Koreksi Subsidi Pertanian

Jum'at, 15 September 2017 - 08:30 WIB
Koreksi Subsidi Pertanian
Koreksi Subsidi Pertanian
A A A
Ichsan Firdaus
Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Golkar

PERTANIAN belum juga menjadi prime mover pembangunan bangsa karena petani masih saja terbelit dengan drama kemiskinan struktural yang tak kunjung selesai. Berbagai informasi dan berita akhir-akhir ini terkait ancaman penurunan produksi pangan khususnya padi, juga harus menjadi warning bagi kita tentang efektivitas program pertanian yang sedang berjalan. Upaya meningkatkan kesejahteraan petani sepertinya mengikuti rumus baku peningkatan produksi dan produktivitas pertanian. Dengan begitu subsidi input produksi terus mengalir tak kenal ampun dengan jumlah besar ke sektor pertanian. Padahal faktanya, petani masih terjepit oleh kemiskinan struktural dibandingkan dengan soal cuaca ekstrem, hama penyakit, serta kendala-kendala kapa­sitas dan kapabilitas.

Persoalan subsidi pertanian ini menjadi dilema bagi pemerintah. Seruan mengoreksi kem­bali subsidi pertanian makin menguat. Model subsidi harga dan barang seperti yang berjalan saat ini, terbukti kurang efektif dan memberi celah terjadinya rent seeking activity.

Padahal jumlah subsidi pertanian setiap tahunnya semakin besar. Sebagai contoh subsidi pupuk. Pada tahun 2014 jumlah subsidi pupuk mencapai Rp21 triliun terus naik tahun 2015 menjadi Rp31,3 triliun dan turun tahun 2016 sebesar Rp30,1 triliun. Pada tahun 2017 ini kembali naik menjadi Rp31,1 triliun. Selama 4 tahun terakhir berarti mengalami kenaikan sebesar Rp10,2 triliun. Sedangkan jumlah total subsidi yang digelontorkan pemerintah ke berbagai sektor tahun 2017 sebesar Rp160 triliun.

Jumlah total subsidi pertanian dan pangan cukup besar dalam postur APBN 2017. Jumlah subsidi pertanian meliputi subsidi pangan, pupuk, dan benih. Total subsidi mencapai Rp52 triliun atau setara 32,5% dari total subsidi. Subsidi pupuk sebesar Rp31,1 triliun dialokasikan untuk volume pupuk sebesar 8,55 juta ton dengan tambahan satu juta ton sebagai cadangan.

Sedangkan subsidi benih sebesar Rp1,2 triliun dialokasikan untuk volume benih sebanyak 116.500 ton yang meliputi benih padi dan kedelai. Dalam satu kesempatan, Menteri Pertanian menyampaikan bahwa pada tahun ini dilakukan pencabutan subsidi benih diganti menjadi pembagian benih unggul gratis yang diberikan langsung, seperti benih padi, cabai dan jagung. Pencabutan dilakukan dengan alasan karena penyerapan yang terlalu rendah, walaupun alasan ini bisa diperdebatkan. Pada tahun 2015 dilaporkan hanya 5% subsidi benih yang terserap sehingga petani hanya menikmati sekitar 2% saja.

Permasalahan subsidi ini biasanya berkutat pada ke­tidak­tepatan waktu, jumlah, mutu, dan keterbatasan sarana. Petani yang harusnya mendapatkan bantuan subsidi ternyata tidak terdata dalam rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) yang menjadi dasar pengalokasian pupuk bersubsidi. Ada juga kasus petani yang mendapatkan subsidi pupuk namun tidak menggunakan pupuk subsidinya karena dianggap kurang berkualitas.

Anggaran subsidi pangan dan pertanian sejatinya diberikan untuk melindungi petani dan meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, faktanya banyak sekali indikasi kebocoran dan penyelewengan, baik terhadap penggunaan dananya maupun alokasi pangan, pupuk, dan benihnya.

