Industri Digital dan Keberpihakan Pemerintah

Kamis, 07 September 2017 - 08:12 WIB
Industri Digital dan...
Industri Digital dan Keberpihakan Pemerintah
A A A
Agus Sudibyo
Direktur Indonesia New Media Watch

Nasionalisme kita mudah tersentuh manakala ada kekuatan asing mengakuisisi atau menanamkan modal ke perusahaan nasional. Begitu juga ketika dengan raksasa ecommerce China, Alibaba, yang menyuntikkan dana sebesar Rp14 triliun ke Tokopedia, ecommerce kenamaan Indonesia. Entah karena sedang momentum Agustusan atau karena suatu hal lain, muncul kekhawatiran publik akan terjadinya infiltrasi kekuatan asing terhadap perekonomian nasional. Muncul kekhawatiran akan melemahnya nasionalisme kita karena kekuatan asing mulai merambah jagat media nasional. Padahal tahun yang sama, justru terjadi hal sebaliknya: kekuatan modal nasional mengambil alih aset perusahaan internasional.

Barito Pacific Group yang dimiliki pengusaha Prajogo Pangestu mengambil alih pembangkit listrik tenaga panas bumi milik Chevron di Indonesia dan Filipina dengan nilai investasi sebesar USD2,3 miliar atau sekitar Rp31 triliun rupiah pada April 2017. Mengapa nasionalisme tidak tersentuh pada peristiwa ini? Sebuah peristiwa yang semestinya membanggakan Indonesia karena menunjukkan dua hal; 1) kemampuan pengusaha nasional untuk melakukan ekspansi di dunia internasional; 2) kepercayaan internasional terhadap dunia usaha nasional karena akuisisi ini didanai dari pinjaman sindikasi bank internasional.

Keberhasilan Alibaba meminang Tokopedia semestinya justru membuat kita mawas diri. Satu hal yang membuat kita tertinggal adalah kurangnya dukungan pemerintah dalam membangun infrastruktur dan environment industri digital nasional. Dalam hal ini, terlihat jelas kesenjangan Indonesia dengan negara yang telah mapan dalam environment digitalnya, seperti Amerika Serikat, China, dan Korea Selatan.

Sudah jamak diketahui, Amerika Serikat adalah penemu dan pengembang utama teknologi digital. Sejarah menunjukkan bagaimana pemerintah dan pebisnis Amerika Serikat sejak awal bahu membahu dalam mengembangkan dan memaksimalkan pemanfaatan internet. Dukungan kuat pemerintah terhadap dunia usaha merupakan faktor terpenting dari perubahan sosial menuju digitalisasi di semua bidang di Amerika Serikat.

Dukungan tersebut berupa pengalokasian sumber daya pendukung industri, bantuan modal, regulasi yang mendukung investasi, dan kekuatan lobi menghadapi hambatan-hambatan dalam menjalankan penetrasi produk di luar negeri. Sejarah mencatat betapa protektifnya Pemerintah Amerika Serikat ketika negara-negara lain berusaha mengoreksi dominasi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dalam tata kelola internet global.

Langkah Amerika Serikat tersebut ternyata sangat beralasan. Ketika ekonomi dunia mengalami resesi sekitar tahun 2008 misalnya, ekonomi digital seperti menjadi penyelamat perekonomian Negeri Paman Sam. Industri digital tetap bertumbuh kembang pada saat terjadi kemerosotan kinerja ekonomi secara keseluruhan.

