Rohingya & Tragedi Kemanusiaan
A
A
A
Muhaimin Iskandar
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Kekerasan yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar pada abad milenial ini.
Korbannya tidak hanya kaum milisi, tetapi juga warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan. Sejak akhir Agustus lalu, kondisi orang-orang Rohingya terus memburuk, setelah terjadi eskalasi konflik antara tentara Myanmar dan kelompok bersenjata etnis Rohingya.
Belum diketahui berapa korban yang tewas, tetapi diperkirakan paling sedikit 400 orang. Peristiwa kekerasan ini juga menyebabkan 27.000 warga Rohingya terpaksa mengungsi dalam keadaan menyedihkan.
Tragedi kemanusiaan itu berawal dari serangan milisi pada 25 Agustus lalu, yang menurut sumber resmi Pemerintah Myanmar, menewaskan 32 orang di antaranya 11 aparat keamanan Myanmar.
Aksi kaum milisi Rohingya ini oleh pemerintah dianggap sebagai potensi bahaya hilangnya kekuasaan Myanmar di Rakhine. Karena itu, militer Myanmar melancarkan serangan balasan untuk menghabisi kaum milisi yang berdampak terhadap keseluruhan warga Rohingya.
Seperti kita ketahui, selama berpuluh-puluh tahun etnis Rohingya mengalami diskriminasi dan persekusi. Mereka tidak diakui sebagai bagian dari bangsa Myanmar yang 80 persen beragama Buddha.
Mereka dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan Myanmar, apalagi di antara warga Rohingya terdapat kelompok perlawanan bersenjata.
Dalam menghadapi konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun itu, elite agama dan politik kerap menggunakan simbol agama untuk memperoleh pembenaran atas tindakan kekerasan mereka.
Tidak pelak lagi, peristiwa pembantaian terhadap etnis Rohingya itu kemudian menyebar luas di media-media sosial, bahkan di media-media mainstream dengan menggunakan sumber-sumber informasi tidak jelas.
Lengkap dengan gambar-gambar sadisme yang ternyata sebagiannya adalah hasil editan alias rekayasa dan dengan sendirinya adalah hoax belaka.
Tidak berhenti di situ, informasi yang serba simpang siur itu disertai dengan ucapan kebencian dan serangan terhadap agama tertentu. Hal-hal yang sesungguhnya sudah bisa kita perkirakan akan muncul.
Oleh karena itu pula umat beragama tidak perlu terprovokasi dan bereaksi secara berlebihan. Apalagi ada niat untuk membawa konflik di Myanmar ke Indonesia.
Harus diakui, banyak pihak yang mengaitkan kekerasan dan tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Muslim Rohingya dengan isu agama.
Bisa dipahami karena mayoritas bangsa Myanmar beragama Buddha dan perlakuan diskriminasi dan persekusi terhadap warga Rohingya yang Muslim, kerap menggunakan simbol-simbol keagamaan dan melibatkan sejumlah biksu Namun demikian, hemat saya, tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya itu bukan konflik agama antara umat Islam dan Buddha.
Itu adalah tindakan kekerasan Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dan tindakan yang memilukan tersebut mendapat kecaman dari seluruh tokoh agama, termasuk tokoh agama Buddha di Indonesia.
Dalam setiap agama akan selalu terdapat kelompok kecil dari pemuka agama yang selalu bertindak ekstrem. Apa pun agamanya.
Bukan Konflik Agama
Menurut para biksu yang saya temui, tindakan sejumlah biksu di Myanmar itu tidak sesuai dengan misi ajaran Buddha. Seperti dikemukakan Biksu Dutavitra Mahastahira atau yang akrab disapa Suhu Benny, perwakilan Sangha Mahayana Indonesia, dalam pertemuan kami di Wihara Dharma Bhakti, Jakarta, meski pun mazhab Buddha di Indonesia berbeda dengan yang di Myanmar, secara prinsip kebiksuan sama.
Kata dia, secara kebiksuan jika ada seorang biksu terlibat dalam garukka kamma atau perbuatan buruk yang besar, seperti pengusiran dan pembunuhan, kebiksuannya otomatis gugur.
Saya kira sangat penting memahami konflik di Myanmar bukan sebagai konflik agama agar konflik tersebut tidak dibawa ke Indonesia, yang antara lain diekspresikan dalam berbagai protes mengusung simbol-simbol keagamaan, seperti menggelar salat berjamaah di depan Kedutaan Myanmar atau melancarkan demonstrasi di sekitar Candi Borobudur.
Belum lagi yang salah kaprah berdemo di depan kelenteng notabene rumah ibadahnya umat Konghucu.
Tentu layak diapresiasi bahwa peristiwa kekerasan dan krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya telah membangkitkan solidaritas kaum Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara Muslim mereka di Rakhine, Myanmar.