Catatan Bank Dunia pada tahun 2014 mensinyalir potensi kebocoran subsidi input pangan dapat mencapai 40%. Di sisi lain, audit BPK tahun 2016 menilai ada ketidaksinkronan regulasi yang menjadi salah satu alasan penyaluran pupuk bersubsidi tidak tepat sasaran. Berdasarkan audit kinerja BPK, sekitar 30% pupuk bersubsidi jatuh ke tangan perusahaan besar. Artinya, potensi kebocoran keuangan negara berkisar Rp9–12 triliun setara dengan anggaran satu tahun Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, anggaran subsidi yang besar tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan petani. Terbukti, petani mengalami tekor sejak April 2016–Juli 2017.

Mengoreksi Subsidi
Anggaran subsidi yang sangat besar ini tentu tidak sehat bagi perekonomian, apalagi jika diberikan tanpa pengawasan dan penanganan tepat. Bukan hanya menjadi beban keuangan negara, tetapi disparitas harga yang ditimbulkan oleh kebijakan itu memunculkan rent seeking activity berpotensi merugikan petani. Perlu ada koreksi dan solusi struktural atas pengelolaan subsidi pertanian ini agar bisa diberikan tepat sasaran dan tidak membebani keuangan negara.

Pertama, penting melakukan koreksi atas kebijakan subsidi harga barang yang terbukti tidak efektif dan rentan perburuan rente. Memang untuk mengubah ini mau tidak mau harus didukung dengan basis data yang akurat dan mengalami pemutakhiran reguler. Bias data dapat berindikasi pada bias kebijakan. Sering terjadi disparitas besar antara data nasional dengan data berdasarkan kenyataan di lapangan. Pemerintah harus lebih berhati-hati saat menyatakan adanya “peningkatan luas panen, peningkatan produksi” jika tidak dibangun dengan data yang akurat karena bisa menyesatkan.

Kedua, jika pola subsidi harga barang ini tetap berjalan, maka perlu ada perbaikan pencatatan RDKK dan calon petani serta calon lokasi (CPCL). RDKK dan CPCL yang rentan manipulatif dan fiktif tidak boleh lagi terjadi jika kita semua menginginkan kebijakan subsidi ini efektif dan tepat sasaran. Ketiga, harus ada pergeseran modal tetap petani berupa penguasaan aset (lahan) yang lebih luas bagi petani. RPJMN 2015–2019 sangat jelas menginstruksikan agar pemerintah membagikan setidaknya 9 juta hektare lahan pertanian.

Keempat, perbaiki data petani dan pertanian kita dengan baik. Perlu ada “one data” pertanian dan pangan. Persoalannya adalah ada tidaknya keseriusan dan kemauan bersama serta terbuka dalam membangun data yang benar. Persoalan pangan dan pertanian melibatkan banyak dana negara dan mengorbankan banyak orang jika tidak dikelola dengan landasan data yang benar dan akurat. Data yang baik akan menjamin perbaikan tata kelola pertanian dan pangan khususnya. Dengan begitu tidak perlu lagi ada informasi surplus padi, tapi pada saat yang sama dalam jangka waktu tidak terlalu lama, kita melakukan impor beras.

Kelima, berfokus pada peningkatan kesejahteraan petani. Kebijakan tata kelola pangan kita selama ini lebih berfokus pada kepentingan konsumen. Orientasinya perlu digeser dengan berfokus kepada petani dengan memberikan jaminan harga lebih menguntungkan. Rezim pertanian kita cenderung berfokus pada peningkatan produksi, tapi abai pada kesejahteraan petani. Padahal tujuan utama dari seluruh kebijakan yang ada adalah mencapai kesejahteraan petani.

Langkah-langkah taktis di atas menjadi pijakan bagi terealisasinya arahan Presiden Jokowi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83/2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi (KSPG). KSPG tersebut akan memastikan adanya ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, pemanfaatan pangan, perbaikan gizi masyarakat, serta penguatan kelembagaan pangan dan gizi. Terlalu berat target dan capaian yang harus dicapai dalam KSPG, jika masih terjadi silang sengkarut data, kebocoran dana subsidi pertanian masih terjadi dan kebijakan sektor pertanian yang terkesan tidak jelas arahnya ke mana.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6484 seconds (0.1#10.140)