Demikian pula jika kita menengok ke China. China berhasil melakukan lompatan kemajuan digital dalam satu dekade terakhir dan dimensi yang paling menonjol adalah dukungan kuat negara terhadap industri digital nasional. Pemerintah Cina memberikan tiga paket dukungan di sini. Pertama, menginvestasikan USD218 miliar untuk mendanai rintisan usaha digital yang disalurkan melalui perusahaan negara dan inkubator bentukan pemerintah. Proyek ini mampu menopang 1600 rintisan usaha berbasis teknologi internet dalam berbagai skala di seluruh China. Kedua, Pemerintah China memberikan insentif pemotongan pajak sebesar 15% untuk perusahaan industri kreatif dan pendapatan orang-orang yang berinvestasi untuk riset dan pengembangan teknologi internet. Tahun 2015, total reduksi pajak yang diperoleh dari mekanisme ini mencapai USD9,93 miliar hanya pada setengah tahun pertama. Ketiga, Pemerintah China juga menyediakan lokasi khusus untuk perusahaan rintisan digital (co-working space) sejak tahun 2015. Hanya dalam waktu 15 bulan, lebih dari 500 perusahaan rintisan digital memanfaatkan fasilitas pemerintah yang disebut Silicon Valley of China ini. Didanai pemerintah sebesar lebih dari USD1,5 miliar, Silicon Valley of China ini menempati lokasi seluas 450.000 meter persegi di distrik Zhong Guan Cun Beijing. Kawasan serupa juga dibangun di Shanghai, Shenzhen, Hangzhou.

Hasilnya telah mencengangkan dunia. Sejak tahun 2015, minimal 6 dari 20 perusahaan internet terdepan di dunia berasal dari China. Perusahaan berbasis cloud di China terus bertumbuh dan merupakan tantangan serius bagi dominasi Amerika Serikat. China juga memimpin dunia dalam perdagangan elektronik dengan pasar ritel elektronik yang nilainya lebih dari USD900 miliar tahun 2016. Pada tahun yang sama, 400 juta orang warga China berbelanja setiap hari secara online melalui smartphone.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita bisa becermin dari kasus Slipicon Valley di sini. Plesetan dari kata Silicon Valley, Slipicon Valley merujuk pada kawasan Slipi, Jakarta Barat sebagai pusat industri digital. Slipicon Valley merupakan "rumah" untuk usaha rintisan digital. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di dunia digital tersebut menempati gedung-gedung yang sama. Di Gedung Wisma Barito Pacific terdapat beberapa startup, seperti Antar.id, Digital Indonesia, CekAja.com, Cupslice, Gogonesia, Jualo.com, Loyalbox, MigMe, Mimopay, Pawoon, Qerja, WeYAP, Wavoo, dan Y Digital Asia. Di Gedung Wisma 77 terdapat Kincir, Kurio, Merah Cipta Media, Scoop, Soccertalk, Tokopedia, Traveloka, dan Trenologi. Di Gedung Grand Slipi Tower terdapat Berrybenka.com dan Bilna.com. Sementara Blibli.com, Bolalob, Infokost.id, Lintas.me, Mindtalk, Tech in Asia, dan Rumahku berada di gedung lain.

Slipicon Valley juga merupakan pusat beberapa inkubator sebagai wadah yang memungkinkan para perintis usaha digital mendapatkan bantuan modal dan fasilitas yang disediakan kelompok usaha yang lebih besar. Di Gedung Wisma Barito Pacific terdapat Founder Institute dan Ideabox. Di Wisma 77 terdapat Merah Cipta Media. Slipicon Valley juga merupakan pusat dari beberapa Venture Capitalist, yakni investor yang melakukan penyertaan modal pada usaha rintisan digital yang dianggap memiliki prospek menjanjikan. Contohnya ada Cyber Agent Ventures, PT Global Digital Prima (GDP) Venture, dan Mountain Kejora Ventures.

Apa yang unik dari Slipicon Valley? Slipicon Valley adalah murni inisiatif swasta, sementara Silicon Valley Amerika Serikat dan Silicon Valley of China adalah proyek kerja sama pemerintah dan swasta. Bukan berarti inisiatif murni swasta adalah kesalahan. Tetapi, bahwa Slipicon Valley akan lebih kuat lingkup pengaruh dan daya dukungnya terhadap lanskap digital nasional jika ada kontribusi atau keikutsertaan pemerintah di dalamnya. Berbicara tentang nasionalisme digital, batu ujinya adalah apakah negara hadir dalam proyek seperti Slipicon Valley itu.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0666 seconds (0.1#10.140)