Islam memang mengajarkan bahwa sesama Muslim merupakan saudara. Inilah yang disebut ukhuwah Islamiyah sifatnya lintas bangsa dan lintas negara. Hanya saja, solidaritas itu tidak hanya diekspresikan dalam berbagai bentuk kecaman, apalagi disertai ujaran kebencian.
Namun, harus diwujudkan dalam tindakan konkret, yaitu bantuan kemanusiaan, seperti memberi bantuan makanan, obat-obatan, dan fasilitas lainnya.
Solidaritas Kemanusiaan
Selain itu, kaum Muslim Indonesia sejatinya dalam membangun solidaritas keagamaan dengan pemeluk pemeluk agama lain atau menyatukan umat beragama di Indonesia untuk memperjuangkan harkat kemanusiaan warga Rohingya yang tercabik-cabik oleh penguasa Myanmar yang menghalalkan berbagai cara itu.
Solidaritas keagamaan bersifat lintas agama ini diperlukan untuk menekan Pemerintah Myanmar agar segera menghentikan pelanggaran HAM terhadap warga negara mereka sendiri, selain menggalang bantuan kemanusiaan.
Kita berharap pemerintah terus melakukan upaya diplomasi dan menggunakan pengaruhnya di ASEAN untuk terus menekan Pemerintah Myanmar menghentikan aksi kekerasan terhadap warga Rohingya dan meyakinkan mereka agar membuka akses internasional untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Sementara masyarakat sipil di Indonesia, termasuk tokoh lintas agama, terus melakukan tekanan moral kepada pemegang otoritas di Myanmar dan menggalang bantuan kemanusiaan serta mendorong lembaga internasional seperti PBB agar lebih intensif mengupayakan perdamaian di sana.
Dari pada itu, perlu disadari bahwa sebagaimana yang terjadi di Myanmar, di Indonesia penggunaan sentimen dan simbol-simbol keagamaan dalam mencari justifikasi atas tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminasi berbasis agama, juga kerap dilakukan.
Kita bersyukur di Indonesia Bhinneka Tunggal Ika, keragaman, dan perbedaan, meskipun terjadi persaingan politik yang kerap diwarnai isu agama, tidak sampai menimbulkan konflik kekerasan antar warga. Hal ini harus terus kita rawat agar Indonesia yang beragam ini tetap damai dan menjadi contoh bagi masyarakat ASEAN dan dunia.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Kekerasan yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar pada abad milenial ini.
Korbannya tidak hanya kaum milisi, tetapi juga warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan. Sejak akhir Agustus lalu, kondisi orang-orang Rohingya terus memburuk, setelah terjadi eskalasi konflik antara tentara Myanmar dan kelompok bersenjata etnis Rohingya.
Belum diketahui berapa korban yang tewas, tetapi diperkirakan paling sedikit 400 orang. Peristiwa kekerasan ini juga menyebabkan 27.000 warga Rohingya terpaksa mengungsi dalam keadaan menyedihkan.
Tragedi kemanusiaan itu berawal dari serangan milisi pada 25 Agustus lalu, yang menurut sumber resmi Pemerintah Myanmar, menewaskan 32 orang di antaranya 11 aparat keamanan Myanmar.
Aksi kaum milisi Rohingya ini oleh pemerintah dianggap sebagai potensi bahaya hilangnya kekuasaan Myanmar di Rakhine. Karena itu, militer Myanmar melancarkan serangan balasan untuk menghabisi kaum milisi yang berdampak terhadap keseluruhan warga Rohingya.
Seperti kita ketahui, selama berpuluh-puluh tahun etnis Rohingya mengalami diskriminasi dan persekusi. Mereka tidak diakui sebagai bagian dari bangsa Myanmar yang 80 persen beragama Buddha.
Mereka dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan Myanmar, apalagi di antara warga Rohingya terdapat kelompok perlawanan bersenjata.
Dalam menghadapi konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun itu, elite agama dan politik kerap menggunakan simbol agama untuk memperoleh pembenaran atas tindakan kekerasan mereka.
Tidak pelak lagi, peristiwa pembantaian terhadap etnis Rohingya itu kemudian menyebar luas di media-media sosial, bahkan di media-media mainstream dengan menggunakan sumber-sumber informasi tidak jelas.
Lengkap dengan gambar-gambar sadisme yang ternyata sebagiannya adalah hasil editan alias rekayasa dan dengan sendirinya adalah hoax belaka.
Tidak berhenti di situ, informasi yang serba simpang siur itu disertai dengan ucapan kebencian dan serangan terhadap agama tertentu. Hal-hal yang sesungguhnya sudah bisa kita perkirakan akan muncul.
