya. Jangan sampai banyaknya suara yang telah didulang hanya bersifat semu tanpa makna positif sebagai modal awal menyukseskan Presiden Jokowi memimpin pada periode keduanya nanti.

Misi lainnya, koalisi yang ramping ini bisa menghasilkan komunikasi dan koordinasi yang baik untuk mewujudkan konsensus menghadirkan sosok wakil presiden yang baru setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla resmi menyatakan pensiun dalam Pemilu 2019. Kemampuan koalisi ramping ini dalam membaca kebutuhan rakyat dan tantangan zaman dituntut lebih baik, menimbang sentimen SARA menguat dan dunia di ambang kompleksitas berbagai permasalahan.

Ketiga, bagi partai-partai yang sekarang berada di luar pemerintahan, keadaan saat ini merupakan momentum yang tepat untuk menjalankan mekanisme skema pengawasan yang substantif (checks and balances) bukan sebatas politik dagang sapi. Hal ini dilakukan agar kinerja kabinet semakin lebih baik dan bila ini sukses dijalankan, ujung-ujungnya partai juga bakal menerima insentif elektoral.

Dari pengalaman mengawasi inilah, tentu bisa menjadi amunisi untuk menemukan sosok-sosok pemimpin yang sesuai. Artinya, siapa pun yang kelak menjadi lawan Presiden Jokowi, memang berangkat dari sosok yang memiliki visi dan rekam jejak kepemimpinan yang jelas.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4371 seconds (0.1#10.140)