Oleh karena itu pula umat beragama tidak perlu terprovokasi dan bereaksi secara berlebihan. Apalagi ada niat untuk membawa konflik di Myanmar ke Indonesia.
Harus diakui, banyak pihak yang mengaitkan kekerasan dan tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Muslim Rohingya dengan isu agama.
Bisa dipahami karena mayoritas bangsa Myanmar beragama Buddha dan perlakuan diskriminasi dan persekusi terhadap warga Rohingya yang Muslim, kerap menggunakan simbol-simbol keagamaan dan melibatkan sejumlah biksu Namun demikian, hemat saya, tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya itu bukan konflik agama antara umat Islam dan Buddha.
Itu adalah tindakan kekerasan Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dan tindakan yang memilukan tersebut mendapat kecaman dari seluruh tokoh agama, termasuk tokoh agama Buddha di Indonesia.
Dalam setiap agama akan selalu terdapat kelompok kecil dari pemuka agama yang selalu bertindak ekstrem. Apa pun agamanya.
Bukan Konflik Agama
Menurut para biksu yang saya temui, tindakan sejumlah biksu di Myanmar itu tidak sesuai dengan misi ajaran Buddha. Seperti dikemukakan Biksu Dutavitra Mahastahira atau yang akrab disapa Suhu Benny, perwakilan Sangha Mahayana Indonesia, dalam pertemuan kami di Wihara Dharma Bhakti, Jakarta, meski pun mazhab Buddha di Indonesia berbeda dengan yang di Myanmar, secara prinsip kebiksuan sama.
Kata dia, secara kebiksuan jika ada seorang biksu terlibat dalam garukka kamma atau perbuatan buruk yang besar, seperti pengusiran dan pembunuhan, kebiksuannya otomatis gugur.
Saya kira sangat penting memahami konflik di Myanmar bukan sebagai konflik agama agar konflik tersebut tidak dibawa ke Indonesia, yang antara lain diekspresikan dalam berbagai protes mengusung simbol-simbol keagamaan, seperti menggelar salat berjamaah di depan Kedutaan Myanmar atau melancarkan demonstrasi di sekitar Candi Borobudur.
Belum lagi yang salah kaprah berdemo di depan kelenteng notabene rumah ibadahnya umat Konghucu.
Tentu layak diapresiasi bahwa peristiwa kekerasan dan krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya telah membangkitkan solidaritas kaum Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara Muslim mereka di Rakhine, Myanmar.
Islam memang mengajarkan bahwa sesama Muslim merupakan saudara. Inilah yang disebut ukhuwah Islamiyah sifatnya lintas bangsa dan lintas negara. Hanya saja, solidaritas itu tidak hanya diekspresikan dalam berbagai bentuk kecaman, apalagi disertai ujaran kebencian.
Namun, harus diwujudkan dalam tindakan konkret, yaitu bantuan kemanusiaan, seperti memberi bantuan makanan, obat-obatan, dan fasilitas lainnya.
Solidaritas Kemanusiaan
Selain itu, kaum Muslim Indonesia sejatinya dalam membangun solidaritas keagamaan dengan pemeluk pemeluk agama lain atau menyatukan umat beragama di Indonesia untuk memperjuangkan harkat kemanusiaan warga Rohingya yang tercabik-cabik oleh penguasa Myanmar yang menghalalkan berbagai cara itu.
Solidaritas keagamaan bersifat lintas agama ini diperlukan untuk menekan Pemerintah Myanmar agar segera menghentikan pelanggaran HAM terhadap warga negara mereka sendiri, selain menggalang bantuan kemanusiaan.
Kita berharap pemerintah terus melakukan upaya diplomasi dan menggunakan pengaruhnya di ASEAN untuk terus menekan Pemerintah Myanmar menghentikan aksi kekerasan terhadap warga Rohingya dan meyakinkan mereka agar membuka akses internasional untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Sementara masyarakat sipil di Indonesia, termasuk tokoh lintas agama, terus melakukan tekanan moral kepada pemegang otoritas di Myanmar dan menggalang bantuan kemanusiaan serta mendorong lembaga internasional seperti PBB agar lebih intensif mengupayakan perdamaian di sana.
Dari pada itu, perlu disadari bahwa sebagaimana yang terjadi di Myanmar, di Indonesia penggunaan sentimen dan simbol-simbol keagamaan dalam mencari justifikasi atas tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminasi berbasis agama, juga kerap dilakukan.
Kita bersyukur di Indonesia Bhinneka Tunggal Ika, keragaman, dan perbedaan, meskipun terjadi persaingan politik yang kerap diwarnai isu agama, tidak sampai menimbulkan konflik kekerasan antar warga. Hal ini harus terus kita rawat agar Indonesia yang beragam ini tetap damai dan menjadi contoh bagi masyarakat ASEAN dan dunia.
(nag)